Chapter 2 - 02

Artha tiada hentinya menyumpah serapahi apa yang terjadi padanya sore itu. Seumur-umur baru kali ini dia di copet. Kalau begini ia bisa jadi gelandangan dadakan hanya dalam satu hari.

Beberapa kali lelaki itu menghembuskan napas panjang ketika menyusuri sebuah gang. Dalam potongan rekaman cctv tadi, Artha melihat orang itu berjalan ke arah gang yang tepat berada di sebelah kios Bang Nasrul. Gang dengan jalan ukuran lumayan besar. Mungkin jika mobil dan motor berpapasan masih bisa. Meskipun jalan itu terbilang lebar tetapi menjelang sore jalanannya terbilang sangat sepi.

Semakin sore, Langit Seminyak semakin redup ditambah langit yang mendung. Lampu-lampu di gang tersebut sudah dinyalakan saat Artha berjalan semakin dalam memasuki perumahan warga yang masih kental dengan khas rumah adat Bali.

Artha melirik jam yang melingkar di tangannya. Jam setengah enam, hal itu membuatnya semakin kalut. Apa sepertinya Artha harus pasrah saja dan melaporkan ke kantor polisi besok. Pria itu segera menggelengkan kepalanya. Tidak tidak itu terlalu lama bisa-bisa ponsel dan dompetnya sudah melayang entah kemana. Ia tahu seberapa repotnya melaporkan kehilangan di kantor polisi sedangkan Artha kini tidak punya apa-apa. Semuanya ada di dalam dompet. Kartu ATM, uang, KTP, STNK, dan surat-surat penting lainnya, juga kartu akses untuk masuk ke villa juga ada didalam dompetnya.

Kesal. Tentu sangat kesal, saking kesalnya Artha sampai tidak menyadari saat Ia membawa langkahnya ke sebuah Pura yang berada di ujung gang perumahan warga. Disana ada beberapa orang yang akan bersiap-siap untuk sembahyang, dengan pakaian khas agama hindu. Ini sudah hampir jam enam, makannya jalanan terbilang cukup sepi sebab warga di gang sana akan bersiap-siap ibadah di jam enam sore nanti.

Artha makin putus asa sekarang, kalau sudah begini Ia tidak bisa lagi mencari copet sialan itu. Mana mungkin Ia harus mencari ke setiap rumah warga apalagi ke dalam Pura sana. Pikirnya, mana mungkin pencopet beribadah.

"Mas? Kenapa berdiri di sini saja, mari masuk."

Artha terlonjak saat seseorang menepuk bahunya. Kemudian Ia gelagapan mendapati seorang lelaki tua yang sudah berpakaian rapih dan membawa beberapa peralatan ibadah di tangannya.

"I-ni itu... Anu, saya–"

"–tidak sembahyang?" lelaki tua itu tersenyum tipis. Menatap mata Artha yang bergulir kesana kemari.

Dalam sudut kata hatinya Ia memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bodoh. Ia ingin mencoba mencari copet itu di Pura, barangkali orang itu melarikan diri disana yang terbilang aman.

Rambutnya lagi-lagi berantakan ketika ia menggaruknya beberapa kali saking bimbangnya. Artha menatap lelaki tua dihadapannya yang sepertinya belum ada tanda-tanda ingin pergi.

"Anak muda, kamu sepertinya sedang dalam fase kesulitan yang cukup serius."

Pernyataan lelaki itu membuat Artha seketika menelan ludah kasar. Ia bertanya dalam hati, begitu kentara kah wajah melasnya sekarang?

Narthana Wirabadra. Ketika orang mendengar namanya, mereka bisa langsung bersepkulasi bahwa dia adalah seorang dengan agama hindu. Spekulasi itu memang tidak salah, dia memang benar-benar pemeluk agama hindu. Tetapi itu dulu, dulu sekali. Saking lamanya, Artha bahkan sudah lupa kapan terakhir Ia menginjak rumah ibadah yang telah Artha peluk sejak lahir ke dunia itu.

Saat itu, langit semakin gelap seolah sengaja membawanya kembali pada masa lalu yang berputar seperti kaset yang telah rusak. Bagaimana Ia selalu tersenyum lebar tatkala memakai busana Uttama Angga di kepalanya, Madyama Angga di badannya, dan Kanistama Angga di pinggangnya. Persis seperti pakaian yang sedang di pakai lelaki tua di depannya.

Dalam situasi seperti ini, Artha berusaha keras untuk tidak menjadi cengeng. Bukankah waktunya tidak tepat untuk mengingat sosok Ayahnya. Sosok lelaki yang mengajarkan begitu banyak hal padanya. Termasuk dalam urusan ber Agama.

