Pagi itu langit Seminyak berwarna biru cerah. Beberapa bagiannya tertutupi awan putih. Berarak mengikuti semilir angin yang bertiup kearah timur. Hujan memang sudah berakhir pada penghujung Juni, tinggal menunggu semi di bulan Juli. Namun terkadang, hujan masih setia menemani Juli. Memang begitulah iklim alam, yang terkadang tidak bisa di prediksi.
Narthana tersenyum lebar tatkala Ia mendapati cuaca yang sangat mendukung pagi ini. Sudah terhitung tiga hari Ia berada di Bali, namun pada dua hari sebelumnya Artha merasakan hawa Bali dan Jakarta hampir sama. Padahal Ia memang sudah tahu betul kedatangannya ke Bali bukan untuk berlibur melainkan untuk bekerja. Kegiatan yang sama hanya berbeda tempat saja.
Artha hapal betul, kemanapun dan sesering apapun Ia berpindah tempat tujuannya akan tetap sama saja. Yaitu untuk bekerja. Namun kali ini Artha tidak akan melewatkan waktu lagi. Dua hari lagi Dia akan kembali kembali pulang ke Jakarta. Maka dari itu Ia ingin menghirup udara Seminyak terlebih dahulu sebelum kembali menghirup udara Jakarta yang sudah terkenal dengan ke-identikan penuh debu dan polusi.
Seminyak memang terbilang cukup sepi saat pagi, mungkin karena hari ini bukan hari pekan. Berbanding terbalik saat malam hari, justru Seminyak akan berubah menjadi seperti kota pesta. Setiap klub yang berada di kawasan sana akan selalu ramai di penuhi oleh kalangan Turis bahkan kalangan lokal sekalipun. Bali dan Seminyak memang se-menakjubkan itu.
Tetapi berbeda dengan Narthana. Lelaki itu lebih menyukai mengelilingi Seminyak di pagi hari atau sore harinya untuk menyaksikan sunset, salah satu hal yang pantang di lewatkan saat di pantai. Bukannya Artha tidak menyukai dunia malam yang liar. Namun Ia rasa, ketika hari berganti malam Artha justru merasakan seolah dilempar pada sebuah kehidupan sesungguhnya yang tak ternama.
Lelaki dengan tinggi sekitar 180 cm itu melepaskan sandal jepitnya. Memilih berjalan sambil menyeker diatas pasir bertekstur lembut juga hangat itu. Kedua tangannya dimasukkan kedalam saku celana selutut berwarna putih, kemeja lengan pendek bercorak bunga itu Ia biarkan kedua kancing teratasnya terbuka, rambut gondrong hitamnya acak-acakkan tatkala angin menerpa. Senyum pada wajah dinginnya tak pernah luntur sedari tadi. Seolah apa yang netranya lihat sekarang adalah sebuah keinginan kecil yang telah di ifam-idamkan sejak lama. Hawa sejuk Bali, hangatnya saat pagi, lautnya yang biru pekat seolah menjadi trapu gratis, namun berdampak sangat besar untuk mood-nya.
"Topi sama kacamatanya mas."
Artha sedikit terlonjak oleh suara pedagang yang menghampirinya. Menawarkan beberapa model kacamata dan topi yang sengaja didesain lebar untk menghindari panas.
"Enggak mbak, makasih." Tolaknya halus.
Pedagang wanita itu mengangguk sebelum akhirnya berlalu pergi, menawarkan beberapa dagangannya oada pengunjung lain. Interaksi singkat itu hanya berakhir sampai disana.
Artha memutuskan berjalan lebih dekat kearah bibir pantai. Kedua kaki putihnya langsung disambut oleh deburan ombak. Ia mengambil ponsek di saku untuk sekedar memotret pantai juga langit Seminyak yang terlampau indah. Setelahnya, Ia kembali menjauh dari laut. Duduk diatas pasir tanpa alas.
Jika kebanyakan orang saat di pantai meminum air kelapa muda, justru Artha mengeluarkan rokok dari sakunya, mengambil sebatang, memantiknya, menghirup dalam sebelum di kepulkan keudara. Membiarkan asapnya ikut terbawa perlahan oleh angin Seminyak.
Di saat seperti inilah bagian yang paling disukai lelaki itu. Memandangi pantai dengan segenap pikiran randomnya. Atau ide-ide yang akan bermunculan dengan sendirinya. Tapi getaran di ponsel berhasil mengalihkan atensinya penuh.
