Dalam tidur panjangnya, pria itu terlihat sedang menelusuri sebuah lorong waktu yang kapan pun bisa membawanya pada tujuan yang diinginkannya. Seberkas sinar cahaya terang yang begitu menyilaukan mata telah terbuka begitu lebar di hadapannya dan seolah seperti magnet yang terus menarik perhatiannya. Ia pun perlahan melangkah menuju ke arah pintu yang terbuka lebar tersebut, namun langkahnya terhenti tatkala ia mendengar seruan gadis itu. Suara lembut seorang gadis yang begitu dikenalnya. Mendengar suara gadis yang bertubi – tubi memanggilnya, segala rasa keingintahuan dan keinginannya untuk menuju tempat dengan sinar terang tersebut tiba – tiba seakan tidak begitu menarik lagi baginya. Seketika ia mengingat janji yang diucapkan oleh dirinya sendiri pada gadis itu bahwa ia akan kembali dan berkumpul kembali bersamanya di musim gugur mendatang, membuat pria itu segera tersenyum dan berbalik arah untuk menuju sebuah pintu lainnya. Pintu yang akan membawanya menuju ke masa depannya yang cerah, yang telah dinantikannya selama bertahun – tahun dan kali ini ia bahkan telah berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan pernah menyia – nyiakan kesempatan ini lagi. Setelah melewati garis pintu tersebut tiba – tiba ia melewati sebuah kilat cahaya yang akhirnya membawanya ke sebuah tempat. Kedua bola mata pria tersebut pun terbuka dan segera memutar melihat ke sekelilingnya. Ruangan putih dengan sorotan cahaya lampu di langit – langit yang menyilaukan matanya membuatnya segera menutup matanya kembali. Ia hanya mampu menggerakkan jemarinya yang terasa kaku, namun seketika ia merasakan adanya jari – jari kecil yang berbalutkan kulit halus yang sedang menggenggam jari – jari tangannya. Ia segera melirik ke arah pemilik jari halus tersebut dan menemukan rambut blonde seorang gadis yang sedang membaringkan kepalanya di samping ranjang pasien. Tanpa mempedulikan otot saraf di sekitar bibirnya yang masih terasa kaku, ia segera menyunggingkan sebuah senyum ketika ia langsung mengetahui siapa pemiliknya dan menggenggam jari – jari halus tersebut, lalu berusaha untuk perlahan – lahan mengangkat sebelah tangan kanannya yang sedang tidak terpasang infus untuk mengelus rambut halus sang gadis. Betapa ia merindukan sosok sang gadis yang sangat dirindukannya dan sudah lama tidak dilihatnya itu. Ingin sekali ia mencoba mengangkat tubuhnya yang masih terasa sakit dan kaku untuk sekedar mencium rambut gadis yang sedang berbaring itu namun rasa sakit yang seakan menyayatnya membuatnya meringis kesakitan hingga akhirnya ia terpaksa harus mengurungkan niatnya ketika gadis itu seakan merasakan sesuatu dan akhirnya terbangun, membuat pria itu harus kembali berpura – pura tidur untuk membuat kejutan padanya.
Ivory yang baru saja merasa seakan pria dihadapannya sudah sadar segera membuatnya terbangun dan melihat di sekelilingnya, namun apa yang diimpikannya tidaklah sesuai kenyataan yang dilihatnya dan membuatnya merasakan kekecewaan.
"Gimana sih kamu Jade? Sampai sekarang pun bahkan kamu belum menunjukkan tanda – tanda sadar. Perasaan tadi kamu datang ke dalam mimpiku buat ngabarin kalo kamu udah kembali. Mana buktinya? Kamu slalu aja bohongi aku deh. Maumu apa sih Jade? Hiks..." ujar Ivory kembali terisak seraya memukul lengan pria itu namun tanpa sengaja mengenai area perutnya yang terluka hingga membuat pria itu meringis kesakitan.
"Awww...Shh...Arghh..."
