Aku tidak tahu di mana ini.
Rasanya, tubuhku baru saja ditarik, untuk kemudian dijatuhkan begitu saja. Dan begitu sadar, aku sudah berdiri di tempat ini.
Sebuah padang rumput yang disinari temaram rembulan.
Sebuah kedamaian, yang selama inu kuidam-idamkan.
#
"Permisi," sebuah suara mengetuk pintu depan.
Tidak, bukan itu masalahnya.
Aku mengintip dari salah satu jendela yang menghubungkan antara meja kasir dengan dunia luar. Ini kan restoran, kenapa ada yang repot-repot mengetuk dulu sebelum masuk?
Aku melompat keluar dari bilik kasir. Setelah membetulkan apron, aku membuka pintu dan menyiapkan ekspresi terramah yang bisa kupikirkan.
"Selamat datang di Resto Dini. Ada yang bisa dibantu, kak?"
"Eh, uh," laki-laki itu terlihat linglung untuk sesaat. Matanya melirik, antara ke arahku, kemudian ke arah atas, tempat bertenggernya logo bakul nasi Resto Dini, "Ini ... rumah makan kan ya?"
Ada sepercik niatan untuk menatap ke arah wajah itu. Lalu memakinya. Tidak puas, mungkin aku juga akan kembali, mengambil Karen si Mesin Kasir, dan melemparkannya pada orang budiman satu ini. Atau, paling sederhana, mengatakan "Enggak, mas, ini warung kopi Sederhana. Kami menjual Masakan Padang instan."
Tapi tidak.
"Iya, betul. Ini rumah makan, Resto Dini tepatnya. Ada yang bisa dibantu, Mas?"
laki-laki itu memberiku perhatian ekstra setelah mendengar kata 'mas' dariku. Setelah itu, ia kembali ke kebingungannya; menatap ke logo di atas, kemudian ke jendela, lalu mengintip ke dalam.
"Yakin?"
Aku ingin mengunyel-unyel wajah sinis itu. Kalau bisa sampai tidak berbentuk lagi. Tapi tidak bisa. Pelanggan, yang sebatas potensial sekalipun, harus tetap dibaikin!
"Betul, kak."
"Kalau begitu, ini. Masukkan ini ke makanan kalian."
"Oke." aku menerima bubuk putih yang dikemas dalam plastik transparan itu, lalu menyakukannya.
Setelah basa-basi sejenak, tentang keadaan sekitar, laki-laki itu akhirnya pergi. Aku tersenyum, melambaikan tangan tanda perpisahan.
Di detik berikutnya, tempat ini mulai ramai. Kegiatanku berpindah ke melayani pelanggan yang hendak membayar. Memberikan kembalian juga menghadapi beberapa gombalan orang tua yang kelewat percaya diri.
"Ah, mbak tahu itu selebritas di televisi?" pria 30 tahunan itu mendecak sembari memejam tanggung, "Gaakan bisa menyaingin baiknya istri saya ini!"
Entah ini yang keberapa kalinya, tapi aku memaksakan sudut-sudutku untuk terangkat. Pria 30 tahunan yang tengan memeluk pundak istrinya kini tertawa terbahak-bahak. Wajahnya memerah, bak kepiting rebus.
"Maaf, kami permisi dulu. Suami saya sepertinya terlalu mabuk sekarang," sang istri menunduk dan mengarahkan suaminya keluar, sebelum tawa menggelegar dan langsung teredam oleh tertutupnya pintu.
Tubuhku melorot. Tiduran di lantai sempat jadi ide menarik; tidur di tengah-tengah pengunjung selagi mereka kebingungan. Tapi tubuhku tertahan meja kasir, selagi kumeringkuk ke lengan.
"Orang-orang pada makan apa sih ya?" seseorang mulai ngedumel di belakangku. Suaranya makin dekat dan berhenti di depan meja kasir. Saat mendongak, aku mendapatkan perempuan berkacamata bundar tengah berdiri. Pandangannya terpaku ke arah lain, dan saat kuikuti, mengarah ke sebuah keluarga yang sedang mengadakan pesta ulang tahun, "Tenaganya besar-besar, apalagi yang kecil satu itu."