Artha mengeceknya malas. Benar saja, pesan beruntun datang dari Mamah-nya. Wanita baya itu mengirimkan beberapa foto dirinya yang sekarang tengah berlibur ke Jepang. Artha hanya tersenyum sumir, sebelum mengetik balasan 'have fun ya Ma' dan setelah itu kembali menyimpan ponsel tak berniat membalas saat notifikasi balasan dari Mamanya menyala kembali.
Terkadang Ia merasa geli dengan interaksi singkat dirinya dan wanita itu. Atau barangkali hanya dirinya yang me-nyingkatkan interaksi.
Kadang juga, Artha merasa lucu dan aneh secara bersamaan melihat kehidupannya sendiri dan Mamahnya. Mereka berdua seolah tak memiliki rumah hanya untuk sekedar singgah. Rumah berlantai dua yang berada di Jakarta hanya dijadikan alamat jika sewaktu-waktu ada yang bertanya tempat tinggal. Padahal tak pernah di singgahi pemiliknya pada waktu 5 tahun terakhir lamanya.
Bagaimana tidak, Artha akan selalu menyibukkan dirinya dengan pekerjaan yang mengharuskan berpindah-pindah tempat. Lalu Mamahnya, yang meski umurnya sudahbaya tapi masih memiliki jiwa muda itu akan terus berkeliking ke setiap negara. Katanya mumpung masih hidup dan sehat ingin mencari kebahagiaan.
Mungkin bahagia versi Mama adalah menghamburkan uang dan berjalan-jalan. Artha hanga akan mengirin balasan have fun di Jepang Ya Mah, atau di London, Swiss, Singapura dan beberapa negara lainnya yang bahkan tak pernah Artha kunjungi sekalipun. Karena memang hanya itu-itu saja yang akan dikirimkan Mama pada Artha. Yaitu ketika sedang liburan dan belanja alih-alih mengirim pesan menanyakan kabar.
30 tahun sudah Artha hidup di dunia ini. Dan pada lima tahun terakhir ini Ia rasa hidupnya seperti debu yang hanya akan mengikuti kemana angin akan membawanya terbang. Atau ibarat seperti aliran air sungai yang terus mengalir entah kemana dan kapan berhenti. Jika kehidupannya di ibaratkan sebuah warna, maka warna yang paling cocok adalah abu-abu.
Seketika Artha kembali teringat dengan perkataan Harsa—teman seangkatannya dulu saat kuliah di ITB. Katanya;"Coba deh lo jatuh cinta sekali aja. Dijamin hidup lo yang tadinya sepet kayak muka gue bakalan berubah dan bewarna-warni seperti gulali." Saat itu Artha justru bertanya, "Memangnya gulali ada berapa warna?" Yang kemudian membuat lelaki asli sunda itu mendengus kasar dan berakhir menoyor kepala Artha.
Mengingatnya Artha menggeleng sambil terkekeh pelan. Kemudian bertanya dalam hati, bagaimana kabar lelaki yang memiliki humor dengan tingkat paling rendah itu.
***
Menjelang sore, jalan Seminyak sedikit ramai oleh lalu lalang kendaraan dan orang yang berjalan di trotoar. Artha menyukai Bali, apalagi kawasan Seminyak. Tapi dia tetap mencintai Jakarta, tempat kelahirannya. Kadang, Ia akan merindukan Bandung, tempat kuliahnya. Atau sewaktu-waktu, Ia akan begitu merindukan Surabaya, tempat dimana peristirahatan terakhir Ayahnya.
Saat Arthana berkata menyukai pekerjaannya itu berarti Ia juga akan menyukai tempat dimana Ia bekerja. Di masa yang akan mendatang, mungkin Ia juga akan mengikuti jejak Mama yang sangat suka berpindah-pindah tempat. Bali memang tidak memiliki kenangan yang terbilang berarti bagi Artha. Tidak seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya yang masing-masingnya punya sebuah kenangan lekat di ingatan. Tapi Bali tetap menjadi tempat pavoritnya meskipun tak ada kenangan apapun disana. Atau dimasa mendatang, Bali justru akan memberikan kenangan berarti juga bagi Artha.
Sebelum kembali ke villa, Artha menyempatkan diri ke Indomaret terlebih dahulu untuk membeli rokok juga beberapa minuman soda–yang seingatnya sudah habis tak tersisa di kulkas.
"Ini aja Mas?" Tanya Mbak kasir setelah Artha meletakkan beberapa belanjaan di atas meja.
Artha mengangguk. "Iya mbak itu aja."
"Nggak sekalian isi pulsa hapenya, Mas?"