"Jade? Astaga, kamu udah sadar? Bagian mana yang masih sakit? Kamu... Eh, kok kamu udah bisa sadar gitu? Jangan – jangan...kamu lagi ngerjain aku ya? Jadi tadi kamu emang udah sadar beneran?" ujar Ivory penasaran seraya mencubit pipinya untuk memastikan bahwa dirinya tidak sedang bermimpi.
"Aduh Iv...sakit banget sih pukulannya...Shh...Aku baru aja sadar udah dipukulin aja sih..."
"Habisnya kamu jahat, udah sadar tapi gak mau ngasih tau malah ngerjain aku lagi gimana sih? Tapi...aku senang Jade... Kamu buat aku takut aja tau nggak...Hiks..." Ivory yang sudah tidak mampu menahan gejolak batinnya pun kembali menangis dan segera memeluk tubuh pria yang telah begitu dirindukannya itu, membuat pria itu meringis kesakitan kembali di bagian dadanya.
"Awww..." ujar Jade seraya memegang bagian dadanya.
"Oh iya, maaf Jade, aku gak sengaja. Saking bahagianya aku sampe lupa kalo kamu belum sembuh. Masih sakit banget ya? Kalo masih sakit aku keluar panggilkan dokter dulu ya," ujar Ivory seraya meninggalkan Jade, namun sosok pria itu segera menarik lengan gadis itu dan mendekapnya meskipun ia harus menahan rasa sakitnya. Kerinduan yang telah bersemayam dalam hatinya hingga terasa begitu menyesakkan di dada seakan menyiksanya bahkan kian menyakitkan jika ia tidak segera melampiaskannya dengan mendekap sebagian tubuh gadis itu.
"Sebentar saja Iv. Aku hanya ingin memelukmu untuk sebentar saja. Saat ini aku merasa lebih membutuhkanmu daripada dokter. Bagiku, rasanya kita udah gak bertemu berabad – abad lamanya. Apakah kamu merindukanku Iv?" ujar Jade mengelus rambut halus gadis itu dan menciumnya karena sebelumnya ia sempat gagal melakukannya.
"Kamu masih nanya lagi? Kamu kira selama ini aku sampai menangis terus, gak nafsu makan, kehilangan semangat buat ngapa – ngapain kamu kira itu karna siapa dan karna apa?"
"Hmmm... Nggak tau tuh karna apa dan karna siapa ya? Karna cowok lain mungkin? Atau...karna dia lagi?"
"Ih... Bisa – bisanya kamu masih mengungkit soal dia lagi ya... Kemarin siapa yaa yang memintaku untuk gak ingat – ingat lagi soal dia dan menyuruhku untuk move on? Lagian pake nanya lagi, tentu saja itu semua karna aku begitu mengkhawatirkan keadaanmu tau..."
"Oh...jadi cuma khawatir tapi gak rindu ya?" ujar Jade masih meledek gadis itu.
"Ck, tentu saja karna rindu serindu – rindunya Tuan Jade yang terhormat... Tau ah, aku mending ke toilet dulu sekalian manggilin dokter ke sini sebentar buat ngecek kondisimu. Jangan banyak gerak dulu dan tunggu di sini," ujar Ivory seraya mencubit gemas pipi pria tersebut dan melepaskan dirinya dari dekapan Jade lalu berjalan ke arah yang berlawanan dari pintu keluar.
"Kamu mau ke mana? Pintu keluar di sana loh," ujar Jade tersenyum lucu memandang gadis yang sudah mulai memerah wajahnya.
"Ah...ini, aku cuma mau ambil jaketku aja yang tergantung di sini."
"Bukankah jaket di kursi ini punyamu?"
"Oh iya, aku lupa. Ternyata ada di sana. Ya sudah aku keluar dulu bentar," ujar Ivory dengan wajah yang masih merasa malu namun berseri – seri seakan ia baru saja mendapatkan durian runtuh, namun ia lebih memilih untuk berjalan keluar untuk menenangkan jantungnya yang sudah berdebar tiada henti sedari tadi.
