Bab. 22
Zoya menatap Elvano dengan perasaan lega karena saat kejadian itu membuatnya depresi yang mengharuskan nya datang ke psikiater.
Sekarang melihatnya dalam keadaan baik-baik saja perasaan bersalah dihatinya hilang tertiup angin lalu melihat jam ditangannya yang menunjukkan jam sembilan malam saat dia akan mengatakan sesuatu kerahnya ditarik oleh seseorang yang membuat Zoya sedikit kesal.
Bastian juga melihat jam-nya yang membuatnya berdiri dan menarik kerah Zoya dan berkata pada Aleta yang menundukkan kepalanya.
"Sampai bertemu lagi."
Bastian melambaikan tangannya dan memeluk dengan erat pada Zoya yang akan melepaskan dirinya dari pelukannya dan berlari menuju Aleta, jadi dia menutup pintu kotak dengan pelan meninggalkan hanya Elvano dan Aleta.
"Sayang——!" Suara Zoya terdengar dari luar kotak tidak memecahkan suasana yang sunyi yang ada didalam kotak.
Aleta yang menundukkan kepalanya dan masih tenggelam dalam pemikiran tentang keadaan Elvano saat Zoya menceritakannya dan dia tidak menyadari wajah Elvano yang sangat pucat dan dahinya yang berkeringat deras karena sesuatu yang ekstra memasuki dengan paksa kedalam pikirannya bagaikan virus yang tertempel dikepalanya.
Berbagai klip ingat yang kabur dan tidak jelas dalam pikirannya membuat Elvano merasa sedikit pusing. Tapi dengan paksa Elvano membuat dirinya terlihat baik-baik saja dan menatap Aleta yang masih menundukkan kepalanya.
"By... Ayo kita pulang."
Aleta mengangkat kepalanya dan memperlihatkan mata kuningnya yang kini basah oleh air mata yang membuat Elvano tercengang dan tidak merespon saat Aleta melempar dirinya ke pelukannya dan hanya secara refleks Elvano melingkarkan tangannya di pinggang ramping Aleta.
"Hiks... Hiks... Hiks.."
Air mata mengaburkan penglihatannya yang membuat Aleta membenamkan kepalanya dileher Elvano sambil memeluk Elvano untuk menyembunyikan air mata yang ada dimatanya. Tapi suara isak tangisnya, tidak bisa dia sembunyikan karena Aleta merasa sakit yang samar disekujur tubuhnya saat mendengar keadaan Elvano yang diceritakan oleh Zoya yang membuatnya mengerti mengapa Zoya mengatakan sesuatu seperti 'sungguh keajaiban bahwa Elvano masih hidup' karena keadaan yang digambarkan oleh Zoya membuat tubuhnya bergetar.
Jika keadaan kematiannya dikehidupan sebelumnya masih sangat ringan karena pisau yang menusuk jantungnya yang membuatnya kehilangan banyak darah maka, keadaannya tidak se-menyedihkan Elvano yang disiksa selama sebulan penuh yang membuatnya mustahil untuk bertahan hidup. Dan jika Elvano mati dia pasti lebih membenci, marah, dan enggan untuk kematiannya yang bisa membuat keluarganya putus asa.
Karena ini juga dia mengerti mengapa Elvano bisa sangat sensitif, itu karena dia melupakan semuanya tapi dia harus mencoba beradaptasi dengan lingkungan yang menurutnya familiar dan asing dengan paksa dalam pikirannya saat sesuatu yang coba dia lupakan akan diingat kembali.
Aleta merasa pengalamannya tidak se-menyedihkan Elvano yang telah disiksa selama sebulan penuh dan harus kehilangan semua ingatannya saat dia tersadar kembali, tapi dia memiliki kesempatan untuk memulai kembali dengan tenang tanpa kebencian dan kemarahan dihatinya dengan ingatan dikehidupan sebelumnya yang hanya masalah sepele dibandingkan Elvano.
