Chereads / The Craziest CEO, Baylor / Chapter 11 - Husband

Chapter 11 - Husband

Carol tidak menangkap raut wajah Jihan yang telah berubah sedari tadi. Carol, sibuk fokus ke arah bayi di dekapannya yang begitu menyita perhatian. Apalagi bayi laki-laki ditangannya itu sangat tidak terganggu pada hal di sekitarnya. Membuat Carol menjadi gemas sendiri terhadap bayi pintar itu.

Jihan masih sibuk bergelut dengan pikirannya sendiri, membuat Carol menoleh dan mengerutkan dahi. Menatap temannya yang terlihat sedikit melamun dan memikirkan sesuatu.

"Sedang memikirkan apa?" Pertanyaan Carol, sontak membuat Jihan sedikit terkejut.

Gerak-gerik Jihan yang mencurigakan membuat mata Carol menyipit. Tidak setahun dua tahun mereka berteman, tapi lebih dari beberapa tahun lamanya. Jadi, Carol hafal dengan tingkah Jihan ketika sedang memikirkan sesuatu.

"Jadi, bagaimana? Kamu ada sesuatu yang disembunyikan?" Tanya Carol.

Jihan menoleh dan menggeleng, "tidak ada. Aku dan dia baik, maksudku. Suamiku dan aku baik-baik saja sejauh ini." Ucapnya sambil tersenyum dan mengelus tengkuknya.

Carol mengerutkan dahinya, menatap Jihan dengan pandangan penuh selidik. Apalagi temannya ini seperti sedang sensitif dengan pertanyaan yang ia lontarkan barusan.

"Jangan membohongi ku Jihan, aku tidak berteman denganmu setahun atau dua tahun. Okay? Sudah bertahun-tahun, perlu digaris bawahi. Bertahun-tahun," tekan Carol.

Jihan sedikit meringis saat mengingat hal itu, ia tentu tidak lupa jika Carol adalah sahabat karibnya. Apalagi saat dia merasa terpuruk, Carol lah yang menjadi tempat pilihan pertamanya dulu untuk menangis dan bercerita sejadi-jadinya.

Jihan menghela nafas dan menunduk, "aku tidak tau ini pantas diceritakan atau tidak," ujarnya dengan lesu.

Membuat Carol menaikan sebelah alisnya, "apa maksudmu? Oh, sekarang ada rahasia di antara kita?" Sarkasnya.

Membuat Jihan menoleh ke arah Carol dan menggeleng dengan panik, "tidak. Maksudku, tidak. Seperti kau tadi, ada beberapa hal yang tidak bisa diceritakan. Bukan karena aku lupa dengan mu, tapi ada hal yang mendesak. Dan, membuatku lupa untuk bercerita dan terus terang menjadi–"

"Hey hey, Jihan. Listen, memang ada hal yang tidak perlu diceritakan karena kita berada di kondisi yang mendesak. Kan? Tapi aku disini, aku di depanmu. Menatapmu. Menggendong anak mu. Apa itu kurang?" Sela Carol dengan emosi.

Jihan menatap Carol dengan berkedip, kemudian sesaat setelah itu memilih untuk menghela nafas. Masih menimbang-nimbang, apakah dirinya pantas menceritakan hubungan rumah tangganya dengan Carol.

Jihan menatap Carol dengan dalam, "baiklah. Aku ceritakan sedikit, karena ini belum bisa dipastikan kebenarannya." Jihan mengubah posisi duduknya.

Membuat Carol ikut menjadi serius dibuatnya. Jihan duduk dengan tenang, menarik nafas agar ia bisa leluasa untuk bercerita.

"Baiklah, aku dan smith awalnya memang baik-baik saja. Pernikahan kami direstui oleh kedua orang tua karena perjodohan, dan kami berdua berada di antara ambang yang baik," Jihan menjeda kalimatnya.

"Kemudian singkatnya aku hamil, aku melahirkan, dan dihadapan orang-orang aku terlihat sangat bahagia karena terlihat seperti kehidupan yang sempurna," lanjut Jihan.

"Ahh ya, di kalimat itu aku setuju." Sela Carol sambil menumpu dagu di atas kepala Baylor yang perlahan tertidur.

Jihan mendelik, kemudian menghela nafas dan menunduk. Menatap ke arah bawah dengan sendu sembari memainkan jari jemarinya di atas paha sekal milik bayinya.

"Dan, aku memiliki sebuah firasat. Saat itu, aku sedang hamil. Hamil Baylor, dimana posisinya aku sedang hamil besar dan memang tidak bisa ditinggal. Aku punya banyak pikiran aneh tentang Smith," Jihan menatap Carol.

"Ada apa dengannya?" Tanya Carol.