"Mas, Tuhan itu maha penolong dan pemurah. Ketika kita lupa padanya, dia tidak pernah lupa pada kita justru selalu memberi beribu-ribu berkat. Ketika kita dalam kesulitan dia akan selalu memberi sebuah jalan untuk kesulitan itu." Ucap lelaki tua itu dengan nada rendah.

Seolah tahu dengan kebimbangan pada raut Artha. Seketika Artha teringat perkataan Bang Nasrul yang hampir sama persis.

"Mari, biar saya antar ke rumah untuk berganti pakaian terlebih dahulu." Lelaki itu menarik tangan Artha untuk mengikutinya.

"Eh? Tapi pak saya–"

"–sudah lama tidak beribadah?"

Lagi-lagi perkataanya benar. Artha jadi curiga, jangan-jangan orang ini orang sakti.

Tanpa beban Artha mengangguk, membuat lelaki itu kembali tersenyum tipis.

"Saya sudah bilang kan, kalau Tuhan itu pemurah. Dia menerima orang-orang bertaubat ataupun pendosa sekalipun."

***

Di dalam pura, sudah ada beberapa orang yang tengah melakukan persembahyangan Tri Sandhya. Biasanya persembahyangan Tri Sandhya dilakukan pada pukul 6 pagi, 12 siang, dan 6 sore.

Artha berbaris di hadapan lelaki tua tadi lengkap dengan pakaian yang dipinjamkannya tadi, sebelumnya ia sudah berkenalan dengan lelaki itu. Namanya pak Kadek Aditya, biasa dipanggil Pak Kadek oleh warga sekitaran gang sana. Di belakang Pak Kadek dan istrinya yang berbaris sejajar berdampingan, sedangkan Artha berdiri sendiri tepat berada di hadapan Pak Kadek.

"Mas, maju saja ikut jajaran orang di depan." Pak Kadek menepuk bahunya pelan, menunjuk barisan depan yang hanya terisi satu orang wanita.

Artha tak menjawab, hanya mengangguk dan maju sekitar dua langkah untuk mensejajari wanita di depannya.

Lelaki yang sudah berbusana Madya lengkap itu memegang dupa yang sudah menyala di tangan. Meskipun sudah bertahun-tahun Artha tak melakukan persembahan, namun beruntung masih lekat di ingatan tata caranya persembahan.

Artha meletakkan tangannya yang memegang dupa di depan dada, memejamkan mata, mulai merapalkan doa seingatnya.

Ia tak akan pernah menyangka akan berakhir di tempat ini. Dalam pejaman doanya, lelaki itu mengernyit. Pertama, Ia harus meminta ampun atas segala dosanya, ponsel dan dompet kembali, yang terakhir ia meminta di pertemukkan dengan pencopet agar bisa langsung menjebloskannya ke penjara. "Enak aja, gue nggak terima di copet apalagi copetnya cewek."

Mungkin cukup lima menit saja Artha berdoa, karena setelahnya ia langsung membuka mata. Mungkin hanya butuh dua detik ia melebarkan matanya saat menoleh ke arah samping. Ke arah wanita di sampingnya yang juga tengah melakukan persembahan.

Artha tak perlu lama untuk  mengingat siapa wanita di sampingnya itu. Voila! Pucuk dicinta ulam pun tiba. Ternyata doanya beberapa menit yang lalu langsung di kabulkan. Dalam hati, Artha bersorak. Terimakasih Dewa.

Artha nyaris menyeret wanita itu ke kantor polisi sekarang juga. Tapi Ia cukup tahu ini adalah tempat ibadah, tempat suci. Tak etis rasanya jika membuat keributan.

Wanita itu berpakaian lengkap dan rapi seperti beberapa wanita yang sembahyang di Pura. Memakai kebaya, kamen, juga selendang yang di sampirkan di bahu. Tangannya mengepal dupa yang mengepul, jika beberapa jam yang lalu matanya tertutupi kacamata hitam sekarang wanita itu membiarkan kelopak matanya terlihat. Kelopak berbulu lentik itu terpejam rapat.

"Kelihatan suci banget nih orang, aslinya mah copet."

Sialnya, Artha tak bisa memungkiri bahwa wanita itu cantik. Kulit putih pucat, bibir tipis berwarna pink alami, juga hidung bangirnya menambah keelokan pada wajah itu. Terlihat polos dan anggun. Artha pikir, pasti banyak orang yang sudah tertipu dengan tampang polosnya.

Sekonyong-konyong Artha menahan tangannya untuk tidak mencolok mata atau hidung wanita itu dengan dupa yang masih menyala ditangannya. Gemes banget jadi pengen cubit nyawanya.

Perlahan, kedua kelopak mata wanita itu terbuka. Awalnya memandang halus pada patung di hadapannya, namun sedetik kemudian saat matanya bergulir kearah samping–mendapati mata lelaki di sebelahnya yang  menatap tajam dengan senyum paling mengerikkan.

"Hai." sapanya pelan disertai senyum miring.

