Chereads / CINTA TIGA DIMENSI / Chapter 9 - 09. Perasaan Enrique dan Moniq

Chapter 9 - 09. Perasaan Enrique dan Moniq

Sesampainya di rumah, Enrique masih belum bisa menidurkan dirinya sendiri. Bayangan Moniq dengan keanggunan dirinya ketika berdiri di hadapannya benar - benar telah menjerat hatinya dan meninggalkan kesan indah yang begitu lekat hingga tidak ada satupun penghapus yang bisa menghapuskannya. Ingin rasanya dirinya bertemu dengan wanita itu lagi. Tapi apakah mungkin, pikirnya. Seketika ia teringat bahwa tentu saja ia masih berkesempatan untuk menemuinya karena ia masih bekerja di restoran tersebut. Akan tetapi dalam kurun waktu sepekan ini ia mungkin belum bisa bertemu dengannya karena bosnya telah memutuskan untuk menutup restoran dalam rentang waktu tersebut. Sementara sekolahnya sendiri telah mengadakan libur musim semi untuk menyambut semester baru. Tanpa terasa, waktu bergulir begitu cepatnya, ia merasa baru saja dirinya mulai kembali ke sekolah beberapa bulan ini. Dengan tingkat kecerdasan yang dimilikinya, ia mampu mengejar ketertinggalannya dalam kurun waktu yang tidak lama dan sekarang ia hanya perlu menempuh waktu satu semester lagi untuk menamatkan sekolahnya yang akan segera berakhir. Itu berarti ia sudah harus mempersiapkan dirinya untuk mendaftarkan diri agar bisa mendapatkan beasiswa di universitas yang sesuai dengan keinginannya guna memperdalam keahliannya dalam bidang teknologi berbasis desain web, sehingga ia mulai mencari informasi berbagai universitas yang memadai dan menyediakan jurusan yang berhubungan dengan bidang ini. Setelah berusaha keras agar ia dapat menghilangkan bayangan Moniq yang sedari tadi menari - nari di dalam pikirannya, ia pun mulai mengalihkan perhatiannya untuk mencari informasi perkuliahan agar begitu lulus nanti ia sudah bisa mempersiapkan dirinya mengikuti sejumlah tes dan wawancara seleksi untuk mendapatkan beasiswa yang diincarnya. Enrique terlalu memforsir dirinya hingga kelelahan dan malah tertidur sambil memegang beberapa brosur yang sudah dicetaknya. James yang kebetulan sudah hendak berjalan ke kamarnya untuk bersiap - siap merebahkan diri agar bisa segera memasuki alam mimpinya, tiba - tiba menghentikan langkahnya ketika melewati kamar adiknya itu dan mendapati dirinya yang sedang tertidur pulas dengan brosur universitas idamannya. Seraya tersenyum kecil, James baru menyadari bahwa anak majikannya tersebut sudah mulai beranjak dewasa rupanya. Ia ternyata diam – diam berusaha sendiri untuk tidak merepotkan James nantinya dalam pencarian informasi mengenai perkuliahannya nanti. Sambil menggeleng – geleng kecil, dirapikannya semua barang - barang yang berserakan dihadapannya itu dan menggeser posisi tubuh Enrique ke posisi yang benar. Kini ia tahu ke mana ia harus mendaftarkan adiknya nanti.

Keesokan harinya, Enrique yang sudah bangun merasa ada yang aneh dengan sekitarnya. Semuanya terlihat begitu rapi. Ia langsung bisa menebak bahwa pasti James yang membereskannya, dicarinya James, namun dengan keadaan rumah tapak James yang berdesain kecil dan tidak luas, hanya terdiri dari sebuah ruang utama yang merangkap ruang tamu dengan sebuah sofa dan meja kecil di hadapannya lalu dibatasi oleh sebuah sekat yang membatasi antara ruang tamu dan dapur dengan hanya sedikit perlengkapan masak dan sebuah kulkas kecil serta meja makan yang cukup untuk berdua, lalu sebuah penghubung yang langsung mengarah ke dalam sebuah kamar mandi dan dua kamar, rasanya tidak mungkin ia tidak bisa menemukan orang sebesar James. Dilihatnya ke halaman depan pun ia tidak melihat keberadaan Honda Jazz kesayangan James. Sudah pasti ia kini tidak sedang berada di tempat seperti biasa. Ketika berjalan kembali ke dalam ia sekilas melihat nota kecil perekat yang ditempelkan oleh James di atas meja makan dan menuliskan, "Aku akan pulang malam. Ada urusan. Sarapanmu sudah aku siapkan. Jika ada apa - apa segera hubungi superman-mu ini. James." Enrique hanya bisa tertawa kecil ketika melirik ke arah tangan kirinya, dilihatnya sebuah piring berisikan omelet telur sosis seadanya dan segelas susu yang masih hangat, sambil membayangkan lucunya ketika James menuliskan surat tersebut dengan sepenuh hati untuk dirinya yang sudah dianggap pria tersebut seperti adik sendiri. Betapa beruntungnya ia bisa bertemu dan dikelilingi oleh orang - orang baik seperti mereka, pastilah suatu hari nanti calon kakak iparnya pun akan sangat berbahagia bisa menikahi pria yang sangat perhatian seperti abangnya, batin Enrique. Tiba - tiba saja bayangan Moniq kembali memenuhi pikirannya dengan sebuah senyuman manis seperti yang dilihatnya terakhir kali. Kaget karena menurutnya tidak sepantasnya ia terus memikirkan seorang anak gadis, apalagi gadis itu merupakan anak dari majikannya sendiri, sehingga ia pun menepuk – nepuk pipinya sendiri dan segera mencoba berusaha untuk menjauhkan pikiran tentang gadis itu.