Karena kita harus tetap melihat untuk masa depan yang ada didepan kita daripada selalu terjebak untuk melihat kebelakang dengan kebencian dan putus asa tanpa bisa melangkah menuju masa depan yang sedang menunggu kita disana. Dan dia sekarang memiliki pasangan yang akan bisa menemaninya sampai akhir, meskipun pasangannya sekarang adalah pasien amnesia yang keadaannya sekarang seperti anak kecil yang belum mengerti apapun, dia akan menjaganya, merawatnya dan mencintainya dengan sepenuh hati.
Elvano merasa tidak nyaman saat Aleta menangis yang membuatnya merasa sakit dihatinya dan panik. Dia merasa bingung dan tidak tahu harus melakukan apa agar bisa membujuk Aleta untuk berhenti menangis.
"Quenby jangan menangis...oke? Aku tidak apa-apa."
Wajah Elvano menjadi pucat karena dia merasakan sakit dikepalanya semakin parah tapi dia harus membujuk Aleta yang menangis dipelukannya.
"Siapa yang menangis?!"
"Ya, ya, ya, Quenby tidak menangis hanya menitikkan air mata."
Aleta berdiri dan mengusap air matanya lalu menatap Elvano sambil melotot marah.
"Ayo pergi."
"Yah..."
-
-
Malam.
Elvano menggosok rambutnya yang basah dan duduk bersila di ranjangnya dan mengambil ponselnya yang bergetar dia melihat telpon tak terjawab dari ibunya yang membuat Elvano sedikit terkejut dan menelponnya kembali.
"Halo?"
"Vano kamu dimana, kenapa belum pulang?"
Suara khawatir Nyonya Chelsea terdengar di ponselnya yang membuatnya sedikit tercengang karena dia lupa mengabarkan ibunya.
"Bu, Vano ada dirumah Quenby."
Nyonya Chelsea yang sedang minum air tersedak dan membuat wajah menjadi merah.
"Uhuk! Uhuk! Uhuk!"
"Bu apa kamu baik-baik saja?"
Nyonya Chelsea melambaikan tangannya dan bertanya dengan ragu.
"Sayang bukankah ini terlalu cepat, ibu merasa sangat terkejut."
"Ini bagus bukan." Suara bangga anaknya diseberang telpon membuat Nyonya dan Tuan Dirgantara saling memandang dengan keterkejutan yang tidak bisa disembunyikan dimatanya.
"Bagus, bagus!"
Tuan Damian tidak bisa menahan senyumnya dan berkata dengan gembira, bahkan Nyonya Chelsea memiliki senyum seperti bunga yang mekar diwajahnya.
"Jangan melakukan sesuatu yang berlebihan, kalian masih dibawah umur." Dengan wajah serius Tuan Damian mengingatkan Elvano dengan tegas.
"Uhh... Apa yang kamu katakan ayah?" Elvano merasa panas naik diwajahnya.
"Kamu tahu."
"..."
Mereka berbicara selama beberapa menit setelah itu Elvano menutup teleponnya. Elvano berbaring sambil menatap langit-langit lalu memutar kepalanya untuk melihat jam yang ada dimeja yang menunjukkan pukul 23.22, karena sudah larut Elvano menutup matanya dan tertidur.
Tik.. Tik.. Tik
Aleta terbangun dari tidurnya menatap ruangan yang gelap lalu mengulurkan tangannya untuk menyalakan lampu tidurnya.
Klik.. klik.. klik..
Melihat lampu yang tidak menyala Aleta hanya bisa menghela napas lalu berdiri untuk mencari ponselnya.
01.30
Aleta membuka pintu kamarnya dan menerangi jalan yang ada didepan ponselnya dia turun untuk mengambil air minum karena dia merasa haus.
