Fahmi tidak suka jika Sindi mengganggu keluarganya. Seperti apapun usaha Sindi, Fahmi sudah terlanjur sakit hati pada Sindi.
"Kalau nelfon lagi matikan saja," kata Fahmi memberikan ponsel Sabila.
Fahmi keluar rumah, dia ingin mencari Amara. Dia tidak mau Amara terus bertindak semena-mena pada Sabila.
Pucuk di cinta ulampun tiba, Fahmi bertemu Amara di supermarket. Amara sedang membeli sesuatu. Di masih memakai seragam sekolah.
"Oh ini yang tadi mukulin adikku dengan sapu?" tanya Fahmi.
Amara terkejut dengan kedatangan fahmi, dia berusaha menghindar tetapi dicegah Fahmi.
"Jangan menghindar dari masalah, karena kamu memang biang masalah," kata Fahmi.
"Biarkan aku pergi," bentak Amara.
''Aku akan biarkan kamu pergi setelah kamu janji tidak akan mengganggu Sabila lagi," kata Fahmi masih menghalangi Amara.
"Dia yang sudah bikin aku discorsing jadi jangan salahkan aku," bantah Amara.
"Dasar jalang nggak punya hati," kata Fahmi.
"Jangan katakan itu padaku!" bentak Amara kesal.
"Kamu kan memang jalang, ngemis cinta sampai rela ditiduri," kata Fahmi. "Aku kira orang tua kamu perlu tahu," ancam Fahmi.
"Mereka tidak akan peduli," kata Amara.
"Iya, aku juga tahu sesuatu," kata Fahmi.
"Tahu apa kamu tentang aku?" tanya Amara.
"Kamu hamil dengn Jordi, kan. Pantas Tante Lusi minta alamat Jordi padaku," kata Fahmi. "Aku akan bongkar kehamilan kamu jika kamu masih mengganggu Sabila," ancam Fahmi.
"Jangan! Jangan lakukan itu!" larang Amara. "Aku masih ingin sekolah," kata Amara.
"Oh ya, tapi sepertinya bakalan kebongkar dengan sendirinya. Kehamilan itu akan semakin membesar, jadi nggak bisa ditutupi," kata Fahmi.
"Jangan ikut campur! Aku janji nggak akan ganggu Sabila lagi," kata Amara.
"Baiklah, kalau sampai kamu masih ganggu dia, maka kamu akan habis," ucap Fahmi.
"Sekarang biarin aku pergi!" kata Amara.
Fahmi membiarkan Amara pergi, kali ini Fahmi ke rumah Sindi. Dia juga akan mengancam Sindi.
Sampai di rumah Sindi, Sindi tampak senang Fahmi datang. Mamanya juga menyambut kedatangan Fahmi setelah itu meninggalkan Sindi dan Fahmi berdua.
"Kamu pasti berubah pikiran, kan?" tanya Sindi. "Aku yakin kamu tidak bisa jauh dari aku." Sindi sangat percaya diri.
"Ge-er sekali kamu Sindi. Aku kesini mau memperingatkan kamu. Jangan ganggu aku dan keluargaku!" ucap Fahmi.
"Tidak Fahmi, aku akan tetap mengejar kamu," kata Sindi.
"Jika kamu lakukan itu maka aku akan bilang ke orang tua kamu. Kalau kamu sudah tidur dengan Jordi, dan kemungkinan besar kamu bisa hamil dengan Jordi," kata Fahmi.
"Hahahhaha," tawa Sindi membuat Fahmi heran.
"Aku nggak akan hamil, karena aku sudah meminum alat kontrasepsi sebelum berhubungan dengan dia. Aku nggak sebodoh itu Fahmi," kata Sindi. "Orang tuaku nggak akan percaya dengan apa yang kamu katakan. Jadi jangan mengancam aku. Kamu mengancam orang yang salah," kata Sindi.
"Terserah, tapi kamu tidak akan pernah mendapatkan aku," ucap Fahmi.
Mama Sindi keluar, Fahmi berpamitan.
"Tante, tolong awasi Sindi! Jangan biarkan dia keluyuran kaya hantu," kata Fahmi pada Mama Sindi.
Mama Sindi melirik ke arah Sindi. Dia faham maksud dari Fahmi.
Setelah Fahmi pergi, Mama Sindi memarahi Sindi. Dia kecewa dengan Sindi karena memilih cowok yang salah.
"Rasakan dia pergi, salah siapa pilih cowok yang salah. Kamu nggak nyesel sekarang?" tanya Mama Sindi.
