"Lean!!! "
Narra berteriak dari depan rumah sepulang kuliah ingin agar adiknya itu berlari dan menyambutnya karena dia membawakan batagor yang juga menjadi makanan kesukaannya.
"Non lean belum pulang " mbak atun muncul dengan setengah berlari ke arah narra yang sedang berjalan menuju ke kamar lean.
Dia melihat wajah mbak atun yang kelihatan khawatir.
"Sekarang kan sudah jam delapan, kenapa belum pulang " narra pun dengan cepat raut wajahnya berubah menjadi lebih khawatir.
"Tadi mbak telepon non narra, tapi nggak diangkat "
Narra mengusap keningnya dan baru teringat jika tadi dia sengaja membuat pengaturan ponselnya tanpa suara.
"Iya, maaf mbak. Tadi itu dosennya bikin peraturan jangan ada ponsel bunyi kalau dia sedang ngajar "
Dengan cepat narra mengambil ponselnya dan lalu mengubungi lean yang tidak biasanya belum pulang ke rumah setelah narra datang. Dia selalu ada di rumah sebelum narra dan selalu menyambutnya pulang dengan senyuman.
"Nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif "
"Dia tadi bilang baterai ponselnya habis... " guman narra..
Itu semakin membuat narra cemas dan semua pikiran buruk muncul di pikirannya.
"Dia tadi pulang naik apa, aku bodoh sekali nggak tanyain itu! "
Narra menyalahkan dirinya sendiri kali ini, dia terlalu cemas sampai tidak bisa berpikir jernih untuk memutuskan apa lagi yang harus dia lakukan.
"Om " akhirnya narra tahu siapa yang harus dia hubungi.
"Ayo angkat " narra semakin cemas ketika pamannya itu tidak mengangkat teleponnya.
Narra mondar-mandir sambil terus memegangi ponselnya dan pikirannya mulai kacau.
"Tante " narra berhasil menghubungi adik kandung dari aayahnya itu.
Karena ibunya adalah anak tunggal, jadi selain om dan tantenya yang mengurus semua peninggalan orang tuanya mereka juga yang menjadi orang tua narra sekarang.
"Om dimana? "
"Ini tanggal dua puluh narra, kamu kan tahu setiap tanggal itu dia harus rapat "
Narra mengangguk membenarkan ucapan tantenya itu.
"Ada apa? "
"Tante, lean sampai sekarang belum pulang " jawabnya.
"Jangan takut dulu, mungkin menginap di rumah temannya "
Narra menggelengkan kepalanya, walaupun dia tahu tantenya tidak akan bisa melihatnya.
"Tapi terakhir dia telepon, lean dalam perjalanan pulang "
"Narra namanya juga anak muda, sekali-sekali kasih kebebasan buat lean bergaul "
"Tapi nggak biasanya lean pulang malam tante, apa saya harus lapor polisi? "
"Percuma kalau belum dua puluh empat jam, mending kamu cari ke sekolahnya dulu atau ke rumah teman-temannya "
Narra mengangguk, "iya, tante."
Dia masih kebingungan lagi, karena yang dia tahu lean baru satu bulan di sekolah barunya. Jadi dia masih belum tahu teman-teman yang dekat dengan adiknya.
"Efriel "
Akhirnya narra memutuskan untuk menghubungi sahabatnya itu, walaupun dia sudah berjanji pada pamannya untuk tidak terlalu sering bertemu dengan efriel.
"Lean belum pulang sampai sekarang " narra bicara sambil menangis karena terlalu banyak kekacauan di pikirannya yang memaksa air matanya keluar.
"Bukannya tadi sore kamu bilang dia sedang dalam perjalanan pulang "
"Makanya aku takut " narra tidak bisa melanjutkan perkataannya karena tangisannya.
"Kamu tenang dulu "
"Aku harus lapor polisi "
"Tapi ini belum dua puluh empat jam, ra "
Jawaban efriel sama dengan jawaban tantenya tadi.
"Jadi sekarang bagaimana? " narra merasa pikirannya buntu sekarang ini.
"Aku kerumah kamu lima menit lagi, kita cari sama-sama "
"Iya "
Narra semakin tidak bisa menahan air matanya karena dia merasa mendapatkan cobaan yang lebih berat lagi.
Dia terduduk di depan teras rumahnya dengan tangisannya, berharap ketika dia sedang menangis lean datang mengejutkannya dengan tawa dan membawakannya martabak kismis keju kesukaannya.
Memberikannya alasan logis kenapa sampai dengan sekarang lean terlambat pulang.
Sudah lima menit berlalu ketika narra terduduk di teras depan rumahnya, dia melihat sebuah mobil sedan tahun 90an berwarna hitam milik efriel berhenti di depan rumahnya.