Ia merasa penasaran ke mana James pergi. Selama bersama dengannya ia selalu mengajak Enrique ke manapun ia pergi, akan tetapi mengapa hari ini ia meninggalkannya sendirian di rumah, padahal James harusnya masih ingat bahwa dirinya sedang cuti kerja untuk sepekan ini. Namun ia mencoba untuk berpikiran positif bahwa mungkin James memang ada urusan penting mendadak dan tidak sempat mengajak dirinya ikut pergi karena merasa tidak enak jika harus membangunkan dirinya. Enrique teringat bahwa ketika dirinya bangun, ia mendapati semua barang - barangnya sudah dalam keadaan tertata rapi dan berada pada tempatnya padahal ia semalam sedang sibuk - sibuknya mencetak brosur informasi perkuliahan nanti. "Terima kasih ya Kak, kamu sangat baik padaku, udah mau perhatiin semua kebutuhanku sedetail ini. Kamu lagi di mana sebenarnya? Kenapa tumben tidak mengajak aku untuk ikut pergi denganmu?" Enrique mengirimkan pesan singkat kepada James dengan sedikit rasa khawatir karena tidak biasanya James meninggalkan dirinya begitu saja. Sesuatu yang penting itu apakah ada sangkut pautnya dengan dirinya, apalagi setelah kejadian semalam, pikirnya. Diteleponnya nomor ponsel James namun hanya kedengaran suara operator dari seberang yang menyatakan bahwa yang bersangkutan sedang tidak dapat dihubungi. Sempat melamun dan khawatir, Enrique tiba - tiba mendapat pesan singkat dari sebuah nomor asing. "Hai, kamu lagi di mana? Hari ada rencana mau keluar jalan - jalan gak? Moniq".

