Athena Prameswari
Kala itu senjaku tak lagi sama
Saat kupejamkan mata
Kenangan itu kian menjelma
Tolong lihat hatiku
Tidakkah ini terlalu kejam
Ketika rindu menyapa
Luka ini justu kian menganga
Perasaanku terus berkecambuk
Tolong jangan pergi menjauh
Hatiku mengering ketika kau tak disisiku
.
.
.
Noah Rusendra
Hamparan bunga menggoda jiwa
Tersaji membuai mata hati
Semilir angin beraroma menyegarkan
Berbisik mesra penuh rayuan
Ketika terlihat tapi tak dilihat
Kebebasan semu penuh tipu daya
Indahnya sementara layunya membawa nestapa
.
.
.
Amsterdam, Canals District
Langit malam Amsterdam yang indah, dengan kanal-kanal yang menawan serta sungai yang bersih sungguh memanjakan mata siapapun yang melihatnya.
Kota dengan julukan 'Venesia dari Utara' (Venice of the North) ini merupakan warisan budaya dengan nilai universal yang luar biasa, kota dengan keindahan yang sangat sayang untuk dilewatkan.
Malam itu, indahnya langit Amsterdam yang membuai mata, seketika mengingatkannya pada seseorang dengan mata segelap malam yang pernah begitu ia rindukan. Pemilik mata itulah yang membuatnya berubah menjadi wanita bodoh dan lemah. Bodoh karena pernah mencintai sepenuh hati tapi terhianati.
Wanita berparas cantik dengan mata coklat terang yang kini berubah menjadi sosok tangguh tak tersentuh, adik kesayangan seorang Defan Aprillio Herlambang dialah Athena Gianina Herlambang, ah lebih tepatnya Athena Prameswari begitulah orang-orang mengenalnya selama ini.
"Woaahh.. Athena, lihat itu. Hey, Athena.." teriak wanita dengan tinggi semampai yang membuyarkan lamunan tidak bergunanya karena teringat pria brengsek pemilik mata kelam itu. Wanita cerewat yang menjadi sahabat sehidup sematinya Arleta Zeline Danubrata.
Satu-satunya sahabat yang ia miliki dan percaya selain keluarganya. Wanita dengan sejuta khayalannya tentang pria-pria tampan yang menawan hati. Sungguh bodoh, otak pintarnya seketika tumpul jika berhadapan dengan para pria tampan dan menawan.
"Athena, kau mendengarku kan Athena."
Dia kini berbicara dengan volume yang sudah pasti bisa merusak pendengaran.
"Hmm.."
Dia merespon sambil menutup telinganya yang sempat berdengung karena teriakan tarzannya.
"Kau sedang apa si? Coba kau lihat itu, itu ... " tunjuknya dengan semangat yang berlebihan ke arah sekumpulan pria yang sedang bercengkrama
"Cih, merusak mata saja"
"Woaahh... sepertinya matamu itu memang bermasalah Athena, benar-benar bermasalah. Dari segi mana mereka dapat merusak matamu yang dasarnya sudah bermasalah itu ? justru pemandangan indah seperti mereka lah yang dapat mensterilkan mata. Bukankah mereka semua menawan, apalagi yang satu itu, pria manis berjaket abu. Wow, dia tipeku Athena."
"Semua pria tampan adalah tipemu. Kita kembali SE-KA-RANG, jangan membuang waktuku Leta"
"Kau tidak asik, ayolah sebentar saja sampai mereka pergi baru kita kembali ya... ya...ya.." rengeknya tak mau kalah.
"AR-LE-TA"
"Ck.. kau sangat menyebalkan. " ucapnya sembari memandang Athena kesal
Leta tau jika dia sudah memanggilnya "ARLETA" bukan lagi "LETA" maka dia dalam mode yang tidak bisa dibantah.
Athena dan Arleta adalah dua kutub yang saling tarik menarik. Mereka saling melengkapi satu sama lain, begitu berbeda tapi juga selaras diwaktu bersamaan, dimana ada Athena disitulah Arleta berada.
*
*
*
Black Shooting Range
Dor... Dor... Dor...
.
.
.
Suara tembakan beruntun dari senjata laras pendek Revolver yang begitu menggema mengisi kesunyian yang tercipta diantara tiga pasang mata yang begitu fokus memandang penuh minat pada papan shooting yang telah mereka lubangi dengan tepat sasaran.
"Bravo... bravo... aku memang luar biasa. Sepertinya aku cocok jika menjadi agen FBI, aku tampan dan berbakat bukan begitu Noah ?''