Kali ini Artha menggeleng. "Itu aja mbak."
"Ada promo beli dua rinso cair ukuran 600 mili harganya cuma 20.000 dari harga normal satunya 14.000."
"Saya laundry mbak, nggak nyuci."
"Atau beli sabun cair Citra-nya sekalian? Kebetulan promo juga beli dua gratis satu dengan harga cuma 21.900."
"Enggak mbak, saya nggak mandi."
Mbak kasir tercekat disana, memandang penampilan Artha seperkian detik sebelum akhirnya mengulum senyum. Merutuk pikirannya yang mana mungkin orang setampan itu tidak mandi. Artha nyaris tertawa. Terkadang Ia suka saat-saat akan membayar, melihat mbak kasir secantik model itu yang pantang menyerah untuk membujuknya berbelanja ini itu.
"Silverqueen ukuran yang kecil juga sedang promo beli 25.000 dapat dua bebas varian apa aja."
Ternyata mbak kasir belum lelah juga menghasut Artha. Akhirnya lelaki itu mengambil dua Silverqueen ukuran kecil dengan varian sama.
"Yaudah, saya tambahain Silverqueennya." Meletakkan dua Silverqueen diatas meja. "Ternyata pinter banget ngehasut ya Mbaknya."
Mbak-mbak kasir Indomaret terkekeh sembari memasukkan dua Silverqueen kedalam kantong plastik.
"Totalnya jadi 299.200."
Artha menyerahkan dua lembar uang pecahan 100 ribu. Dalam hati, Ia berbisik. 800nya boleh di donasikan Mas?
"800nya boleh di donasikan Mas?"
Nahkan! Artha seketika merasa jadi cenayang dadakan. Ia sudah hapal dengan dialog mbak kasir Indomaret. Dimanapun, mau itu di Jakarta, Bali, ataupun Bandung.
"Iya mbak."
Setelah kantong belanjaan dan struck di ulurkan, Artha tidak lupa mengambil dua Silverqueen tadi lalu Meletakannya kembali di meja kasir. "Buat mbaknya aja."
Mbak kasir yang seharusnya debut di grup Blackpink itu mengerjapkan matanya lucu. Artha mengulum senyum menahan segenap pertanyaan konyol yang berterbangan di pikirannya. "Mbak jadi pacar saya aja, mau nggak?"
Tapi Artha sadar betul, meskipun usianya yang sudah memasuki kepala tiga dan masih jomblo tapi perasaanya tidak bisa sembarangan di obral. Cukup sabun sama coklat aja yang diskon, hatinya jangan.
"Makasih ya Mas." Mbak kasir menerimanya dengan senyum malu-malu.
Bukan untuk modus atau apa. Tapi anggap saja sebagai royality kecil untuk kerja keras Mbaknya yang sudah bekerja keras seharian. Dan juga Ia suka aroma wangi khas setiap orang yang tengah bahagia.
Benar saja. Tak lama kemudian wangi lavender menyeruak masuk ke indra penciuman. Hanya dengan itu Artha sudah tahu betul bahwa wanita dihadapannya ini tengah dilanda perasaan bahagia.
Artha buru-buru keluar dari Indomaret karena langit Seminyak saat itu berwarna jingga sedikit gelap, langit jingga yang mendung, rupanya sore ini akan datang hujan. Benar saja kan. Iklim alam memang sulit di prediksi, padahal saat tadi pagi langit sangat cerah.
Arthana tersenyum tipis dengan tangannya yang terus melambai pada seseorang yang berada di sebrang jalan, dibalas dengan senyum juga lambaian singkat dari seseorang di sebrang jalan sana.
Orang di sebrang sana itu namanya Bang Nashrullah, orang-orang akrab menyapanya Bang Nasrul, penjaga kios majalah di sebrang Indomaret jalan Seminyak. Laki-laki berumur 30 tahun yang sudah beristri dan memiliki dua anak perempuan kembar yang masih berusia tiga tahun. Cukup hanya dua hari mereka saling mengenal, karena kebetulan umur keduanya yang sama jadi obrolan mereka tak pernah berakhir singkat. Juga kebetulan Artha yang sering lalu lalang ke Indomaret, yang otomatis selalu melewati kios majalah Bang Nasrul sebelum menyebrang. Meskipun wajah dingin Artha tak meyakinkan sebuah pertemanan tapi buktinya Bang Nasrul bisa akrab dengan lelaki itu dalam kurun waktu dua hari.
