Dinara berlari menghindari kejaran sekumpulan laki-laki yang mengejarnya di belakang. Orang-orang itu bertubuh tinggi dan kekar. Berlari begitu cepat membuat tenaganya mulai melemah hingga ia berhenti tepat di lorong kecil bagian luar sudut kelab malam.
Perlahan Dinara mengatur napasnya yang berat. Berlari membuat jantungnya berdenyut lebih cepat. Meskipun sebenarnya ia sudah terbiasa berlari selama setahun terakhir. Tapi tetap saja kejaran sekumpulan laki-laki tadi membuatnya hampir kehabisan tenaga.
Belum hilang sesak di dadanya. Tiba-tiba saja kepulan asap menyengat yang mengepul dari arah belakang tubuhnya, membuat napasnya tersedak hingga menimbulkan suara batuk.
"Jangan berisik!" ucap seorang laki-laki sambil membungkam mulut Dinara dengan satu telapak tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya masih memegang sepotong rokok dan menghisap kembali rokoknya.
Dinara terkejut sekaligus bingung. Siapa laki-laki yang ada di belakang tubuhnya dan kini telah membungkam mulutnya agar tidak bersuara. Awalnya Dinara merasa sedikit lega karena bisa terlepas dari kejaran orang-orang tadi. Namun kini ia sedang bersama laki-laki asing yang bahkan ia sendiri belum sempat melihat wajahnya.
Dinara penasaran siapa sosok laki-laki yang telah membungkam mulutnya dari belakang. Ia mencoba berbalik namun sayangnya laki-laki itu menahan tubuhnya.
Sampai akhirnya suara sekumpulan langkah kaki berlari mulai terdengar semakin jelas mendekati mereka. Dinara mulai panik dan takut ketahuan, "Lepaskan aku! Aku harus pergi dari sini," kata Dinara ketakutan begitu laki-laki itu melepaskan tangannya.
Laki-laki itu memang melepaskan tangannya yang sempat membungkam mulut Dinara karena berisik. Namun itu tidak untuk melepaskan Dinara dan membiarkannya pergi begitu saja. Laki-laki itu justru memutar balik tubuh Dinara hingga menempel pada sebuah tembok.
"Eh," Dinara tersentak. "Mau apa kau?" lanjutnya.
Tanpa menjawab apa pun. Dengan cepat laki-laki itu menangkup kepalanya kemudian mendaratkan bibirnya pada bibir tipis Dinara dan menciumnya.
Dinara terkejut bukan main. Ia semakin ketakutan. Bagaimana mungkin laki-laki yang ada di hadapannya berlaku tidak senonoh pada dirinya? Sedangkan mereka tidak saling mengenal. Rasa kesal mulai menjalari tubuhnya. Ketika laki-laki itu menciumi bibirnya dan begitu menikmatinya. Dinara mencoba mendorong tubuh laki-laki itu. Namun sayangnya tenaganya tidak cukup kuat untuk memberontak dari laki-laki bertubuh tinggi dan juga kekar di hadapannya itu.
Selang beberapa detik. Tiba-tiba sekumpulan langkah kaki tadi berhenti tepat di depan lorong tempat mereka bersembunyi.
"Hey, anak muda. Apa yang kau lakukan?" tanya salah seorang dari mereka. Matanya terus memperhatikan keduanya seolah menaruh curiga pada wanita yang ada di balik tubuh laki-laki yang membelakangi tubuh mereka. Salah seorang lagi ikut bicara, "Sepertinya mereka sedang berciuman."
Dinara yang berada di balik tubuh besar laki-laki itu pun mulai mengendurkan tangannya dan berhenti memberontak. Ia mencoba untuk diam dan tidak menggerakkan wajahnya agar wajahnya tidak terlihat oleh sekumpulan laki-laki itu. Mengikhlaskan bibirnya dicium oleh laki-laki yang ada di hadapannya. Mungkin saja, itu adalah cara laki-laki tersebut menyelamatkannya dari kejaran sekumpulan laki-laki yang mengejarnya beberapa menit lalu, pikirnya.
Perlahan laki-laki itu pun melepaskan ciumannya pada Dinara. Menoleh wajahnya ke belakang seraya berkata, "kau tidak tahu aku sedang apa dengan wanitaku? Aku berhak melakukan apa pun padanya! Bukan urusanmu menanyaiku seperti itu!" ucap laki-laki itu dengan senyum getirnya.
"Ah, bos seperti tidak pernah muda saja. Mereka itu sedang pacaran," bisik salah seorang malu-malu.
"Bos, kayaknya dia itu ...," salah seorang lagi menepuk bahu laki-laki yang menjadi ketua mereka usai mengamati wajah laki-laki di hadapan mereka. Walaupun di sana gelap dan samar tapi wajah laki-laki di hadapan mereka cukup jelas terlihat.
