Untuk beberapa saat, Fanette dan Henry terdiam tanpa mengatakan apapun.
"Kamu tidak mau mengejarnya?" tanya Fanette.
"Percuma. Tidak ada gunanya untuk mengejarnya saat dia sedang marah seperti itu. Akan lebih baik kalau kita tunggu sampai dia lebih tenang," jawab Henry.
"Oh ya. Soal yang barusan, aku hanya bercanda. Aku hanya mau mengetes rasa cintamu terhadap Lavina. Maaf ya," kata Fanette.
"Bercandamu keterlaluan tahu!" balas Henry.
Henry kemudian juga pergi dari rooftop. Pada malam harinya, suasana menjadi sangat hening, tak seperti biasanya. Saat makan malam, Henry, Lavina, dan Fanette tak saling berbicara sepatah kata pun. Sesekali, Lavina melihat ke arah Fanette dan Henry dengan tatapan mata yang tajam. Saat Lavina kembali ke kamarnya, barulah Fanette berbicara dengan Henry.
"Sekali lagi maaf ya," ucap Fanette.
"Ya, tidak apa-apa. Aku juga salah," balas Henry.
"Aku akan berusaha membuat Lavina mengerti. Kamu tenang saja," kata Fanette untuk meyakinkan Henry bahwa semuanya akan baik-baik saja.
"Apa kamu yakin?" tanya Henry dengan nada ragu.
"Aku tahu sifat dia seperti apa," jawab Fanette.
"Kalau begitu tolong ya," kata Henry.
Henry kemudian juga kembali ke kamarnya. Pada keesokan harinya, lomba nasional pun dimulai. Pada pagi harinya, Lavina bangun lebih awal dari biasanya dan langsung menuju ke sekolah tanpa berpamitan dengan Henry. Selama sehari penuh, Lavina bersikap dingin pada Henry dan Fanette. Namun di dalam hati kecilnya, ia masih memendam rasa kepada Henry. Saat pulang sekolah, Lavina tidak langsung pulang, melainkan ia pergi ke restoran yang ada di dekat sekolah untuk mencari sedikit ketenangan. Sesampainya di restoran tersebut ...
"Saya mau pesan," ucap Lavina pada pelayan restoran yang kebetulan sedang lewat.
"Sebentar ya," balasnya.
Ia kemudian pergi. Tak lama kemudian, seseorang datang menghampiri Lavina.
"Mau pesan apa? ... Eh, Lavina? Tumben sekali kamu datang ke sini,"
"Kamu sendiri sedang apa, Marionette?" tanya Lavina.
"Seperti yang kamu lihat, aku sedang bekerja," jawab Marionette.
"Ya sudahlah, aku pesan es krim nya satu," kata Lavina.
"Ada lagi?" tanya Marionette.
"Itu saja," jawab Lavina.
"Baiklah, tunggu sebentar ya," kata Marionette.
Marionette lalu pergi untuk menyerahkan pesanan Lavina kepada koki. Beberapa saat kemudian, Marionette kembali dengan membawa dua buah es krim dan duduk di berhadapan dengan Lavina.
"Ini es krim nya, silahkan dimakan," kata Marionette.
"Kamu tidak bekerja?" tanya Lavina.
"Hahaha, kamu tidak tahu ya? Restoran ini milik keluargaku. Aku hanya membantu sedikit saja di sini. Jadi, aku bisa lebih santai," jawab Marionette.
"Oh, pantas saja kamu terlihat santai sekali," kata Lavina.
"Kamu sepertinya sedang ada masalah. Apa kamu bertengkar dengan seseorang?" tanya Marionette.
"Ya, dengan Henry," jawab Lavina.
"Lho, kok bisa? Sepertinya kalian akrab-akrab saja selama ini," tanya Marionette.
Tiba-tiba ...
"Ya iyalah, jelas dia bertengkar. Henry kan belakangan ini dekat dengan Fanette, sahabatnya sendiri," kata Ferdinand yang entah muncul dari mana.
"Yah orang sepertimu sih biasanya tak berani melakukan apa-apa. Dasar lemah!" kata Ferdinand lagi.
Mendengar perkataan Ferdinand, Lavina menjadi sangat kesal. Namun, ia lebih memilih untuk membiarkannya saja daripada membuat masalah di tempat umum. Sekitar lima menit kemudian, Lavina mendapatkan pesan singkat dari Fanette. Fanette meminta Lavina untuk datang ke rooftop sekolah untuk membahas sesuatu.
"Hmm ... Sepertinya aku harus kembali ke sekolah," ucap Lavina pada Marionette.
"Ada yang ketinggalan?" tanya Marionette.
"Bukan, ada sedikit urusan," jawab Lavina.
"Baiklah. Kalau begitu tagihan makanannya biar aku yang tanggung saja," ucap Marionette.
"Kamu yakin?" tanya Lavina.
"Ya," jawab Marionette.
"Terima kasih ya," kata Lavina.
Lavina kemudian keluar dari restoran dan menuju kembali ke sekolah.
"Pasti ini ada hubungannya dengan Henry," pikir Lavina.
Sementara itu ...
"Hei Henry, bukankah itu Lavina? Sepertinya dia sedang buru-buru," kata Xavier sambil melihat ke arah Lavina yang sedang berlari menuju ke sekolah.
"Ya. Kau benar," balas Henry.