Saat dia melewati kamar Elvano dia mendengar napas berat yang membuatnya terkejut lalu Aleta membuka pintu dan mengarahkan cahayanya pada Elvano yang sedang meringkuk diranjang sambil menutupi tubuhnya dengan selimut.
Aleta berjalan menuju Elvano dan membuka selimut yang menutupi tubuh Elvano yang memperlihatkan alisnya yang berkerut dan wajahnya yang pucat dan berkeringat.
Melihat tubuh Elvano yang bergetar Aleta mengerutkan keningnya dengan erat karena keadaan Elvano saat ini terasa salah yang membuatnya sedikit panik.
"Xavier!"
Duar!
Suara petir membangun Elvano, saat dia membuka matanya dia melihat bayangan samar didepannya yang membuatnya berteriak kaget dan menyusut dengan tubuh gemetar.
"Ah!"
Aleta juga terkejut dan membuatnya mudur beberapa langkah. Dengan wajah pucat dia menyentuh tubuh dingin Elvano yang menyusut dan mencoba memanggilnya dengan panik.
"Xavier! Lo kenapa?!"
Suara panik seseorang yang memanggilnya membuat Elvano memeluk tubuh hangat yang ada didepannya dengan erat.
Tubuh Aleta menjadi kaku sejenak setelah itu dia menepuk punggung Elvano dan menyanyikan lagu tidur agar Elvano bisa tidur nyenyak.
Melihat Elvano yang mengendurkan alisnya, Aleta menunggu beberapa menit setelah mendengar napas rata disebelahnya. Aleta menarik tangan Elvano yang ada di pinggangnya dengan pelan karena takut membangunkan Elvano yang baru saja tertidur tapi saat Aleta menarik tangan Elvano dari pinggangnya mata Elvano kini terbuka dan menatap bingung pada Aleta yang ada dipelukannya.
"By..?"
"Ahahaha, bisa Lo lepasin tangan Lo dari gue?"
Aleta tersenyum kaku saat Elvano terbangun yang membuatnya merasa malu dan tidak nyaman. Elvano yang sudah sepenuhnya sadar menyadari bahwa ruangan ditempatnya menjadi gelap yang membuat wajahnya menjadi sangat pucat dan tangannya yang ada di pinggang Aleta menegang.
Aleta mengangkat kepalanya dan menatap wajah pucat Elvano melalui cahaya remang-remang dari jendela yang menyinarinya dengan khawatir.
"Lo ngakpapa?"
Suara hujan masih terdengar diluar jendela, hanya napas mereka berdua yang terdengar diruangan itu yang membuat Elvano sedikit lamban karena dia tidak menyukai saat cuaca hujan.
Mendengar pertanyaannya Aleta, Elvano menggelengkan kepalanya dan saat dia membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, suara petir yang kencang terdengar dari luar.
Duar! Duar!
Jantung Elvano berdetak kencang lalu memeluk Aleta dengan erat untuk menenangkan dirinya. Dia tidak tahu kapan dia membenci cuaca ini, tapi yang pasti adalah cuaca ini adalah cuaca yang membuatnya merasa sangat buruk.
Aleta mendengar detak jantung yang berdetak kencang dari dada Elvano saat petir yang menyambar dengan kejutan dimatanya.
"Lo takut sama petir?"
Aleta menatap Elvano dengan lelucon dimatanya, tapi saat dia akan mengangkat kepalanya rambut patah dari Elvano menyapu lehernya yang membuatnya menyusutkan lehernya karena geli.
"Lepas gue ingin tidur."
Elvano mengeratkan pelukannya dan berbisik kecil dengan permohonan dalam suaranya sebelum dia menutup matanya.
"By... Aku takut, jadi jangan tinggalkan aku, oke?"
Aleta tidak bisa melihat mata Elvano yang memancarkan cahaya suram dan tirani sebelum dia menutup matanya, jadi Aleta hanya bisa menghela nafas pasrah.
"Oke, oke. Ayo tidur."
-
-
-
Kringg.... Kringg...
