...
Henry lalu terbangun dari permainan itu.
"Duh, kepalaku sakit sekali," pikir Henry.
Henry melihat ke arah jam yang ada di kamarnya. Waktu telah berlalu beberapa menit sejak ia bangun.
"Padahal aku cuma main game ini selama beberapa menit, tetapi kok rasa lelah nya luar biasa ya. Kuharap Xavier tidak memainkannya juga," pikir Henry lagi.
Tiba-tiba, air mata keluar dari mata Henry.
"Loh, kok ada air mata sih? Padahal mataku tidak terasa perih," pikir Henry.
"Duh palingan juga karena terlalu lama bermain," pikir Henry lagi.
Ia kemudian menelepon Xavier.
"Halo Xavier. Aku sudah mencoba game yang kamu berikan. Itu cukup untuk membuat kepalaku sakit. Kuharap kamu tidak memainkannya," kata Henry.
"Hm? Cepat sekali kamu mencobanya," balas Xavier.
"Ya begitulah. Pokoknya jangan main game tersebut," ucap Henry.
"Tentu," balas Xavier.
Pada malam harinya ...
"Akhirnya makan," ucap Henry.
Henry kemudian memakan makanan yang ia buat pada sore harinya.
"Kok rasanya ada yang aneh ya, makanan ini seperti tidak pas untukku. Padahal aku biasanya suka dengan makanan ini," pikir Henry.
"Lalu ... Mengapa aku jadi ingin dibuatkan makanan oleh orang lain ya?" pikir Henry lagi.
...
...
...
"Oh ya, aku kan tidak memiliki teman, jadi itu mustahil," pikir Henry.
"Ya sudahlah, nikmati saja yang ada," pikir Henry lagi.
Pada keesokan harinya ...
"Oi Henry, pagi sekali datangnya," kata Xavier yang baru saja masuk ke kelas.
"Biasa saja kali. Kamu nya saja yang kesiangan," balas Henry.
"Kamu kenapa dari tadi melihat ke arah Lavina terus?" tanya Xavier.
"Ah masa sih?" balas Henry.
"Serius. Lihat tuh! Lavina sepertinya terganggu dengan kelakuanmu," kata Xavier.
Lavina yang dari tadi dilihat oleh Henry lalu memalingkan wajahnya.
"Wah, sepertinya kamu akan dapat masalah baru hari ini. Nanti jangan lupa minta maaf ya," kata Xavier sambil menepuk punggung Henry lalu kembali ke tempat duduknya.
Kegiatan belajar mengajar pada hari itu berjalan dengan lancar. Namum, Henry tidak bisa mengalihkan pandangan wajahnya dari Lavina. Pada siang harinya ...
"Henry, kamu nggak pulang? Yang lain sudah pada pulang tuh," ucap Xavier.
" ... " Henry tak membalas perkataan Xavier.
"Aku pulang duluan saja deh," kata Xavier yang kemudian ke luar dari kelas.
"Aku ini kenapa sih?" pikir Henry.
"Sebaiknya aku pulang sekarang untuk istirahat," pikir Henry lagi.
Henry lalu berjalan ke arah pintu. Namun sesaat setelah keluar, ia bertemu dengan Lavina.
...
...
"Kamu belum pulang?" tanya Lavina.
"Ini baru mau pulang," jawab Henry.
"Mau ikut aku sebentar? Ada yang ingin aku tunjukkan padamu," kata Lavina.
"Menunjukkan apa?" tanya Henry.
"Sesuatu yang mungkin kamu akan tertarik," jawab Lavina.
"Kuharap ini bukan sesuatu yang aneh," kata Henry.
Henry pun mengiyakan ajakan Lavina untuk ikut dengannya. Lavina mengajak Henry kembali ke laboratorium tempat Fanette berada.
"Sepertinya aku familiar dengan tempat ini," kata Henry.
"Mungkin karena kamu sudah pernah melihatnya?" balas Lavina.
"Mungkin saja," kata Henry.
"Mari ikut aku ke bawah," ucap Lavina.
Lavina dan Henry lalu menuju ke lantai terbawah laboratorium tersebut. Keduamya lalu mendekati tempat di mana Fanette seharusnya berada. Tiba-tiba, Henry mulai sedikit teringat dengan memori yang ia miliki saat berada di dalam game.
"Lavina. Apakah kita ... Adalah pasangan? Saat aku bersama denganmu, aku merasa lebih nyaman," tanya Henry.
Lavina lalu menoleh ke belakang dan langsung memeluk Henry dan berkata,"Ya."
"Aku merindukanmu," kata Lavina lagi.
Keduanya pun pada akhirnya melanjutkan hubungan mereka seperti sedia kala dan bertahan sampai mereka berdua lulus. Selepas lulus dari sekolah menengah, Lavina dan Henry melanjutkan studi di tempat yang sangat jauh, sebuah kota kecil bernama Laeyhin. Di sana mereka kembali mengembangkan kehidupan buatan dengan harapan dapat meneruskan pengetahuan di kota tersebut. Kehidupan buatan itu dinamakan Rebecca Raphaelle. Namun seiring berjalannya waktu, kota tersebut terlibat dalam perang dan Rebecca beserta yang lainnya harus hidup berpindah-pindah tempat.
Waktu pun berlalu, Lavina dan Henry memutuskan untuk pindah ke kota Vertilla, kota yang tak jauh dari Akademi Laplacia, tempat mereka dulu bersekolah. Di saat yang bersamaan, mereka juga memutuskan untuk menikah. Beberapa tahun setelah mereka menikah, Rebecca pindah dari rumah Henry dan menjalani kehidupan baru di Akademi Laplacia sebagai seorang guru dan juga sebagai seorang informan.
"Aku pamit ya," ucap Rebecca.
"Hati-hati di jalan ya," balas Fanette.
"Tentu," kata Rebecca.
"Jika aku ada waktu, aku akan datang untuk mengunjungimu," kata Lavina.
"Aku sangat menantikannya," balas Rebecca.
"Selamat jalan," kata Henry.
Rebecca lalu melambaikan tangannya pada Henry, Lavina, dan Fanette. Kemudian, kereta yang ia naiki pun berangkat.