Narra dengan begitu cepat berdiri dan berada di dalam mobil tepat ketika efriel keluar dari mobilnya.
"Jaket kamu mana? ini udah malam, pasti dingin nanti "
"Nggak usah " jawab narra, "kita ke sekolah lean sekarang "
"Iya, iya. Kita berangkat sekarang "
Efriel kembali masuk ke dalam mobilnya dan mereka pergi ke tempat pertama yang narra sebutkan.
Di tengah perjalanan, efriel sesekali menoleh ke arah narra yang dia tahu sekali sahabatnya itu tidak berhenti menangis karena mencemaskan adik kesayangannya itu.
"Jangan liatin gitu " celetuk narra.
Efriel memberikan sekotak tisu, "iya aku tahu kamu cemas, lap ingusnya "
"Efriel!! " sambil menangis narra menyempatkan untuk memberikan satu pukulan di tangan efriel yang bisa-bisanya masih bisa melayangkan candaan ketika dia sedang benar-benar kacau.
"Tenang, mak. Lean lagi bikin prank mungkin "
"Iya, lebih baik seperti itu. Dia tidak apa-apa, paling aku bikin potongan uang jajan sama skincare nya "
Efriel tersenyum tipis, mellihat narra seperti ini baginya lebih baik daripada menangis.
Mereka keluar bersamaan ketika sampai di depan gerbang sekolah lean yang sudah sepi dan lammpu-lampu di beberapa ruangan saja yang menyala.
"Cari siapa neng? "
Muncul sesosok laki-laki paruh baya dengan pakaian seragam keamanan dari pos yang ada di dalam wilayah sekolah.
"Saya cari adik saya, pak " narra menjawab sambil memutarkan pandangannya ke seluruh penjuru sekolah yang gelap.
"Udah tutup neng, nggak ada anak yang masih di sekolah. Paling telat disini pada pulang jam empat sore "
"Kayaknya lean bukan di sekolah, ra " ucap efriel.
Melihat suasana sekolah yang sepi dan gelap efriel yakin lean tidak berada di sekolah.
"Terima kasih, pak " efriel menggantikan narra berpamitan karena dia terlihat berjalan dengan tatapan kosong.
"Sekarang kita kemana? " narra bertanya pada efriel.
"Coba kamu ingat, tadi lean bicara apa aja di telepon " efriel mencoba mengingatkan narra.
"Sebentar "
Narra mencoba mengingat kembali percakapannya dengan lean tadi, menarik nafas dalam agar dia bisa tenang dan mengingatnya.
"Dia bilang baru selesai di perpustakaan umum tadi "
Efriel mengangguk dan dengan cepat memutar balik kendaraan yang dikemudikannya menuju ke tempat yang narra sebutkan.
"Tutup juga " ucap efriel ketika mereka sampai di sebuah bangunan perpustakaan umum yang jadi tempat favorit lean setelah pulang sekolah.
Gerbangnya sudah tertutup rapat dan hanya lampu taman saja yang masih menyala.
Narra merasa putus asa dan seketika dia hanya bisa menangis karena belum bisa bertemu dengan adik kesayangannya.
Efriel mencoba untuk bisa menenangkan sahabatnya kali ini, dia memakai ponsel narra menghubungi mbak atun yang berada di rumah berharap lean sudah berada di rumahnya sekarang.
Tapi lagi-lagi hasilnya sangat mengecewakan dan kecemasan narra semakin bertambah.
"Kak narra "
Ada suara yang memanggilnya dari arah toko kelontongan yang menjual berbagai alat tulis.
Narra memicingkan matanya untuk memperjelas pandangan karena semuanya terlihat buram oleh tangisannya.
"Welli kak, teman sekelas lean "
Narra menganggukkan kepalanya dan dia baru ingat ketika pertama kali mengantar lean ke sekolah barunya dia bertemu dengan welli.
"Apa kamu tadi dengan lean pergi ke perpustakaan umum? " tanya narra.
"Iya, kak "
Jawaban itu membuat narra lega dan seperti menemukan titik terang.
"Lean di tempat kamu sekarang? "
Anak perempuan bernama welli itu menggelengkan kepalanya. Jawaban yang sangat tidak diharapkan oleh narra saat ini.
"Lean belum pulang kak? "
"Iya " narra menjawab dengan nada lemah.
"Tapi tadi dia dijemput orang yang dikenal kak, dia bilang begitu pas pamitan sama aku "
"Tapi, aku nggak lihat dia masuk mobil yang mana "
Narra menoleh ke efriel yang sama sepertinya memikirkan siapa orang yang sudah pergi dengan lean tadi yang belum sempat dia katakan karena teleponnya sudah terputus.
Narra seperti mendapatkan sebuah tikaman yang tiba-tiba menghujam di jantungnya setelah mengetahui adikny yang masih sangat muda menjadi seorang pembunuh.