Aleta menekan jam weker yang berbunyi disebelahnya, lalu dia duduk sambil mengusap matanya dan menguap pelan.
Aleta melirik jam yang masih menunjukan 06.00 pagi dia merenggangkan tubuhnya. Aleta tiba-tiba tertegun karena dia baru mengingat bahwa dia sedang tidur bersama Elvano yang membuat tubuhnya sedikit kaku lalu menatap sisinya dengan aneh.
Elvano meringkuk disisi Aleta tanpa mengenakan selimut dengan wajah merah dan berkeringat. Aleta menatap selimut yang ada ditubuhnya dia merasakan kehangatan dihatinya karena detail kecil yang tidak diperhatikan olehnya lalu Aleta mencerutkan bibirnya karena kesal.
Bodoh! Bukankah kita bisa berbagi selimut yang sama, jadikan Lo sakit.
Aleta melepaskan selimut yang ada ditubuhnya lalu menyimpannya ditubuh Elvano dan mulai membuat air hangat untuk mengompres dahi Elvano yang panas setelah itu dia pergi mandi karena dia harus pergi kesekolah.
Aleta yang telah bersiap-siap membuat sarapan sederhana untuknya dan menyimpan satu untuk Elvano makan setelah itu dia menyimpan catatan dimeja makan.
Gue buatin Lo sarapan sederhana dulu setelah itu Lo minum obatnya nanti gue kasih tau ke Lendra kalau Lo ngak bisa masuk sekolah karena sakit.
Jangan lupa makan obatnya~
By: Aleta :)
Melihat sudah jam 06.45 dia dengan cepat mengambil tas dan kunci mobilnya lalu pergi.
SMA ANGKASA, tempat parkir.
Aleta yang baru saja akan pergi tiba-tiba merasa bahunya tenggelam yang membuatnya mengangkat kepalanya.
"Leta dimana Kak Vano?"
Gallendra merangkul bahu Aleta dan menatap mobil yang tidak pernah ada orang yang keluar dengan ekspresi bingung.
"Saudara Lo sakit."
Gallendra terkejut lalu dengan cepat dia merasa khawatir karena Kak Vano belum lama ini bangun dari komanya yang membuatnya sangat mengkhawatirkan tentang sesuatu yang salah dengan tubuhnya.
"Idiot itu!" Aleta menggigit bibirnya karena kesal dan khawatir setelah melihat Gallendra memiliki ekspresi khawatir diwajahnya.
"Kenapa dia bisa sakit?"
"Gue ngak tau!" Aleta merasa frustasi karena kejadian kemarin yang sedikit tidak jelas masih membuatnya bingung dan dia sedikit tidak merespon apa yang ada disekitarnya.
Gallendra menatap Aleta dengan tenang.
"Idiot besar itu, dia takut gelap dan petir hingga tubuhnya bergetar, jika bukan karena gue lewat dan mendengar suara napas berat di kamarnya dia mungkin masih akan menutupi dirinya dengan selimut hingga mati lemas."
"Saudara gue takut gelap dan petir..?"
Gallendra memiliki ekspresi yang aneh diwajahnya karena ini sangat tak terduga untuk saudaranya yang dingin dan gila, tapi apa semua orang akan gila dari lahir..? Jadi kejadian seperti apa yang membuatnya merasa takut akan kegelapan dan petir?
Gallendra yang sudah melepaskan tangannya dari pundak Aleta kini masih memiliki pemikiran yang terpampang jelas diwajahnya. Jadi dia tidak merasakan bahwa Aleta telah pergi meninggalkan Gallendra yang masih berpikir.
Hingga suara lembut dan bingung dan goncangan samar ditubuhnya membangunkannya dari berpikir lebih jauh.
"Apa?"
"Lo kenapa sih dari tadi berdiri diem disini dengan wajah serius?"
Arkanio yang baru saja akan menghampiri mereka mendengar perkataan Dylan yang bingung yang membuatnya mengangkat alisnya.
