"Rasanya sudah lama sekali aku tidak mendengar ucapan itu keluar dari bibirmu, Emre." Adrianne tersenyum malu-malu.
Hanya Emre yang tahu pasti kalau setiap mengunjungi Adrianne di rumah sakit jiwa, ungkapan perasaan itu terus keluar tanpa bisa dicegah. Disertai dengan penyesalan yang tak kunjung usai.
"Apa kau ingin aku mengucapkannya setiap saat?" Emre menatap dengan wajah jenaka.
"Tidak. Hanya ketika kita berdua saja. Aku malu."
"Baiklah. Kita sudah sampai di dapur. Apa yang bisa aku lakukan untuk membantumu?"
"Bantu mengaduk bahan adonan. Mau?"
"Baik, Nyonya Maier." Emre mengedipkan sebelah matanya.
Adrianne merasa hatinya mendadak dipenuhi bunga. Bahagia itu tidak melulu dikaitkan dengan materi, karena dahulu mereka sangat jarang seperti ini. Limpahan materi tidak menjamin bahagia, jika keduanya terpisah dinding yang tak kasatmata.