Begitu terperanjatnya Enrique hingga matanya melotot dan melihat lekat - lekat pada layar ponselnya untuk memastikan apakah ia tidak sedang salah lihat barusan. Rasanya ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya karena itu nyata, hingga ia sendiri tidak sadar bahwa dirinya sedang melompat kegirangan bagaikan sedang mendapat jackpot. Segera ia menyimpan nomor tersebut lalu menelepon nomor yang bersangkutan, mungkin akan lebih sopan atau lebih formal pikirnya, apalagi gadis itu adalah anak bosnya. Setelah terdengar nada dering bersambung, akhirnya muncullah suara dari seberang sana, yang sudah tidak asing lagi baginya walaupun hanya semalam akan tetapi ia masih mengingat dengan jelas nada khas suara wanita itu. Lembut dan halus seperti semalam, pikirnya. "Halo...hei...kedengaran tidak? Halo?" Tanpa disadari ternyata Enrique malah melamun dan tersentak lalu menjawab dengan buru - buru, "Oh, hai, halo Moniq, ini aku, Enrique. Kamu kenapa bisa ada nomorku ya?" Begitu mendengar pertanyaan lucu dari Enrique, gadis itu hanya bisa tertawa, "Kaku banget sih kamu Riq, santai aja lagi. Kamu ini kan karyawan papaku, tentu saja data - datamu ada di tempat kami. Kamunya aja yang gak peka." "Maaf, aku semalam sebenarnya juga mau minta nomor kamu tapi karna ada papa kamu di samping aku jadi gak brani Mon. Maafin aku ya." "Santai aja lagi. Aku tau kok. Ngomong – ngomong gimana, apa kamu udah baca pesanku tadi?" "Udah, tapi hari ini aku sepertinya akan di rumah terus. Soalnya Kak James lagi keluar entah ke mana. Biasanya kan, aku selalu ikut ke manapun dia pergi." Lagi - lagi, kembali terdengar suara tawa dari Moniq. "Kamu itu lucu banget sih Riq, polosnya kebangetan deh." Seakan tidak mengerti maksud Moniq, Enrique kembali menanyakan apa maksud dari perkataan Moniq barusan. Enrique baru menyadari, bahwa sejak berada di perkotaan, ia belum pernah sekalipun bergaul dengan orang - orang dari kota ini, termasuk itu teman sekolahnya, teman kerjanya atau di masyarakat karena selama ini ia bagaikan anak raja yang hanya berada dalam istana kerajaan yang seolah tidak diberikan akses untuk keluar bergaul dengan masyarakat di luar dan hanya boleh bergaul dengan orang - orang terdekat di dalamnya. Moniq yang seakan paham, berusaha menjelaskan dengan cara yang baik kepada Enrique dan akhirnya keduanya malah larut dalam pembicaraan mereka masing - masing dimulai dari hobi atau kebiasaan mereka masing - masing dan saling terbuka mengenai latar belakang keluarga mereka. Kini, Moniq baru lebih memahami bahwa ternyata Enrique adalah pendatang baru di kota yang baru tinggal di sini hampir setahun belakangan dan ia merupakan anak asuh dari Tuan Roderick yang merupakan pengusaha sukses, pemilik Perusahaan Blizz yang namanya sempat melejit di negara tersebut yang kini hanya tinggal sebuah nama, dan kini dirinya kembali menjadi yatim piatu karena telah kehilangan kedua orang tua untuk yang kedua kalinya. Betapa malangnya Enrique, pikirnya. Ia merasa sangat bersyukur, setidaknya meskipun mamanya sudah pergi meninggalkan dirinya dan papanya, namun ia masih memiliki sosok seorang papa yang begitu sayang kepadanya dan mampu membiayai semua kebutuhannya hingga sekarang tanpa kekurangan apapun. Ia merasa iba akan kondisi Enrique yang sekarang. Tanpa terasa olehnya air di pelupuk matanya menetes dan membasahi pipinya sendiri. Rasanya ia ingin sekali menjadi orang terdekatnya yang bisa selalu membantu dan menjaganya. Namun segera ia tersadarkan dari lamunannya ketika ia mendengar suara Enrique dari seberang sana. "Mon, kamu kenapa kok diam? Apa ada sesuatu yang kamu pikirkan?" "Ah nggak kok Riq, aku hanya sedang membaca buku. Oh iya Riq, ngomong - ngomong nanti kita baru sambung lagi ya, aku mau istirahat dulu. Kamu kalo ada yang mau dikerjain ya udah, fokus kerjain aja dulu." "Baiklah kalo gitu sampai nanti Mon, aku tutup dulu teleponnya ya. Selamat beristirahat."

Setelah saling mengucapkan salam perpisahan, kini Enrique merasa ada suatu perasaan yang begitu melegakan hatinya, perasaan damai dan tenang. Kini ia kembali teringat akan James yang sudah sedari tadi belum juga memberikan kabar kepadanya bahkan nomornya pun belum aktif juga hingga sekarang. Ia bingung harus bagaimana, mau mencari James rasanya juga tidak mungkin karena ia tidak punya kendaraan sendiri, dan lagipula ia juga tidak bisa berkendara sendiri, juga tidak memiliki surat berkendara yang legal. Ia berpikir, mungkin ini sudah saatnya ia belajar untuk mandiri agar tidak harus selalu bergantung kepada James. Harusnya ia menuruti perkataan James beberapa bulan yang lalu ketika abangnya tersebut menawari dirinya untuk belajar mengendarai mobil peninggalan ayahnya yang masih disimpan dengan baik di garasi rumah kecilnya itu. Sehingga ia bisa lebih bebas untuk ke mana saja tanpa harus selalu merepotkan James. Ia berpikir, andaikan ada sesuatu yang terjadi pada James di manapun ia berada, setidaknya ia masih bisa berkendara sendiri dan segera berkeliling kota untuk mencarinya. Ia khawatir bahwa jika ia terus menerus merepotkan pria itu untuk selalu membawanya ke mana – mana, ia tidak akan bisa belajar untuk menjadi seorang pria dewasa seperti James atau seperti pria kebanyakan, apalagi sebentar lagi ia akan menjadi seorang anak kuliahan yang dituntut untuk harus serba bisa dan serba mandiri. Untuk itu, ia pun bertekad bahwa mulai saat ini ia akan belajar apapun yang ia bisa pelajari dari James sepulangnya nanti. Tak berapa lama kemudian, dilihatnya Honda Jazz silver itu sudah terparkir di depan halaman rumahnya. Begitu mengenalinya, Enrique segera berlari keluar untuk mewawancarai pengemudi yang baru keluar dari dalam mobil tersebut.