"Emang Lo kenapa?" Arkanio bertanya dengan temperamennya yang telah kembali seperti sebelumnya singkat dan padat seolah-olah dia sangat menghargai suaranya seperti emas.
"Lo takut sama apa?"
Pertanyaan yang tiba-tiba dari Gallendra membuat mereka tercengang lalu memikirkan kelemahan mereka. Dylan cekikikan karena malu lalu berkata dengan senyum dalam suaranya.
"Gue takut sama serangga."
"Ular." Arkanio menjawab dengan singkat dan wajah yang sedikit pucat.
Gallendra tertegun lalu dia tertawa keras karena kelemahan mereka tapi dia dengan cepat membuang ekspresinya dan membuat ekspresi yang sangat serius.
"Bukan itu yang gue maksud. Tapi yang gue maksud adalah kelemahan Lo yang bisa membuat Lo trauma."
Tubuh Dylan dan Arkanio membeku, lalu Dylan menurunkan matanya sambil berkata dengan lembut.
"Gue takut gue bakal dikunci ditempat kecil dan gelap seperti lemari saat bokap dan nyokap gue bertengkar."
"Maaf."
"Ngakpapa, kejadian itu sudah lama sekali kok." Dengan wajah kaku Dylan mencoba tersenyum cerah tapi matanya yang menghindar dan tidak berani menatap siapapun membuat Gallendra dan Arkanio yang menatap Dylan tahu kalau dia sedang berbohong, tapi mereka tidak mencoba membongkarnya karena itu akan membuat mereka menaburkan garam pada luka hatinya.
Arkanio menutup matanya dan berkata dengan suara dingin dan gemetar.
"Gue takut semua orang tidak bisa menerima gue yang seperti ini. Gue orangnya pengecut dan lemah, jadi kemarin gue jadi impulsif karena gue merasa cemburu sama si Vano karena dia bisa menghadapi mata semua orang yang menatapnya dengan aneh ataupun ketakutan."
Dylan dan Gallendra menatap Arkanio dengan terkejut karena mereka baru tahu alasan kenapa Arkanio yang biasanya tenang saat itu menjadi impulsif dan mudah tersinggung, jadi karena itu dia bertengkar dengan Elvano karena dia cemburu.
Arkanio menatap Gallendra lalu bertanya balik.
"Kalau Lo?"
Dylan juga penasaran kelemahan seperti yang bisa membuat temannya yang selalu happy ketakutan. Gallendra memiliki senyum pahit dan sedikit dingin diwajahnya yang membuat Dylan dan Arkanio tertegun dengan apa yang dia katakan.
"Gue takut gue ditinggal sendiri."
"Kenapa?"
"Karena gue bermimpi, gue harus berjuang sendirian dan gue juga akan mati tanpa tempat pemakaman. Dan tidak ada seorangpun yang mengingat dan mempercayai gue."
"..."
"Tapi ini cuma mimpi kan." Dylan tertawa kering karena jawaban yang diberikan oleh Gallendra sedikit tidak masuk akal.
"Semoga saja itu hanya mimpi karena gue ngerasa itu sangat nyata, dan gue juga merasa kedinginan saat kalian tidak mempercayai dan membenci gue hingga kalian berkomplot untuk membunuh gue."
Gallendra tertawa dingin karena menurutnya mimpi itu terlalu nyata bahkan dia merasa kalau dia yang mengalaminya. Meskipun dia tidak tahu apa mimpi itu, dia masih memiliki kesan yang sangat dalam karena perasaannya saat terbangun dari mimpi itu terlalu absurd.
Setelah itu Gallendra pergi meninggalkan Dylan dan Arkanio yang membatu disana karena syok.
12.30, Kelas Unggulan 2-1
Kringg.. kringg..
Aleta yang tenggelam dalam pikirannya tidak menyadari bahwa bel telah berbunyi yang menandakan waktu istirahat.