Padatnya jalan sore itu benar-benar membuat Artha pusing. Hampir 15 menit lelaki itu berdiri di pinggir jalan untuk menyebrang. Tapi kendaraan-kendaraan di sore itu seolah tak memberinya celah. Sampai di sebrang sana Bang Nashrullah tergelak melihat Artha begitu kesulitan menyebrang.
"Buset ini sampe Upin Ipin tumbuh rambut gue masih nggak bisa nyebrang kayaknya."
Ketika Artha maju selangkah, suara klakson motor berbunyi dari kejauhan, membuatnya kembali mundur, menghembuskan nafas kasar untuk kesekian kali.
Setelah menunggu hampir dua menit, akhirnya kendaraan mulai lenggang. Artha melangkah bersama orang-orang yang daritadi juga ikut menunggu kendaraan senggang untuk menyebrang. Sudah hampir sekitar tujuh langkah Artha berjalan andai saja seseorang tidak tiba-tiba menabraknya dari arah belakang mendahuluinya. Seseorang bertopi dan berjaket denim, yang seingatnya adalah seorang pedagang yang menawarkan kacamata dan topi dagangannya saat di pantai tadi.
"Maaf." Ucap orang itu berbalik ke arah Artha.
"Iya nggak pa-pa."
Kemudian orang dihadapannya bergegas berlari ke sebrang jalan. Begitupun dengan Artha yang mempercepat langkah ketika melihat kendaraan mulai berdatangan.
"Bang Nasrul gimana kabarnya?" Tanya Artha setelah sampai di kios majalah dan berjabat tangan dengan Bang Nasrul si pemilik kios.
"Alhamdulillah sehat selalu saya mah." Jawab Bang Nasrul dengan logat sundanya. Ah jika melihat Bang Nasrul, Artha seperti melihat Harsa dari beberapa sikap dan gaya bicaranya, juga selera humor mereka yang hampir sama.
"Saya beli ini buat Abang, ingat kalau hari ini senin, jaga-jaga kalau Abang belum beli sesuatu buat batalin puasa."
Artha mengambil satu kaleng minuman sari kurma dan satu pak roti dari kantong plastik, menyerahkannya pada Bang Nasrul.
"Oy, makasih bro kebetulan emang saya belum beli apa-apa padahal adzan sekitar 10 menit lagi."
Dua detik kemudian, Artha mencium maskulin khas laki-laki, sudah dipastikan itu adalah wangi Bang Nasrul. Karena hanya lelaki itu yang berjarak lima meter lebih dekat dengan dirinya.
Dan, memang seperti itulah panggilan yang di berikan keduanya pada masing-masing. Bang Nasrul justru ingin Artha memanggilnya Abang alih-alih memanggil namanya saja. Toh meskipun seumuran, Artha masih sangat cocok memanggilnya Abang. Dia bahkan terlihat seperti seumuran anak-anak kuliahan yang sering mampir ke kios majalahnya.
"Oh iya Bang ada koran dari de**k.com yang baru terbit hari ini nggak?" Tanya Artha setelah Bang Nasrul menaruh minuman kaleng dan roti di pojok ruangan.
"Ada, nih disini." Bang Nasrul menunjukkan sembari mencari koran yang dimaksud Artha.
"Ini." Bang Nasrul menyerahkan koran.
"Yaudah Bang, saya beli koran ini satu sama majalah Elle Indonesia satu yang edisi bulan Juni buat Mamah saya."
Bang Nasrul mengangguk, mengambil majalah yang dimaksud Artha juga satu totebag untuk wadahnya.
"Ini, salam buat Mamah mu." Ucap Bang Nasrul menyerahkan totebag berlogo nama kios majalah beserta alamat lengkapnya. "Jalan-jalan ke negara mana lagi sekarang Mamah mu?"
Artha menerima totebagnya. "Jepang Bang, katanya mau ngerasain tinggal di negaranya Sizuka"
Kemudian gelak tawa keduanya mengudara.
"Makas–" Ucapan Artha tertelan di kerongkongan tatkala Ia meraba satu persatu kantong celananya dengan wajah panik saat akan membayar.
"Kenapa?" Tanya Bang Nasrul menyelidik.
"Dompet saya nggak ada."
"Kok bisa?"
"Tadi seingat saya ada di saku celana deh, ini hapenya juga nggak ada." Artha meraba seluruh saku pada baju dan celananya.
Bukan apa-apa, hanya saja di dalam dompetnya ada surat-surat pentingnya. KTP, SIM, ATM, surat-surat yang sangat sulit dibuat. Mengingat Ia tinggal di Indonesia, kartu-kartu tersebut akan sulit di dapatkan tanpa ada sebuah tembakan.