Aku memincing. Sang terdakwa adalah satu anak kecil. Jika diperhatikan, anak kecil itu layaknya anak kecil lainnya. Tetapi ada yang berbahaya ketika salah satu ujung bibirnya tertarik terlalu ke atas. Dengan satu gerakan yang bertenaga, semangkuk kue ulang tahun yang sudah dipotong menghantam wajah rekannya, atau saudaranya entahlah. Suasana berubah jadi kacau di meja itu. Dua pelayan lain berusaha mendekati meja itu, tetapi mereka langsung menjaga jarak saat si anak mengambil sepotong kue lagi, mengancam untuk melemparkannya. Anak itu sudah seperti Jack the Ripper, tapi alih-alih darah dan jeroan manusia, wajahnya dipenuhi sus dan krim.
Aku kembali melirik Divana, atau sebut saja Diva, yang masih berdiri di hadapan. Kini ia menumpukan kedua tangannya di meja kasir. Pandangannya masih terarah ke meja ulang tahun yang ricuh; bibirnya mengkerut, dan kadang berkedut, terutama kalau mulai muncul puncak kericuhan. Ada satu hal yang paling mencolok dari Diva kini, yaitu apronnya yang bersimbah krim.
"Jadi pelayan menyusahkan juga, ya." gumamku, kini memperhatikan sang anak yang mulai ditarik dan ditahan orang tuanya seperti pada ritual pengusir setan. Sang anak sendiri mulai berontak, berteriak-teriak. Setannya mulai keluar, mungkin.
"Iya tentu. Pelanggannya aneh-aneh begitu."
"Setidaknya tidak setiap hari, kan? Kasir ini minimal dapat dua laki-laki yang suka gombal," aku mendengus.
Diva membenarkan kacamatanya, terkikik geli.
"Woi, pelayan yang di sana, bantu sini bentar!" rekan pelayan pria memanggil ke arah sini. Diva berjengit sebentar, sebelum berlari-lari kecil untuk menghampiri sang pemanggil. Jalannya agak kikuk, beberapa kali menyenggol mrja yang tertata rapi. Saat tengah membenarkan, pelayan pria tadi menyuruhnya agar lebih cepat.
Itulah kenapa aku tak ingin jadi pelayan.
"Heh, bengong saja!"
Sebuah handuk setengah mamel dihantamkan di meja kasir. Sontak, aku hampir terlempar dari posisi duduk bertumpu meja, ke posisi berdiri tegap. Sang pelaku berdiri mendekat ke sampingku.
"Oh, ini ya anak baru itu. Tukang kasir yang males-malesan kalau kerja!"
Suara nyaring nan cempreng itu berusaha membuat suasana horor dan menyeramkan. Tapi sayang, masih kurang buat mengalahkan sang Anak Iblis yang sedang ulang tahun. Perhatian kami dipecakan oleh tangisan lain. Beberapa pelayan, termasuk pelayan laki-laki yang tadi memanggil Diva, kini kelabakan, dan ia memanggil juga sosok di sebelahku.
"Katrin! Sini, bantu lagi!"
Katrin mendengus. Ia melempar handuk apek yang barusan jadi korban bantingannya ke wajahku. Telunjuknya sempat diajukan ke hidungku, sembari Katrin melafalkan "Awas kamu" tanpa bersuara. Dan begitu ia berbalik, ada keinginan untuk melempar kembali handuk apek ini.
Tentu, aku belum punya nyali, jadi aku melempar benda itu ke samping, lalu duduk.
Tugasku masih berjalan. Seorang kasir bukan hanya sekedar menerima dan memberikan kembalian, tetapi juga menghitung ulang pendapatan yang sudah disesuaikan dengan struk yang kuterima. Tidak berat. Aku masih bisa menghela napas di tengah recehan yang kotor dan uang ribuan yang terlipat ke sana ke mari.
Setelah separuh jalan, aku mulai merasa perhatianku kembali teralihkan. Awalnya cuma ke foto usang yang selalu terpajang di ujung mesin kasir. Isinya tidak spesial, cuma foto keluarga. Foto keluarga yang terus menatap dan menghakimi di setiap kali kumelihatnya. Tetapi, ada hal lain yang terasa asing.
Sakuku memberat.
Aku merogohnya dan mengeluarkan sebungkus serbuk putih. Senyumku terasa melebar. Tatapanku mungkin seakan berharap sekarang, penuh mimpi. Di saat penuh rasa panik dan stres, bungkus itu seakan sebuah berlian yang mengalihkan dunia.
Aku memejam, berangan akan apa yang bisa kulakukan dengan serbuk ini. Dan aku hendak melihat bungkus itu sekali, saat aku tersadar.
Mataku membeliak, berteriak dalam hati.
"INI APA WOIIIIII?!!!!"