"Dia siapa?" bisiknya penasaran.
"Ah, masa bos tidak tahu sih? Dia itu kan ...," belum sempat ia melanjutkan perkataannya, "Oh, iya iya aku tahu," kata bosnya menepis.
Setelah melihat dan mengamati wajah laki-laki yang ada di hadapannya. Ia pun mengerahkan anak buahnya untuk segera pergi bersamanya dengan memberikan kode menggelengkan wajah.
Entah siapa sosok laki-laki yang ada di hadapannya saat itu. Bagaimana mungkin sekumpulan laki-laki sangar yang mengejarnya tadi langsung pergi begitu melihat wajahnya. Dinara membatin penuh selidik.
"Kau boleh pergi sekarang," ucap laki-laki tersebut.
"Jadi, kau menciumku untuk melindungiku?" tanya Dinara penasaran.
"Kau pikir aku melakukannya untuk apa?" jawabnya santai sambil tersenyum tipis. Ia merogoh saku celananya dan mengambil satu potong rokok yang tersisa, membuang bungkusnya kemudian memantik korek api dan menghisap rokok miliknya. "Tunggu ... Jangan bilang, kau menikmatinya?" lanjutnya meledek.
"Apa maksudmu?" Dinara tersentak, pertanyaan laki-laki itu benar-benar membuatnya kesal. Jelas-jelas tadi dia lah yang mencium dirinya dan melakukannya begitu bersemangat. Ada rasa kesal dan jijik ketika Dinara harus mengingat kembali perbuatan laki-laki di hadapannya itu.
Keduanya saling berhadapan. Dinara mencoba memperhatikan setiap inci tubuh laki-laki di hadapannya itu. Memang terlihat begitu sempurna. Namun Dinara tidak bisa memaafkan perbuatan laki-laki tersebut dengan alasan apa pun. Pun sebaliknya dengan laki-laki itu. Ia menelusuri pandangan matanya pada seluruh bagian tubuh Dinara sambil sesekali menghisap kembali rokoknya.
"Sebenarnya aku tidak suka dengan caramu menolongku, kau kan bisa pakai cara lain bukan dengan cara seperti ini!" kata Dinara sambil menatap wajah laki-laki itu dengan tatapan kesal.
"Oh cara lain, baiklah!" laki-laki itu menarik lengan Dinara dan mengajaknya pergi dari tempat itu.
"Hey, kau mau bawa aku ke mana?"
"Ikut saja denganku dan jangan banyak bicara."
"Aku tidak mau, lepaskan!"
Dinara memberontak tatapi laki-laki itu tidak memedulikan perkataannya. Laki-laki itu tetap saja membawanya berjalan.
"Tolong?" teriak Dinara kencang.
Laki-laki itu masih tidak peduli. Ia justru semakin menarik lengan Dinara dengan kencang. "Kau pikir ada yang akan mendengar teriakanmu di sini?"
Tidak kehabisan akal, Dinara mencoba menggigit lengan laki-laki itu hingga membuat laki-laki itu menghentikan langkahnya. "Sial, kau melukai tanganku!" ucap laki-laki itu setengah kesal.
"Kau yang membuatku harus menggigit tanganmu. Lepaskan aku!" teriak Dinara.
Akhirnya laki-laki itu pun melepaskan tangan Dinara. "Mungkin kau ingin aku berbuat lebih kasar." Ungkapnya dengan seringai licik.
Menyadari sikap laki-laki itu yang semakin brutal. Dinara mencoba melarikan diri. Sayangnya laki-laki itu dengan cepat menggotong tubuhnya dan meletakkan tubuhnya di sisi bahu kanan laki-laki tersebut. Menggendong tubuh Dinara dengan posisi tertelungkup dan menjepit kedua kaki Dinara dengan tangannya yang kekar.
Sekuat tenaga Dinara melepaskan diri. Tetap saja kekuatan tubuhnya tidak sebanding dengan kekuatan laki-laki bertubuh tinggi dan juga kekar.
Satu jam kemudian.
Dinara terbangun dari tidurnya. Ia membuka matanya perlahan. Kepalanya masih sedikit pusing. Namun, matanya tidak berhenti menyusuri setiap sudut ruangan gelap dengan satu cahaya di sudut bagian kanan. Lampu yang menempel pada bagian tembok itu terlihat redup dan berwarna kekuningan. Dinara membuka selimut yang menyelimuti tubuhnya. Seketika ia terperanjat melihat tubuhnya tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya. "Ya Tuhan, apa yang terjadi denganku? Di mana aku sebenarnya?" batin Dinara menangis.