"Waktu itu, aku mendapat informasi dari salah satu manager di sebuah hotel tentang renovasi hotel itu. Kebetulan pemiliknya adalah rekan ku sendiri, jadi. Kami saling bercerita dan berbagi. Sampai, kami menemukan jika Smith pernah booking kamar disini," lesu Jihan.

Carol membulatkan matanya dengan penasaran, kemudian ia semakin mendekat ke arah Jihan dan memperlihatkan bahwa dirinya sangat penasaran dengan cerita yang dibawakan oleh sahabat lamanya.

"Dan bagaimana?" Desak Carol.

Jihan mengerutkan keningnya, "ya kami sedikit terkejut, kemudian aku menyelidiki semuanya sendiri. Karyawan Smith sangat tidak berguna, mereka sangat tunduk kepada atasannya sendiri," Jihan mendengus.

"Kemudian, aku memilih untuk kembali melanjutkan nya sendiri, meminjam rekaman cctv dan berkas booking kamar milik suamiku. Dan, menurut pernyataan mereka, ternyata ia membawa seorang wanita," wajah Jihan tiba-tiba lesu.

Carol menganga sambil terus memajukan wajahnya. Memperlihatkan ekspresi bodoh yang membuat Jihan menjadi kesal sendiri.

"Kamu kenapa astaga," kesal Jihan.

Carol mendengus, "ya apalagi? Aku terkesima dengan perilaku suami mu. Dia berselingkuh dibelakang mu? Dan apalagi? Itu malah membuatku yakin untuk tidak menikah," smirk Carol terpampang.

Kemudian Jihan mengulum bibirnya dan melanjutkan ceritanya, "entahlah, aku disana masih mendengar kesaksian dari karyawan nya. Untuk pemeriksaan cctv, hotel mereka dalam tahap renovasi. Jadi, aku masih belum memastikan. Tapi, semisal dia memang membawa perempuan. Aku ingin memeriksa siapa wanita itu," Ucapannya sambil melirik Carol dengan tajam.

Carol yang menyimak perkataan Jihan sedari tadi sibuk menganga.

Temannya bisa dibilang lembut, tetapi jika Jihan sudah bertindak. Lebih menyeramkan dari dirinya yang menghajar tiga anak SMA yang menghadang mereka di jalan dan juga menghajar pelaku seksual yang berada di halte busway yang sedang sepi.

Carol meneguk ludah kasar, lalu sedetik kemudian menghela nafas dengan kasar. Ia menunduk, menimang bayi di tangannya yang telah terlelap.

"Mungkin kau harus berbicara pada suami mu. Ini juga demi kepentingan Baylor,"

Carol sibuk menatap bayi di tangannya yang telah pulas. Melihat hal itu, Jihan terpaku sejenak. Membiarkan temannya menimang anaknya dengan lembut, sembari mengelus rambut bayinya. Carol terlihat mengeluarkan aura keibuannya.

Hati Jihan menghangat, rasanya ia ingin segera menarik jodoh Carol secepat mungkin. Apalagi, usia mereka bisa dibilang berbeda beberapa bulan saja, membuat Jihan mengkhawatirkan Carol sedemikian rupa.

Beberapa saat keduanya terdiam, Carol menoleh dan menatap ke arah Jihan.

"Dan, apa yang kau lakukan?" Pertanyaan itu segera menyadarkan Jihan.

Kemudian Jihan mengulum bibirnya, seperti tengah berfikir keras tentang sesuatu.

"Aku selama ini terus menghormati privasi nya sebagai seorang pria, apa aku boleh untuk mengecek handphone pribadi miliknya?" Pertanyaan yang mirip dengan monolog itu membuat Carol geram.

"Bodoh, tentu saja bisa. Kau kan istrinya, lagipula. Suami mana yang tidak memperbolehkan istrinya untuk meminjam dan memeriksa telpon genggamnya?" Cecar Carol.

Sedetik kemudian, tawa Jihan pecah. Membuat Carol emosi adalah hal yang paling menyenangkan.

Jihan mengangguk kencang, "baiklah-baiklah. Akan kulakukan,"

"Hari perlahan sudah siang, saatnya aku harus pulang ke rumah. Menyiapkan diri untuk menyambut suamiku pulang ke rumah untuk makan siang," ujar Jihan.

Jihan berdiri, merapikan pakaiannya sambil menarik kereta bayi milik Baylor. Carol ikut berdiri, sambil menggendong buntalan hidup di tangannya. Ia perlahan memberikan Baylor kepada ibunya.

Jihan tersenyum kepada Carol.

"Jihan, jangan lupa hubungi aku. Malam ini, ya?" Pinta Carol.

Jihan menoleh dan tersenyum tipis, "akan ku hubungi. Sepertinya, semisal senggang. Aku akan bertanya banyak hal perihal ini."

Carol tersenyum, sepertinya Jihan banyak berubah sekarang.

.

.

.