"Tenang Iv... Tenangkan dirimu... Semuanya baik – baik aja, sekarang juga cari dokter dulu."
"Ivy... Kamu lagi apa nak? Kok dari tadi komat kamit di sini sendirian? Kamu gak ke dalam temenin Jade?" ujar Moniq yang tiba – tiba muncul bagaikan hantu gentayangan yang meneror gadis itu hingga membuatnya terperanjat.
"Astaga...mama...ngagetin aja..."
"Lagian kamu ngapain di sini nak? Trus komat kamit sendirian lagi, mama kan jadi penasaran."
"Ah iya, aku hampir lupa. Jade udah sadar ma, akhirnya... Aku mau panggilin dokter dulu buat ngecek keadaannya dulu. Akhirnya Jade udah sadar ma..." ujar Ivory yang kegirangan bagaikan baru saja mendapatkan jackpot lalu segera memeluk Moniq kemudian berlari kecil ke arah ruang perawat untuk mengabari dokter yang menangani Jade melalui perawat yang berjaga di sana. Moniq yang memandang lucu tingkah laku putrinya hanya bisa menggeleng – gelengkan kepalanya, turut merasa bahagia dan lega karena akhirnya pemuda itu telah melewati masa kritisnya. Ia lalu berjalan memasuki ruangan pasien tersebut.
"Jade… Ya Tuhan... Akhirnya kamu udah sadar nak…? Gimana keadaanmu? Apa masih ada bagian tubuh yang sakit?" ujar Moniq seraya memegang pelan kepala Jade dan mengelusnya.
"Udah lumayan sih ma, cuma bagian dada sini masih sakit banget, perut juga. Sepertinya aku akan jadi beban lagi nih buat semuanya. Maaf ya ma, lagi – lagi aku jadi beban buat kalian."
"Kamu jangan pernah ngomong begitu. Kami udah anggap kamu sebagai bagian dari keluarga kami juga Jade, dan mungkin gak lama lagi, bakal jadi menantu mama," ujar Moniq seraya meledek Jade yang telah tersipu malu.
"Mama bisa aja nih."
"Dia kesenangan tuh, karna kamu akhirnya sadar juga. Dari kemarin mama sempat khawatir juga karna kamunya belum sadar, dianya juga stress sampe gak nafsu makan berhari – hari. Waktu hari kejadian, setelah kamu gak sadarkan diri, dia juga sempat gak sadarkan diri Jade, beberapa hari kondisinya ngedrop sendiri sampai buat mama panik. Untunglah ada paman dan bibi yang sigap membantu mama untuk mencarikan dokter spesialis untuk menangani masalah kalian."
"Waduh ma, aku benar – benar gak tau lagi harus ngomong apa selain terima kasih."
"Udah, yang penting kamu sekarang aja mama udah seneng juga. Ngomong – ngomong mama udah masakin sup hangat karna setiap malam Ivy selalu meminta untuk berjaga di sini. Beberapa hari ini dia terus bersabar, katanya dia mau merawat dan menunggu hingga kamu sadar. Jadi seperti biasa, dia yang akan jaga kamu ya. Mama mau balik dulu, besok baru ajak paman dan bibi ke sini. Mereka pasti senang banget dan udah gak sabar mau temui kamu. Nanti mama suruh Ivy siapin sup ini buat kamu juga ya. Setelah ini mama akan masakin yang enak – enak buat kamu biar cepat sehat dan pulih. Ok?"
"Ok, kalo gak sempat gak usah repot – repot juga ma."
"Tenang aja, gak repot sama sekali. Selamat malam Jade," ujar Moniq seraya mencium kening anak muda yang telah dianggap seperti putranya sendiri.
"Selamat malam ma, hati – hati ya," ujar Jade kepada Moniq yang sudah berjalan meninggalkan ruangan tersebut, membuat Jade merasa lega karena pada akhirnya segala yang telah dilewatinya segera menemukan titik terangnya. Ia merasa tidak ingin tertidur kembali setelah ia terbangun dan ingin berbicara panjang lebar dengan gadis itu semalaman suntuk.