"Kamu, kenapa keringetan begitu?"
Diva menoel lenganku, yang justru membuat keringat yang sedari tadi terkumpul di dahi mulai menetes turun. Kini, kutak lagi membedakan air keringat atau guyuran hujan.
Rita?
"Rita!"
Aku benar-benar tersentak kali ini, oleng dan hampir terjatuh dari kursi. Untung Diva segera memegangiku.
"Rita, kamu kenapa sih?" Diva menggoyang-goyangkan tubuh, menarik wajahku agar menghadap wajahnya, "Rit, kamu kecapean? Atau kenapa? Wajahmu gitu, ngeri!"
kosongaku
"Eh, iya," mulutku menjawab seperti mesin otomatis. Selebihnya, cuma ah-uh kebingungan.
Diva memandangiku dengan alis yang menaut. Wajah khawatir itu terus menempel, diiringi bola mata yang terus beralih dari tubuhku, lalu ke mata. Diva mulai berbicara lagi, tapi suaranya membal. Telingaku seperti kemasukan air.
"M-maaf, Div, boleh jagain sebentar?" Aku memegangi dahi. Dan bum, panas. Panas sekali dahiku, "Aku gak enak badan."
Aku melirik, melihat Diva membuka mulutnya beberapa kali. Masih belum ada suara, seolah dunia di sekitarku berubah bisu. Aku menggeleng, menepuk pundak Diva ketika ia hendak memanggil pelayan-pelayan lain buat membantu.
Rita.
Kepalaku berdengung. Sebuah suara samar baru saja terdengar. Memanggil. Tapi aku tidak mengenalnya, pun, suara itu terdengar tak manusiawi.
Rita.
Tubuhku beberapa kali oleng, dan Diva dengan sigap memegangi.
Rita. Lari.
Aku mengangkat kepala. Setiap objek yang kutangkap bergetar layaknya jeli. Di antara semua itu, aku menangkap sosok berjubah hitam.
Bentuknya agak aneh; jubah kebesaran, dan topi koboi yang rasanya salah tempat. Ini bukan Texas atau DuBai (Dunia koboy). Tapi ada sesuatu yang menusuk kepalaku, memperingatkan.
Lari!
"Diva, awas!"
Pria itu menyibakkan jubah kebesarannya dan mengeluarkan sesuatu. Benda itu mencolok di antara sepinya rumah makan ini. Sebuah moncong senjata.
Mataku membelalak. Tanganku balik merangkul lrngan Diva, memaksanya jatuh. Dan, kami jatuh bersama, menimpa sebuah kursi di sampingku. Brak!
Dunia jeliku bergetar hebat. Semua yang kupandang sudah tak jelas lagi bentuknya. Apakah itu kursi yang terjatuh, atau siluet-siluet yang bergerak ke sana kemari, aku tidak bisa membedakannya. Suara-suara yang membal masih sama, hanya kini bertambah intensitasnya. Beberapa teriakan bisa menembus perisai membal tadi, contohnya Diva yang berada di sebelahku.
Aku memegang tangannya, lalu mendesis, "Tenang, Div. Kalau ini perampokan, kita tinggal ikuti keadaan."
Diva mengerenyit. Ia menatapku tak percaya untuk sejenak, sebelum mengangguk. Kami duduk sejenak, mendengarkan. Suara tembakan pertama keluar dan diikuti lebih banyak jeritan.
"Buka kasirnya, sekarang!"
"Ka-kasir ada di depan sana, Tuan!" Suara seorang perempuan terdengar di antara mulut-mulut yang terbungkam. Sialan Katrin.
Langkah kaki berderap mendekat ke arah kami. Di balik meja dan kursi, aku mengintip. Tempatku dan Diva sekarang belum begitu jauh dari tempat kasir. Sebab itulah aku mengutuk Katrin. Pada saat yang tepat, ketika berpapasan, laki-laki berjubah itu melirik ke arah kami.
Ditodongkannya sepucuk senjata api, "Siapa di antara kalian yang bertugas di mesin kasir?"
Diva melirikku, yang kudahului dengan berdiri. Tubuhku sedikit linglung pada awalnya, tapi aku berhasil berpegangan di sebuah kursi. Diva yang hendak membantuku urung ketika sang laki-laki menodongkan moncong senjata ke arahnya.
"Aku yang akan membantunya." Tangan sang laki-laki menerobos ke lenganku, membopongku dengan satu lengan. Gerakannya terlalu cepat. Kakiku malah terseret alih-alih berjalan berdampingan.
Merasa kalau langkahnya diperlambat, laki-laki itu berhenti sejenak untuk membetulkan pegangan tangannya pada lenganku, "Cih, cepatlah!" Umpatnya tidak sabar. Ia lanjut menyeretku.
