Chereads / Vorfreude: Rachel Richmann / Chapter 20 - Passiflora incarnata

Chapter 20 - Passiflora incarnata

"Semua keperluan di laboratorium sudah siap, Profesor."

"Kerja bagus, Rene. Bagaimana dengan orang-orang yang akan bergabung selain dirimu, aku, dan Elsa?"

"Kurasa akan ada beberapa, dan aku sedang menunggu konfirmasi keikutsertaan seorang mahasiswa sarjana sebagai teknisi..."

Rachel memutar matanya malas mendengar percakapan dua orang di sampingnya: Niels dan Rene. Keduanya duduk di samping Rachel, dengan Niels yang berada di tengah-tengah dirinya dan Rene. Rachel kesal saja, karena sepanjang perjalanan menuju perusahaannya, Niels hanya mengobrol dengan Rene, tidak berbasa-basi sedikit pun dengan Rachel. Malah percakapan itu terdengar semakin asik diselingi tawa.

Lars di bangku penumpang depan curi-curi pandang melalui kaca spion depan, menahan tawanya. Rachel tampaknya sangat sebal berada di sana.

Rachel iri.

Setidaknya itu yang Lars tangkap dari ekspresinya.

"Kita akan pergi selama satu bulan lagi, jadi siapkan dirimu..." ujar Niels, masih pada Rene.

Namun, Rachel tertarik untuk menoleh kali ini, dan rupanya Niels sadar. Pria itu juga menoleh, dan untuk beberapa detik, kedua mata mereka bertemu, meski Niels tak bisa menatap mata gadis di depannya itu langsung karena ia mengenakan kacamata hitam tebalnya.

"Kenapa?" tanya Niels dingin.

"Kau berisik. Lebih baik kau diam atau berbicara denganku."

****

Laboratorium Utama Cyclops Intelligence

Distrik 14, Mazsea, Hatemoor

23 Februari 2157

12.30 NPM

Pintu masuk laboratorium berbahan metal-aluminium terbuka begitu Rachel, Niels, Rene, dan Lars sampai di depannya. Satu per satu dari mereka memindai biometrik di depan pintu sebelum masuk. Khusus Niels dan Rene, mereka telah merekam data mereka ketika datang. Siapa tahu juga mereka akan kembali, bukan? Maka Rachel tidak lagi mereka menganggap sebagai tamu biasa.

"Ini adalah laboratorium utama. Ada sebelas sub-laboratorium dan ruangan di dalamnya, dan mereka disusun seperti huruf X di bangunan ini. Di sela-sela persimpangan dua sayap, selalu ada ruang terbuka hijau dan green house. Jadi, meskipun kami menghilangkan kebutuhan oksigen masif untuk manusia, kami tetap menjaganya, merestorasinya disini."

Rachel menjelaskan fitur-fitur dasar laboratorium, menunjuk beberapa yang tampak seiring mereka berjalan ke dalam. Niels dan Rene yang seorang pemerhati lingkungan sepertinya sangat tertarik dengan ruang terbuka hijau dan green house futuristik dibalik jendela-jendela besar laboratorium.

"Kudengar kau mengkoleksi banyak pepohonan di rumahmu, Niels Geyer?"

"Ah, ya. Dari mana... kau tahu?"

"Kau tidak perlu tahu. Aku hanya tahu."

Rachel melenggang lebih dulu, membuka pintu ke sub laboratorium favoritnya. "Ini adalah laboratorium karantina primata. Sebetulnya tidak hanya primata, tetapi juga seluruh hewan uji kami ada disini. Aku menyebutnya begitu karena sangat menyukai mereka," lanjutnya, seperti biasa menyentuh 'anak-anaknya' dari balik dinding kaca.

Niels tersenyum simpul. "Mereka memang sangat lucu. Kau juga menyukai orang utan bukan, Rene?"

"Ya, tentu saja."

Lars kembali harus menahan tawanya susah payah, karena saat ini Rachel pasti sedang merah padam wajahnya karena kesal. Niels sungguh keterlaluan.

Rachel lantas menghela, mempercepat penjelasannya. "Di samping kanan dan kiri adalah laboratorium histologi dan neurologi. Tiga laboratorium ini khusus untuk uji coba hewan, bukan manusia."

"Sedangkan kemarin, Lars membedahku di sini..."

Rachel melanjutkan perjalanan dan penjelasannya ke dalam, ke ruang bedah saraf hingga ruang pemeriksaan medis di paling belakang. Sesuai janjinya, Rachel memberikan simulasi penuh, penjelasan rinci akan setiap teknologi yang digunakan dan sistem yang dikembangkan perusahaannya hingga Niels dan Rene tampak lebih yakin dibanding sebelumnya di forum.