" Tidak buruk " balas Noah, sebelum kemudian mengangkat revolvernya kembali untuk membidik sasaran.
Dor... Dor..
.
.
.
Terlihat dengan jelas lubang yang dihasilkan dari tembakan yang terbidik dengan sempurna.
'Wow... sangat luar biasa' Batin Jery memandang Noah dengan kagum
"Gila... kau memang yang terbaik. Tapi, tidak bisakah kau memujiku dengan lebih layak kali ini ?" ucap Jery dengan nada memelas
"..."
"..."
"Dingin, sangat dingin. Wah.. hatiku sangat sakit" ucap Jery memandang Noah yang acuh tak acuh
"huahahahahahah... " terdengar tawa mengejek dari pria disebelah Noah
"Cih.."
"Perlukah aku memberimu kaca Jery? kau tau, tampangmu saat ini seperti wanita yang patah hati. Nah.. berkacalah disana, hahahahha" Tunjuknya sambil tertawa pada kaca yang terletak di ujung ruangan
"Sialan" ucapnya kalah telak
"Tidak bisakah kalian diam" Ucap Noah datar sembari memfokuskan pandangannya lagi
Dor! dor!
"Sepertinya dikehidupanku sebelumnya aku sudah menyelamatkan negara, ya pasti begitu" Ucap Jery tak jelas sembari memandang Noah dan Adam bergantian
"Kau kenapa lagi ?" tanya Adam heran sembari memandang Noah yang kini juga melihat Jery dengan wajah datarnya.
" Gila.. sepertinya hanya aku yang akan bertahan jika harus hidup dengan kalian berdua. Kalian tidak punya hati, cuma tampang saja yang berlebihan ah.. harta juga berlebihan " ucap Jery dengan tampang bodohnya
'Ternyata penyakit gilanya semakin parah' batin Adam dan Noah sangat kompak
Noah Rusendra, Adam Redian Wiratmaja, dan Jery Adhitama adalah tiga sekawan yang sangat populer dikalangan kaum hawa. Tidak ada orang yang tidak mengenal mereka, khususnya Noah Rusendra pria jenius dengan wajah rupawan yang tidak lain merupakan CEO Roberstein Corporation, salah satu pengusaha muda yang paling sukses saat ini.
.
.
.
Takdir begitu mengikat
Meski benci yang terlihat
Siapa yang tahu, bahwa cinta kian dekat.
Duk...Duk...Duk
Suara dentuman bola basket yang menggema menjadi musik pengiring di malam yang semakin larut. Terlihat dua wanita cantik terlihat bercengkrama sembari berebut bola dengan sengit.
Jika orang lain biasa menghabiskan malam dengan bercengkrama sambil melihat pemandangan malam atau kegiatan melankolis lainnya, lain halnya dengan mereka berdua. Bermain basket adalah salah satu rutinitas malam yang selalu mereka lakukan.
"Athena, apa kau yakin ini waktu yang tepat ?!"
"Hmm..." responnya tersenyum penuh makna sembari mendrible bola basket dengan santai.
Benar inilah waktu yang dia tunggu, setelah 4 tahun terlewati tibalah saatnya untuk kembali menyapa kehidupan yang pernah dia tinggalkan dan dia telah siap untuk itu.
Saat pertama kali datang ke negara ini yang dia yakini hanya satu hal, sesuatu yang buruk sedang terjadi dan dia tidak cukup mampu untuk menghadapi hal itu.
Jika dia datang karena sesuatu yang buruk maka dia kembali juga untuk sesuatu hal yang serupa. Hidupnya memang tidak biasa, dia juga dikelilingi dengan orang-orang yang sangat tidak biasa dan salah satu diantaranya kini sedang memandang dirinya dengan tatapan frustasi, sungguh pemandangan yang sangat menghibur.
"Tidak bisakah kau menjawab lebih jelas lagi, jangan hanya hmm... hmm.. saja. Aku bukan cenayang yang bisa membaca isi kepalamu itu"
"Ya, aku akan kembali. Bersiaplah, besok pagi kita berangkat. Bukankah kau senang ?!"
Athena kini tersenyum mengejek sembari melemparkan bola basket kearah Leta.
"lebih dari yang kau bayangkan " responnya gesit menerima bola yang Athena lemparkan.