Sheila yang sedang berbicara dengan teman-temannya melihat Aleta yang masih duduk di bangkunya dan tenggelam dalam pikirannya menghentikan pembicaraannya lalu menghampiri Aleta dan menepuk pundaknya dengan pelan.
"Leta, Lo ngak akan pergi ke kantin?"
"Uh.... Makasih ya udah ngingetin gue."
"Sama-sama."
Aleta menganggukkan kepalanya kearah Sheila dan berdiri meninggalkan kelas.
Sheila menatap kepergian Aleta dengan tatapan yang tidak jelas. Teman-temannya yang mengetahui seksualitas Sheila saling memandang lalu menepuk punggungnya dan berkata dengan ketidaksetujuan dimatanya.
"Shei, Leta itu cewek yang lurus dan ngak akan pernah berbelok meskipun dia udah ngak suka sama si Gibran."
"Tapi.." Sheila tidak ingin menyerah.
"Gue denger murid pindahan itu mengejar Aleta."
"Uh, pria yang sangat tampan itu?" Mereka berbisik dengan wajah mabuk lalu tiba-tiba mereka memiliki wajah kecewa karena murid pindahan itu menyukai Aleta, tapi....
"Mereka sangat serasi saat berdiri bersama..."
Sheila menginjak kakinya karena kesal lalu berbalik pergi dan tidak ingin memperhatikan teman-temannya yang sedang nyhmpo.
"Leta~"
Aleta yang baru saja keluar dari kelasnya mendengar suara Kesya yang membuat secara refleks memiringkan tubuhnya dan angin yang melewatinya meniup baju dan rambutnya.
Bugh!
Kesya yang terjatuh menatap Aleta dengan sedih yang membuat Aleta merasa sedikit bersalah dan membantunya untuk berdiri.
"Ah~ Leta kamu sangat kejam~"
Kesya menyentuh dadanya dan membuat penampilan sedih yang membuat Aleta tertawa dan bekerja sama dengan penampilan Kesya dalam drama hariannya.
Dengan cahaya tajam dimata kuningnya, Aleta membuat wajah yang kejam dan berkata dengan dingin dan arogan saat tangannya kini menyentuh pipi Kesya sambil mengusapnya dengan ringan.
"Kenapa? Kalau gue tidak seperti ini, sikapmu akan melunjak."
Kini giliran Kesya yang tersedak oleh penampilan Aleta yang kini bisa mengubah wajahnya tanpa memerah.
Melihat Kesya yang memiliki ekspresi kekalahan diwajahnya membuat Aleta mengubah kembali ekspresinya yang seperti biasa sambil tertawa.
"Ayo, pergi ke kantin."
"Oke."
Kesya mencerutkan bibirnya karena penampilannya hari ini kalah oleh Aleta yang mengubah wajahnya seperti presiden yang mendominasi.
Mereka melihat banyak orang yang datang dan pergi dengan cepat yang membuat mereka bingung. Kesya menarik salah seorang siswa yang baru saja keluar dari kantin dan berkata dengan bingung.
"Kenapa kalian pada terburu-buru, ngak makan di kantin?"
Wajah siswa yang tangannya sedang dipegang oleh Kesya berubah secara halus lalu menatap mereka dengan aneh.
"Kalian ngak tau kantin sekarang masih berantakan karena ulah murid pindahan itu sama Arkanio, mereka berantemnya keterlaluan. Jadi kita hanya bisa ngambil makannya doang dan kita juga mau makannya bebas dimana aja."
"Makasih."
"Yah, sama-sama."
Kesya melepaskan tangannya dari tangan siswa itu yang membuat siswa itu langsung pergi dari tempat ini karena menghalangi jalan orang yang datang. Saat mereka berjalan menuju kantin untuk mengambil makan Kesya menatap kantin yang masih berantakan dan berkomentar.