Aku mendongak ke arahnya. Bergetar. Tubuhnya bergetar tak karuan.
"Tuan, kenapa merampok?"
"Hah?!"
Rasanya mulutku sudah di luar kontrol. Tiba-tiba saja aku berbicara.
"Aku jadi kasir. Lalu kenapa Tuan merampok? Enak sekali."
Brak!
Belum genap kami mencapai kasir, laki-laki ini mendorongku hingga terjatuh. Tubuhku terpelanting, kepalaku membentur salah satu kaki kursi; perasaan yang cukup untuk membuatku menitihkan air mata. Tapi tidak, rasanya membal, seperti sebuah wadah kosong tak berperasaan.
Telingaku jadi bebal lagi.
Aku mendongak, mendapatkan moncong yang sudah diarahkan ke wajahku. Topi laki-laki itu terjatuh, menampakkan wajahnya. Ia sempat berucap sesuatu, terlihat murka. Lalu setelahnya, ia hanya mengucap dua kata:
"Mati kau!"
Eh?
Bola mataku membulat demi menangkap momen ini. Kepala yang sedari tadi bebal, mulai terisi aliran darah; tersadarkan.
Aku akan mati.
Blam!
#
Aku tidak tahu bagaimana aku bisa sampai di sini.
Tidak ada ingatan mengenai dari mana, bahkan lima "w" satu "h". Aku masih mengingat namaku. Rita Retalia, 17 tahun. Sebelumnya, aku berada di Resto Dini saat sebuah perampokan terjadi.
Sekarang aku terlentang di tempat ini. Gelap, tapi mungkin aku bisa menerka apa yang kulihat kini. Anehnya, aku tidak ingat langit di daerahku secerah ini saat malam hari. Bintang-bintang bersinar seolah dekat sekali dengan bumi; beberapa sangat cerah, beberapa menyatu dengan latar belakang.
Ha, indahnya. Mataku terasa berat sekarang. Angin bertiup seakan mengaminiku untuk segera terlelap. Suara khas penghuni padang rumput mulai terdengar: lagu para jangkrik yang merdu.
Ujung-ujung rumput yang tajam sedari tadi berusaha menusuk baju terusan yang kupakai. Awalnya tidak mengganggu. Tapi lama-kelamaan—
"Argh, rumput sialan! Gue injak lo, astaga!"
Dan, aku menginjak-injak rerumputan tadi tentunya. Bodo amat, setelahnya aku melempar lagi tubuhku ke rerumputan yang kini sudah (agak) rata untuk jadi tempat tidur. Kembali aku menatapi langit, dengan lengan yang membantali kepalaku dari rumput-rumput.
"Aku, sudah mati ya ... berarti ini alam baka?"
Alam baka. Aku menghela napas.
Napasku sendiri terasa agak ringan, seperti sesuatu yang sebelumnya mengganjal selama bertahun-tahun di lepaskan begitu saja. Mungkin karena udara di sini yang lebih segar, atau sejenisnya. Bukan lagi asap perkotaan.
"Kalau iya, berarti tinggal menunggu saja. Lalu penghakiman," Sesuatu dari kalimat itu terasa agak lucu. Begitu saja hidup? Berakhir dengan peluru di kepala, tanpa sempat melakukan apa-apa? Kalau dipikir, menyedihkan juga.
Rita Retalia, remaja 17 tahun, menjadi korban di perampokan rumah makan.
Mulutku seketika terkantup rapat. Beban yang semula telah dilepaskan perlahan kembali menghinggapi. Rita Retalia, tulang punggung satu-satunya, meninggal karena hal konyol seperti tertembak di kepala.
Ada binar-binar yang memenuhi mataku. Dan tahu-tahu, air mata mengalir begitu saja.
"Maaf," lalu lagi, dan lagi. Semakin banyak tetesan-tetesan baru yang keluar, berdesakan di pelupuk, sebelum meluncur deras, "... maaf."
"Saat-saat seperti ini memang cocok untuk merenung ya, Non."
Aku mengangguk. Begitu memejam, mataku membuka maksimal. Aku bergegas berdiri dan mengambil jarak dari seseorang yang kini duduk beberapa langkah dari tempatku berbaring tadi.
"S-siapa?!"
"Ah," sosok itu menyelilkan rambutnya ke belakang telinga. Pandangannya lurus ke arahku, dan ketika ia tersenyum matanya menyipit. Lesungnya melebar dan makin kentara, "maaf mengagetkanmu, Nona. Pasti proses kebangkitannya melelahkan, ya?"