Chereads / Seven Hundred And Thirty Days / Chapter 6 - Rumah Sakit

Chapter 6 - Rumah Sakit

"Kamu bisa, ra " efriel memberikan semangat untuk sahabatnya itu melawan rasa takut pada ruangan paling depan di bagian rumah sakit itu.

Narra sekilas membaca tulisan instalasi gawat darurat sekilas sebelum akhrnya dia dan efriel masuk ke dalaam ruangan tersebut.

"Itu bukan kamu kan? "

Pertanyaan terlintas di pikiran narra yang ingin sekali bisa menjadi orang yang sangat sakti, semua yang dia katakan menjadi kenyataan.

"Kamu sekarang ada di rumah, please! "

"Kami mencari pasien bernama lean "

Narra melihat dan mendengar efriel bicara dengan salah satu petugas ruangan tersebut.

Dia memutarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan dan berhenti satu sudut dengan lantai yang ditandai dengan warna merah.

Seperti ada dua sosok orang tuanya dibalik tirai yang menutupi ruangan tersebut.

Ketika dia melihat darah yang masih segar di pakaian ayah dan ibunya, bahkan dia ingat pasti ketika dokter mengatakan bahwa ibunya telah meninggal di tempat kejadian dan ayahnya dalam keadaan kritis.

Sambil menangis dia juga tidak sengaja melihat ketika seorang dokter melakukan sebuah tindakan dengan menekan-nekan dada ayahnya yang sama sekali tidak memberikan respon kesakitan sebelum dinyatakan meninggal dunia.

Semua itu semakin membuat nafasnya semakin berat dan dadanya terasa sakit. Kehidupan sedihnya sudah sangat sempurna bahkan narra pikir sangat sempurna jika sekarang lean pun harus berada di rumah sakit yang diapun beelum tahu penyebabnya.

"Kita ke ruang observasi di atas "

Efriel mengejutkan narra, membuat semua bayangan masa lalunya seketika menghilang dan dia kembali tersadar.

"Ya "

Narra mengikuti langkah efriel yang sudah berjalan lebih dulu di depannya.

Dia ingin sekali menanyakan apa saja yang di bicarakan efriel tadi dengan petugas, karena dia terlalu keras mengingat masa lalu membuatnya tidak mendengar pembicaraan mereka.

Tapi bibirnya terasa begitu berat untuk bertanya, perasaannya sangat ketakutan saat ini.

Langkah efriel terhenti ketika mereka sampai di depan pintu sebuah ruangan yang memiliki sebuah tanda berwarna kuning.

Efriel berbalik dan melihat ke arah narra yang berhenti setelahnya.

"Ada apa? " tanya narra.

"Kamu harus bersiap, kita akan masuk dan memastikan lean yang sedang berada di dalam ruangan itu "

"Ya " dia hanya bisa berharap akan ada kekeliruan menipu dirinya sendiri untuk bisa kuat.

Setelah efriel membuka pintu ruangan tersebut, dari kejauhan dia telah menangkap sesosok yang terbaring di atas tempat tidur.

Narra berjalan dengan kedua kakinya yang gemetar dan sepasang mata yang mulai berhamburan air mata melihat tubuh lean yang terbaring

"Efriel " narra menghentikan langkahnnya dan berbalik ke arah efriel yang berada dibelakangnya.

"Kamu harus kuat, ra "

Efriel mencoba menguatkan sahabatnya itu, karena dia sedikit mendapatkan informasi dari petugas tadi walaupun akhirnya petugas itu menolak untuk menjelaskan lebih lanjut karena bukan kewenangannya.

Narra kembali melanjutkan langkah kakinya untuk lebih mendekat ke sesosok lean yang terbaring masih menutup kedua matanya dengan jarum infus yang menempel dii tangannya juga selang oksigen.

"Kenapa dengan lean, riel? "

Narra yang sudah berdiri disamping lean kebingungan dengan luka yang ada di ujung bibir lean.

Dia merasa yakin itu bukan luka karena sebuah kecelakaan, tetapi lebih terlihat karena pukulan.

Kulit putih lean yang menunjukan dengan jelas luka tersebut, dan hanya itu satu-satunya luka yang narra lihat oleh kedua matanya.

"Kamu kenapa, lean? "

Suara narra bergetar menanyakan sesuatu yang seketika membuat kedua matanya mengeluarkan bulir-bulir air mata.

"Riel, lean kenapa? "

Dia juga mencoba bertanya pada sahabatnya itu, sambil menangis dan mengusap rambut lean dengan lembut.

Hatinya merasa sangat sakit melihat kondisi lean saat ini, dan narra merasa ujiaan yang diberikan padanya kali ini lebih berat baginya.

Dia merasa penciptanya sangat tidak adil padanya sekarang, karena dia merasa jika selalu saja diberikan rasa sakit yang mengaharuskannya kembali meneteskan air mata.

"Efriel, kamu jawab kalau tahu sesuat! " cetus narra.

Rasa kesal bercampur dengan kesedihannya memuncak ketika sahabatnya pun tidak sedikitpun memberikan penjelasan padanya.

"Sebentar lagi pihak kepolisian datang buat jelasin, ra "

"Polisi " ucap narra pelan.

Dia lalu melihat ke arah efriel yang masih berdiri di belakangnya, wajahnya memperlihatkan sesuatu hal yang seolah-olah secara tidak langsung memberikan jawaban lean sedang tidak baik-baik saja.

Langkah narra perlahan menuju ke arah efriel, dia baru ingat ketika tadi narra tidak fokus sesampainya di instalasi gawat darurat efriel berbicara dengan dokter jaga.

"Tadi itu kamu bicara dengan dokter jaga kan? " tanya narra lagi.

"Sedikitnya kamu tahu dari dokter jaga tadi "

"Please, riel "

Narra mendominasi pembicaraan kali ini, dia ingin tahu sedikit saja apa yang sudah terjadi dengan adiknya sekarang.

"Kamu duduk dulu, ra "

Efriel membawa narra untuk duduk di sebuah kursi, dan lalu dia mengambil satu kursi lagi untuk duduk berhadapan dengan narra.

Efriel terlihat menarik nafasnya dalam-dalam sebelum bicara dengan narra.

"Narra, aku minta maaf.. "

Efriel memegang kedua telapak tangan narra yang terasa begitu dingin.

"Ada apa, riel? " narra memandangi kedua mata efriel .

Efriel terlihat menganggukkan kepalanya satu kali dan baru berani untuk bertatapan dengan narra.

"Tadi dokter baru menjelaskan sedikit apa yang terjadi pada lean dan tindakan apa saja yang mereka lakukan " efriel berhenti untuk beberapa detik untuk kembali melanjutkan perkataannya.

Detak jantung narra sudah mulai berdetak lebih cepat, dia memakssakan dirinya untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan lean.

"Lean mengalami perdarahan hebat " efriel bicara dengan sangat hati-hati sambil terus mengawasi reaksi narra yang sedang mendengarkannya.

Narra masih terdiam dan mencoba tenang mendengarkan efriel yang menjelaskan kondisi adiknya.

"Lean, korban pelecehan.... "

Narra seketika merasa tubuhnnya melemas dan tidak sanggup untuk mendengarkan lagi semuanya.

Kedua kakinya melemas, narra yang pada awalnya terduduk di sebuah kursi menjadi terduduk di atas lantai dengan tangisannya yang akhirnya sudah tidak bisa dia bendung lagi.

Kondisi dimana dia merasa kali ini kehidupannya jauh lebih hancur dari semua kemalangan yang didapatkannya beberapa tahun lalu