"Seperti itu, dan kuharap kau sudah dapat lebih percaya pada perusahaan kami, Niels, Rene. Seluruh sistem mulai dari administrasi, etik, pembedahan, dan pendampingan klien sudah kami susun dari awal hingga akhir." Rachel memberikan kesimpulannya, berbicara lebih sopan usai ditegur Niels di forum tadi.

Lalu nampaknya Rachel berhasil menurunkan tensi ketegangannya dengan Niels, karena pria itu mengangguk ramah kali ini. "Perusahaanmu mengagumkan, Rachel. Itu tidak perlu diragukan, tetapi sebagai sesama ilmuwan, aku akan tetap menjadi orang yang mengkritik dan mengawasi setiap temuan hebatmu agar kau terus berkembang."

Rachel tersenyum tipis, apakah itu layak disebut sebagai bentuk perhatian?

"Aku juga ingin meluruskan bahwa aku bersikap seperti itu padamu karena aku peduli, bukan karena diperintah oleh para politisi..."

"Kuharap kau juga tidak salah paham lagi."

****

Rachel tampak gelisah, mengetuk-ngetuk tangannya di meja sembari terus melihat sebuah bunga hidup dalam kotak kaca di depannya. Tidak ada yang salah dengan bunga berwarna ungu terang bernama Purple Passionflower itu. Hanya saja Rachel ragu apakah ia akan memberikannya pada Niels sebagai hadiah atau tidak.

Rachel sudah merencanakannya dua hari lalu. Ia memilih bunga-bunga paling langka dari dalam green house-nya, karena Isabela mengatakan Niels sangat menyukai tumbuhan-tumbuhan eksotis untuk dibawa ke rumahnya. Rachel juga memberikan kesan padanya lewat makna tersirat bunga itu: cantik, cerdas, ambisius, menarik.

"Ck! Kenapa aku harus repot-repot berpikir lagi? Bunga ini memang untuknya." Rachel sudah membuat keputusan. Lekas ia mengemas kotak kaca berisi bunga itu ke dalam paper bag berwarna perak, warna favoritnya.

Ya, makna hadiah itu seluruhnya adalah tentang Rachel, untuk Niels.

Rachel lantas keluar dari ruangannya, mendapati Niels dan Lars yang sedari tadi masih asik mengobrol di taman samping ruang kerja Rachel, sementara Rene sudah pulang lebih dulu.

Baru saja Rachel hendak menyapa, Niels sudah berbalik, berjalan ke arahnya, berpisah dengan Lars yang langsung pergi ke ruangan berbeda dengan pintu lain.

"Aku harus kembali ke kantor. Terima kasih atas kesempatannya."

"Oh, ya, sama-sama. Datanglah kembali jika kami sudah mulai melakukan uji klinis, barangkali kau tertarik," ujar Rachel, tersenyum tipis. Lalu tanpa sadar ia mengikuti langkah Niels menuju pintu keluar, menunggu saat yang tepat untuk memberikan hadiahnya.

Oh ayolah, Rachel mendadak grogi dengan berjalan berdua seperti ini.

"Kudengar Isabela mengganggumu saat berada di ruang isolasi. Maaf untuk itu."

Rachel tersenyum miring. "Sangat tidak masalah, dia banyak menghiburku di hari-hari yang membosankan. Aku justru berterima kasih."

"Benarkah? Semoga dia tidak berbicara jelek tentangku."

"Aku tidak ingat, tapi sepertinya tidak ada. Dia adik yang menyayangi dan menjaga reputasi kakaknya dengan baik."

Niels terkekeh pelan, membuat Rachel tak bisa untuk menatapnya lebih lama. Akhirnya, setelah ditunggu sekian lama, pria itu berinteraksi dengan 'benar' dengannya.

"Ini, untukmu." Rachel menyerahkan hadiah kecil dalam paper bag itu kemudian. "Anggap saja kenang-kenangan, kau bisa menyimpannya bersama koleksi tumbuhan eksotismu yang lain."

Niels tampak bingung, namun ia tetap melihat apa isi di dalam paper bag itu. "Passiflora incarnata. Purple Passionflower?"

"Ya, apakah kau menyukainya?"

"Tentu sa..."

Niels tak melanjutkan, ia mendadak memegangi kepalanya, tampak merintih kesakitan.

"Niels?" Rachel khawatir, menopang lengan Niels agar pria itu tidak terhuyung dan jatuh. Namun sayang, ia tak terlalu kuat.

BUKK!

TRANG!

Niels ambruk, terjatuh ke lantai bersamaan dengan kotak kaca yang tadi dipegangnya. Tak hanya jatuh, ia pingsan, tak sadarkan diri.

Rachel panik, membawa Niels ke pangkuannya, menepuk-nepuk pelan wajah dingin pria itu. "Niels Geyer! Kau mendengarku?"

Tak ada respon.

"Astaga, apakah kau sakit?"

"Lars!"

"CI! Tolong panggilkan Lars kesini!"