"Gila, ini kantin berantakan banget. Dilihat dari depan tidak terlalu banyak yang rusak jadi gue ngak tahu kalau kantinnya bisa menjadi seperti ini, luar biasa. Pengurus OSIS pasti bakal kecapean untuk ngebenerin ini tempat."
Kesya yang tidak pernah mendengar suara Aleta saat masuk ke kantin berbalik dan menatap dengan aneh pada Aleta yang linglung.
"Lo sakit?"
"Ngak." Aleta menggelengkan kepalanya.
"Kenapa dari tadi Lo linglung? Bibi.. pesen nasi goreng dua dengan ayam ya, minumnya teh manis satu dan air putih satu."
"Ngakpapa kok." Aleta mengambil makannya yang sudah ada didepannya dan menjawab dengan nada yang sangat ringan pada Kesya.
Kesya tidak mengatakan apa-apa lagi karena Aleta yang tidak ingin mengatakannya.
...
"Leta Lo tau, tadi gue lihat wajah si Lendra dari pagi selalu kaku."
"Kenapa?" Aleta mengangkat kelopak matanya dan kembali menulis catatan untuk pelajaran sejarah.
"Gue juga ngak tau cuma pas tadi gue lihat wajah si Lendra kaku saat bersama yang lainnya."
"Maksud Lo mereka?" Aleta mengangkat alisnya karena terkejut, karena yang Aleta pikiran adalah si Lendra masih muram karena khawatir tentang saudaranya yang sakit tapi karena mereka yang membuatnya sedikit bingung.
"Yah, gue baru pertama kali liat wajah dingin si Lendra yang sedikit menakutkan."
Setelah itu Kesya memeluk tubuhnya karena kedinginan saat dia akan mengatakan sesuatu suaranya terpotong oleh seseorang yang memanggil Aleta.
"Leta gue——"
"Aleta!"
Mereka mengangkat kepalanya secara bersamaan saat mendengar seseorang memanggil.
Algibran yang menghampiri Aleta memiliki wajah yang buruk.
"Kenapa?" Aleta mengerut keningnya melihat Algibran menatapnya dengan marah.
"Kenapa Lo biarin si Elvano tinggal bersama?!"
Kesya yang mendengar dari pinggir sambil makan kue tersedak.
"Apa urusan Lo?" Aleta kini bisa menghadapi Algibran dengan tenang bahkan dia memiliki senyum lucu dimatanya, bukan lagi kebencian dan kemarahan yang ekstrim saat pertama kali mereka bertemu setelah dia dilahirkan kembali yang membuatnya sedikit tidak bisa mengontrol emosinya.
"Lo..."
Algibran berhenti berbicara dan tercengang karena dia tidak berhak mencampuri urusan Aleta, selain itu dia bukan lagi tunangannya dan Aleta yang menyukainya kini membencinya.
Aleta bukan lagi orang yang akan selalu mencampuri urusannya, dia tidak akan mencarinya, mengikutinya, apalagi tidak menghalangi hubungannya dengan Adele.
Melihat mereka yang seperti akan berkonflik Kesya menarik Aleta yang akan berbicara dengan mulut pedasnya untuk pergi menjauh dari Algibran.
"Leta ayo pergi."
Aleta menutup mulutnya dan pergi bersama Kesya yang menarik tangannya.
Algibran merasa kehilangan dan rasa sakit yang samar dihatinya seolah-olah sesuatu yang penting hilang saat melihat Aleta pergi.
Angin menerbangkan daun-daun yang berguguran dan meniupnya pergi entah berantah. Seperti mereka yang akan mulai berpisah tanpa bisa bersinggungan dan jalan yang akan mereka tempuh akan berbeda-beda.
-
-
(PS: Pada paragraf terakhir penulis membuat sebuah kata-kata yang puitis tapi mungkin masih kurang jadi mohon maaf bila kata-katanya tidak nyambung.😔🙏)
[Bersambung...]