Wanita itu melotot, masih tercekat ditempat sebelum akhirnya Artha menyeret pelan lengannya agar keluar dari Pura. Perlakuan yang tidak akan dipercaya oleh wanita itu.

Tetapi setelah keluar dan menjauhi dari area Pura sepenuhnya, Artha mencekal erat tangan wanita itu dan menyeretnya lebih jauh dari halaman Pura.

"Eh eh... Apaansih main tarik-tarik aja." wanita itu menepis tangan Artha namun tidak berhasil.

"Balikin hape sama dompet gue!" Desis lelaki itu.

"Apaansih Mas salah orang kali, saya nggak ngerasa ngambil dompet situ." Protesnya membuat Artha semakin geram.

"Lo nggak usah ngelak gue udah hapal wajah lo, sekarang cepetan balikin dompet gue." Cekalan pada lengan wanita itu semakin Artha eratkan. Peduli setan jika tangannya remuk sekalipun.

Dugh!

"Aaaaahkk..."

Tanpa disangka wanita itu menendang selangkangannya lalu melarikin diri begitu saja. Nasib buruk, gang disana sepi saat sore menjelang malam. Tidak ada satu orang pun yang bisa ia mintai tolong. Artha menyesal kenapa tidak disekitaran Pura saja ia menangkap pencopet itu.

Terlihat wanita itu masih kesulitan berlari kesusahan karena pakaiannya. Bisa Artha tangkap dengan jelas dia berbelok ke belokkan gang.

Sekitar dua dua menit berlalu, keseimbangannya mulai pulih meski rasa ngilu masih menerjangnya terus-terusan.

"Mati lo kalau kena."

Artha berlari, ia mengambil jalan berkelok ke arah jalan gang yang tadi sempat ia lewati alih-alih mengikuti arah gang yang wanita itu lewati.

Perhitungannya nyaris tepat saat hampir 15 menit berlarian, si copet yang bajunya kini sudah ganti lagi dengan stelan biasa, rambutnya kini tertutup oleh topi, tengah berjalan terburu-buru mendahuluinya. Dengan jarak yang hanya memakan lima langkah ditambah kaki jenjang Artha, ia berhasil menarik lengan si copet.

"Balikin hape sama dompet gue sialan!!"

"Aaaa tolongin saya, saya mau diperkosa..."

Wanita itu malah berteriak kencang. Artha melotot, lalu membekap mulut sialan itu dengan cepat. Seharusnya ia yang berteriak minta tolong.

"Hmmmpp..." Dengan kuat masih berontak. Lalu dengan keberanian penuh wanita itu langsung menggigit tangan Artha.

"Aahhkk...bangsat."

Artha mengusap-usap telapak tangannya yang baru saja digigit. Tak menyia-nyiakan kesempatan, wanita itu secepat kilat berlari.

"SIALAN!"

Belum saatnya menyerah, Artha langsung mengejar copet wanita itu lagi. Langkah kaki jenjangnya yang otomatis jelas punya kecepatan dua kali lipat berhasil menarik si copet lagi. Menarik bahunya membuat wanita itu terpelanting sangat keras. Dalam kesempatan emas itu Artha menarik rambut si wanita. Tidak terlalu kuat namun untuk ukuran tenaga laki-laki, tarikan itu cukup membuatnya kesakitan.

Wanita itu mendongak tepat di depan wajah Artha. Jaraknya mungkin hanya satu jengkal. Dengan cepat, ia menyentak topi gadis itu. Wangi bunga lavender langsung menabrak indra penciuman.

Pada malam hari itu, Bulan di langit Seminyak yang gelap berbentuk bulat penuh. Artha tidak perlu mendongak keatas langit untuk memastikannya. Dia dapat melihat sepenuhnya hanya dalam bola mata wanita yang berada dalam dekapannya. Seolah ada sihir yang membekukkan pergerakkan Arthana pada mata itu.

"Lo!"

Bugh!

Dugh!

"Anjghhzfggh... Kampret jangan lari lo!"

Kali ini Artha tidak bisa lagi menahan sakit sekaligus ngilu yang menerjang masa depannya. Hidungnya sepertinya berdarah saat wanita itu dengan kuat menabrakkan wajahnya pada wajah Artha. Dia terjatuh diatas aspal sambil memegangi aset masa depannya.

Terlihat wanita itu berlari cukup santai. Lalu....

Pluk!!

Melemparkan sesuatu yang terlempar tepat pada wajah Artha. Dompetnya kembali utuh dihadapannya.

"Tengkyu duitnya cowok kaya nan tampan huhuy... ayeaye..."

Sumpah, demi apapun. Meskipun dia wanita sekalipun Artha bersumpah dalam hati tidak akan memberikan ampun sedikitpun.

"Aaaargghh... Sialan titit gue!"

Siapapun beri Artha pertolongan 119.