"Ma, aku akan dapatkan Fahmi kembali. Mama jangan remehkan Sindi," jawab Sindi lalu masuk ke dalam kamarnya.
Mama Sindi menggelengkan kepala melihat sikap keras kepala sang putri. Dia yakin itu menurun dari sang Papa yang sangat ambisius.
**
Amara tidak berani mengganggu Sabila lagi, dia lebih fokus untuk meminta pertanggung jawaban dari Jordi. Amara tidak mau jika dia diusir dari rumah hanya karena Jordi tidak mau bertanggung jawab.
"Amara, Papa dan Mama akan mendatangi rumah Jordi. Mama harap orang tua Jordi mau menikahkan kalian," kata Lusi.
"Menikah? Apa harus menikah?" tanya Amara.
"Tentu, kalau ingin anak kamu ada Papa dan Mamanya," jawab Lusi.
"Ma, aku belum siap jadi istri," ucap Amara. "Apalagi harus mengurus bayi, aku juga nggak mau ikut di rumah mertua," kata Amara.
Amara langsung parno mendengar kata pernikahan. Namun, saat melakukan dosa terlarang justru dia melakukannya dengan senang hati tanpa memikirkan akibatnya.
"Ma, aku dengar menikah dan tinggal di rumah mertua itu menyakitkan." Amara merasa ngeri. "Aku nggak mau jadi menantu yang teraniaya," kata Amara.
"Amara, apa kamu nggak mikir waktu ngelakuin dosa itu? Kok sekarang baru mikir?" tanya Surya.
"Ya, nggak lah, Pa." Amara tertunduk.
"Kalau sampai Jordi tidak mau bertanggung jawab, maka kamu harus siap angkat kaki dari sini," kata Surya.
"Pa, kasih kesempatan Amara. Amara akan bujuk Jordi, Pa. Papa jangan khawatir," kata Amara.
"Kamu terlalu bodoh Amara, terlalu Percaya pada laki-laki. Apalagi foto sexy kamu sudah viral," ucap Surya.
"Pa, apa salahnya Amara tetap di sini? Dia anak kita satu-satunya," kata Lusi.
"Papa nggak mau dibuat malu lagi, Ma. Dia sudah keterlaluan. Papa nggak bisa maafin dia," ucap Surya. "Lebih baik Papa nggak punya anak dari pada punya anak biang masalah," lanjut Surya. "Bawa Jordi segera," kata Surya lalu meninggalkan Lusi dan Amara.
Amara takut jika dia tidak berhasil membawa Jordi. Dia tidak mau pergi dari rumahnya sendiri. Dia harus membuat Jordi mau bertanggung jawab atas kehamilannya.
"Ma, bantu Amara, ya? Amara takut,'' kata Amara memeluk Lusi.
Lagi-lagi Amara tertekan, dia sudah diliburkan dari sekolahan. Dapat ancaman dari Fahmi, sekarang dia dapat ancaman dari Surya.
Rasanya Amara ingin menghabisi nyawanya saat ini juga. Dia merasa hidupnya tidak ada artinya lagi. Amara sudah muak dengan hidupnya yang berantakan.
**
Sabila masih merasakan sakit di kakinya. Dia sama sekali tidak bisa berjalan terlalu lama. Dia hanya bisa berbaring di atas ranjang.
"Sayang, ini makan malam kamu," kata Rani membawakan makanan untuk Sabila.
Rani menemani Sabila makan, sampai nasi di piring Sabila habis. Setelah itu Rani keluar membawa piring kosong milik Sabila.
Sabila memainkan ponselnya. Banyak sekali pesan grup kelasnya yang masuk. Sabila membaca dari atas pesan tersebut. Sabila terkejut dengan berita yang tersebar di grup kelasnya.
"Ya ampun!" pekik Sabila. "Apa benar kabar ini?" tanya Sabila heran.
Selain pesan grup WA kelas ada pesan juga dari Dewi dan Sofi. Mereka bertanya tentang berita tersebut.
Terdengar jendela kamar Sabila ada yang melempar batu. Sabila berusaha turun dari atas ranjang. Sabila mendekat ke arah jendela, dilihatnya ke jalan depan rumah.
Sabila terkejut dengan yang dia lihat. Dia langsung menutup korden jendalanya. Dia tidak mau merespon panggilannya lagi. Jika perlu dia dilaporkan satpam agar diusir dari kompleks rumah Sabila.