"Kamu tidak mengejarnya?" tanya Xavier.
"Aku sih mau mengejarnya. Tetapi terakhir kali aku berbicara dengannya, sepertinya dia sangat marah karena suatu alasan," jawab Henry.
"Duh, kamu ini ya. Kalau pasanganmu sedang marah, ya jangan dibiarkan. Aku yakin dia akan kembali seperti semula jika kamu menjelaskan masalahnya baik-baik," kata Xavier.
"Ya, mungkin kau benar," ucap Henry.
"Nah, sekarang kejar dia," balas Xavier yang kemudian mendorong Henry.
Di sisi lain, Lavina akhirnya sampai di rooftop sekolah. Ia melihat Fanette sedang berdiri di pojokan. Ia pun menghampirinya.
"Apa yang ingin kau bicarakan? Kuharap kamu tidak membuang waktuku," ucap Lavina.
"Tenang saja, ini adalah hal penting untuk dibicarakan," balas Fanette. Ia kemudian menuju ke arah pintu dan mengunci pintu masuk rooftop.
"Apa yang kamu rencanakan?" tanya Lavina.
"Bisa gawat kalau sampai ada yang mengganggu," jawab Fanette. Wajahnya terlihat sangat serius saat mengatakan hal itu.
" ... " Lavina terdiam.
"Apakah kamu benar-benar mencintai Henry?" tanya Fanette.
" ... "
"Kalau kamu tidak menjawab, aku menganggapnya sebagai ya," kata Fanette.
"Kalau aku tidak mencintainya, untuk apa aku menghabiskan waktuku bersamanya?" balas Lavina.
"Dengan kata lain, kamu hanya menganggapnya sebagai pengisi kekosongan saja?" tanya Fanette.
"Tentu saja tidak," balas Lavina.
"Lebih baik aku saja yang berpacaran dengan Henry. Dia hanya akan menderita apabila diperlakukan seperti itu olehmu!" kata Fanette.
Sementara itu ...
"Sial, pintunya dikunci!" umpat Henry.
Saat Henry mencoba untuk mengintip ke arah rooftop, tiba-tiba seseorang datang menepuk bahu Henry.
"Butuh bantuan?"
Henry lalu melihat ke arah belakang.
"Oh ternyata Ernesta, bikin kaget saja. Ya, aku butuh bantuan. Bisakah kamu membuka pintu ini? Ada sesuatu yang harus kucari di dalam," kata Henry.
"Apakah kamu memiliki klip kertas?" tanya Ernesta.
"Sebentar," jawab Henry.
Henry kemudian mencari klip kertas di dompet yang ia bawa.
"Pas sekali. Ini dia," kata Henry sambil menyerahkan sebuah klip kertas.
"Tunggu sebentar," balas Ernesta.
Ernesta lalu mengambil sesuatu dari tas kecil yang ia bawa. Benda itu adalah sebuah kunci L dan beberapa alat yang tidak pernah Henry lihat sebelumnya. Setelah beberapa saat mencoba, Ernesta akhirnya berhasil membuka pintu rooftop yang tadinya terkunci.
"Terima kasih," kata Henry.
"Sama-sama," balas Ernesta.
"Tapi, dari mana kamu belajar untuk menjebol pintu?" tanya Henry.
"Entah. Aku sudah menguasainya sejak kecil. Kalau begitu, aku pergi duluan ya," jawab Ernesta.
Ernesta kemudian pergi dari pintu rooftop.
"Lebih baik aku melihat terlebih dahulu apa yang sedang terjadi," pikir Henry.
...
...
Henry yang awalnya tenang mendadak menjadi panik karena melihat perdebatan Lavina dan Fanette yang tidak kunjung selesai. Untuk beberapa saat, Fanette terus memanas-manasi Lavina dengan perkataannya. Lavina yang sudah tidak tahan dengan kelakuannya lebih memilih untuk menyelesaikannya dengan cara kekerasan. Lavina menampar wajah Fanette dan keduanya pun mulai berkelahi.
"Duh, aku harus bagaimana ini? Kalau dibiarkan bisa bahaya. Tetapi kalau aku mencari bantuan, tidak akan sempat," pikir Henry.
Sementara itu ...
"Diam kamu Fanette!" teriak Lavina.
"Benar kan apa yang kubilang, kamu belum siap untuk jatuh cinta!" kata Fanette.
"Lebih baik kamu tinggalkan saja Henry!" kata Fanette lagi.
Di sisi lain, Henry mulai khawatir dengan keduanya. Lavina dan Fanette berkelahi di dekat pinggiran rooftop yang saat itu tak memiliki penyangga ataupun pengamanan apapun. Ia takut salah satu dari mereka terjatuh.
"Waduh gawat! Sepertinya Lavina akan memukul Fanette. Kalau begini terus, bisa-bisa salah satu dari mereka akan celaka," pikir Henry.
"Aku harus menghentikannya sekarang," pikir Henry lagi.
Henry tanpa pikir panjang lagi langsung berlari mendekati Fanette.
"Lavina, cukup!" kata Henry.
Namun di saat yang bersamaan, Lavina tidak sengaja mengarahkan pukulan ke arah Henry yang baru saja berlari ke depan Fanette untuk menghentikan perkelahian keduanya. Tak disangka, pukulan tersebut membuat Henry terdorong ke pinggiran rooftop dan membuatnya terjatuh dari rooftop tersebut.