"Sejujurnya aku tidak mengharapkan kembali dengan cara seperti ini"
"Kau benar, bisa dibilang ini sesuatu yang baik sekaligus juga buruk. Mungkin juga kakakmu ingin melihatmu setelah sekian lama. Tapi aku senang, terlepas dari apapun alasannya menyuruhmu kembali, ini adalah hal yang cukup kunantikan karena kepulanganku kali ini tidak lagi sendirian seperti sebelumnya"
"Jangan membual, dia menyuruhku kembali bukan sepenuhnya karena dia merindukanku. Tapi itu bukanlah hal yang penting, lagi pula aku sudah cukup puas bermain-main disini dan sekarang waktunya bermain ditempat yang lebih menyenangkan, bukankah ini menarik ?!"
Dia kini merebut bola dari tangan Leta dan menggiring bola sampai ke ring. Tak lama kemudian bola melesat masuk dengan mulus.
"Apapun itu, aku akan selalu ada untukmu. Hmm.. sepertinya kita juga harus kembali, bukankah kita harus bersiap untuk besok. Lagi pula aku juga lelah, bermain denganmu memang menyenangkan tapi juga melelahkan dan buruknya aku tak pernah bisa menang darimu"
Malam ini adalah malam terakhirnya di Amsterdam, dan besok adalah waktu dimana dia harus kembali untuk menyapa kenyataan. Kenyataan yang tidak pernah dia harapkan, yang membuatnya mengalami kehilangan akan banyak hal.
*
*
*
Kediaman Keluarga Rusendra
Mentari pagi telah menampakkan sinarnya, udara segar dan cuaca yang cerah menjadi pengantar hari yang sempurna untuk beraktivitas. Pagi ini terlihat dua orang laki-laki berwajah serupa tapi berbeda usia itu sedang menikmati sarapan dengan tenang.
"Daddy... aku sudah selesai. Apakah hari ini Daddy yang mengantarku sekolah?!" tanya seorang anak laki-laki mengakhiri kegiatan sarapan paginya.
"Sorry kiddo, daddy ada rapat pagi ini. Kau diantar nenek dulu, pulangnya baru nanti daddy yang jemput, ok ?!"
"Ok daddy" jawabnya tenang, meski terselip nada kecewa didalam suaranya.
"Hmm ... "
Memang benar, dilihat berapa kalipun bocah kecil yang sedang duduk dihadapannya memang mirip dengannya, sangat malahan. Wajah yang serupa, sikap bahkan sifatpun serupa dengan dirinya, benar-benar dia versi mini hanya warna mata yang membedakan dari meraka berdua.
Warna mata mereka sangat kontras,dia dengan mata abu-abunya dan dirinya dengan mata berwana hitamnya. Bocah itu memiliki mata yang sama dengan seseorang yang sangat dia rindukan, warna matanya begitu serupa, indah dan menyejukkan jika dipandang. Warna mata yang hanya dimiliki oleh ibu dan juga kakaknya.
Jika saja kakaknya yang cerewet itu masih bersama dengannya, saat ini dia pasti akan mengomel tiada henti karena putra yang sangat dia harapkan lahir kedunia tidak mewarisi sedikitpun kemiripan darinya bahkan suaminya. Lucunya bocah kecil itu mewarisi semua yang ada pada diri seorang Noah Rusendra.
Mengingat sosok kakaknya membuat hatinya sakit. Seharusnya di usianya saat ini, bocah tampan itu bisa menikmati kasih sayang yang melimpah dari kedua orang tuanya, andai saja tragedi itu tidak pernah terjadi, semuanya pasti berjalan baik-baik saja saat ini.
Ya, bocah kecil yang sekarang baru duduk di bangku taman kanak-kanak itu adalah Arka Daren Rusendra putra mendiang kakaknya Meta Alia Rusendra bersama sahabat baiknya Tristan Rahadian.
"Daddy... kenapa memandangku seperti itu, apakah ada sesuatu diwajahku ?!" tanyanya sambil menyentuh kedua pipinya.
"Tidak Arka, daddy tidak menyangka saja, ternyata kau sudah besar dan tumbuh menjadi pria yang menawan"
"Jangan katakan itu daddy, aku tahu kalau aku tampan" .
"Wow, benarkah itu?!" Ternyata bukan hanya mata, tapi sifat narsis kakaknya juga dia turunkan pada anaknya.
"Sudahlah daddy, aku harus berangkat. Sepertiya nenek sudah siap dan aku tidak mau membuat nenek menunggu"
"Hmm... belajarlah dengan baik kiddo"
"Tentu saja daddy, aku tidak akan mengecewakan daddy"
Arka kini berpamitan sembari berjalan kearah pintu utama.
.
.
.
Rindu hadir dalam kenangan
Laksana kemarau yang mendambakan hujan
Meski menyiksa namun menyimpan kebahagiaan