"Apa tadi ketinggalan di Indomaret?" Monolog Artha menggaruk tengkuknya.
Artha memandang Indomaret di sebrang jalan, mungkin saja.
"Bang bentar ya, semoga aja ada di Indomaret."
Bang Nasrul mengangguk, Artha menyebrang jalan yang kali ini terasa mudah. Tapi begitu sampai disana, ia tidak menemukan apapun.
"Ada apa Mas?" Tanya Mbak kasir sedikit terkejut melihat kedatangan Artha yang terlihat terburu-buru. Bercampur perasaan senang kala melihat lelaki tampan itu datang lagi.
"Mbak lihat dompet sama hape saya nggak, tadi kayaknya ketinggalan."
Mbak kasir mengernyitkan dahinya kebingungan, mengingat kembali apakah laki-laki dihadapannya ini meninggalkan sesuatu.
"Nggak tuh Mas, tadi seingat saya si masnya langsung kantongin hape sama dompetnya."
"Iya saya juga ngerasanya gitu." Artha semakin kalut. "Duh dimana ya?"
"Yaudah makasih ya Mbak, permisi."
Raga keluar dari Indomaret dengan perasaan kalut. Menggaruk tengkuknya tanpa henti. Di sebrang Bang Nasrul bertanya dengan gerak bibir. Tapi Raga hanya menjawab dengan gelengan. Sedewasa apapun umurnya Ia tak pernah tidak panik jika sedang kehilangan sesuatu. Apalagi ini dompet dan ponselnya yang hilang.
Dia berputar di pelataran Indomaret, juga sepanjang trotoar barang kali jatuh sambil terus mengingat-ingat sebelum menyebrang tadi. Sampai pada titik dimana Ia sadar bahwa ada sesuatu yang janggal ketika tadi Ia menyebrang.
Artha kembali masuk ke Indomaret untuk memastikan kemungkinan-kemungkinan yang Ia pikirkan.
"Mbak!"
Mbak kasir terjingkat kaget lagi. "Iya mas?"
"Cctv di sini nyampe jalan raya nggak?"
"Nyampe mas, tapi sekarang ini lagi rusak."
Zonk! Artha seketika ingin terduduk di lantai saking lemasnya.
"Tapi fotokopi di sebelah kios majalah kayaknya ada cctv-nya deh dan kemungkinan nyampe jalan raya." Kata mbak kasir terasa angin sejuk lewat di telinganya. Dia mengangguk dan kembali mengucapkan terimakasih sebelum keluar dari Indomaret tersebut.
"Gimana?" Tanya Bang Nasrul begitu Raga kembali ke kiosnya.
"Nggak ada." Jawabnya lemas. "Mau cek cctv Indomaret lagi rusak, katanya fotokopi sebelah ada cctv yang nyampe ke jalan raya, saya coba tanyain dulu deh."
Artha berjalan ke samping kios yang terdapat tempat fotokopi.
"Permisi."
Mbak-mbak lagi ternyata yang jaga. Responnya pun sama kagetnya dengan mbak-mbak Indomaret. Salting hebat, seperti sebuah ces-an energi sore-sore mendung gini datang makhluk yang tampan.
"Ada apa mas?" Tanya Mbak Fotokopi lembut.
"Eumm, Cctv disini nyampe jalan raya nggak?" Tanya Artha yang diangguki oleh mbaknya.
"Boleh saya lihat?" Tanyanya lagi yang mendapat anggukan kembali dengan cepat.
Artha masuk ke dalam kios fotokopi, berdiri di sebelah mbak fotokopi yang sesang mengotak-atik komputer dengan jarak yang lumayan dekat. Membuat wanita berkuncir kuda itu dilanda deg-degan parah. Wangi yang segar khas laki-laki seolah sengaja datang menyelimutinya.
"Nahkan? Saya di copet!"
Mbak fotokopi terjingkat dan seketika langsung tersadar.
"Orang yang tadi nabrak saya itu copet mbak! Duh yaudah makasih ya mbak."
"Eh? Iya mas sama-sama." Meskipun kedatangannya sedikit merepotkan dan merugikkan, Mbak fotokopi masih tetap kegirangan begitu lelaki tampan itu pergi. Merutuki diri sendiri kenapa tidak meminta nomor telepon atau foto untuk sebuah imbalan terlebih dahulu. Akhirnya hanya bisa pasrah dan menjerit tanpa suara sambil mengusap-usap pipi yang rasanya panas membara.
****