Aku sudah biasa mendengar kabar bahwa papaku selingkuh dari mama, tapi entah kenapa mama selalu saja menerimanya tanpa melakukan hal apapun selain sabar, tapi mungkin sekarang mamaku sangat kesal hingga bicara ingin cerai. Aku sangat lelah hari ini, ditambah masalah itu. Ingin sekali menemui Baskara dan menangis sejadi-jadinya agar hati ini sedikit lega.
"Kak Mysha," suara Devan dari balik pintu kamarku.
"Masuk aja," suruhku.
Devan lalu masuk dalam kamarku.
"Kenapa kak?" Tanya Devan.
Aku sampai tak sadar kalau mata ini mengeluarkan air mata. Langsung kuusap air mataku ini yang sudah sampai ke pipi.
"Nggak papa. Ngapain Lo?" Tanyaku.
"Nggak, mama sama papa kema ya kak. Tadi setelah pulang main kok nggak ada orang dirumah."
"Papa sedang keluar, mama di kamar," jawabku singkat.
"Mama nggak ada di kamarnya."
"Mungkin dia sedang keluar bentar."
Devan lalu pergi meninggalkanku, entah mungkin ke kamarnya. Dan mama, mungkin dia ingin sendiri dulu untuk menenangkan hatinya.
Malam itu, aku melihat papaku baru saja pulang entah darimana. Aku sengaja duduk di depan rumah. Devan sudah terlelap tidur.
"Ngapain sha malam-malam diluar, nggak baik anak cewe," ucapnya sambil jalan menuju arahku.
"Terserah gue dong!" Ucapku dengan kesal.
"Bilang apa barusan?!" Ucap papa dengan nada tak kalah tinggi denganku.
Papa menamparku malam itu, baru kali ini melihat dia sangat marah padaku. Tamparan tangan papa jelas terasa sakit oleh pipiku. Tamparan itu berbeda dengan yang dilakukan Reyhan hari itu kepadaku, ini rasanya sangat sakit. Hatiku sakit ditampar oleh papa sendiri.
"Biacara sama orang tua itu yang sopan!" Bentaknya sekali lagi.
Aku tidak kuat menahan air mata ini. Langsung aku naik ke kamar mengambil jaket kulit milikku dan pergi meninggalkan rumah begitu saja. Papa sempat melarang ku tapi aku lari secepatnya, dia juga tidak membuntutiku. Mungkin dia tidak peduli padaku.
Ingin rasanya pergi ke rumah baskara, tapi itu terlalu jauh untuk aku yang berjalan kaki. Di tengah jalan ada gerombolan anak geng motor. Mataku tertuju pada logo jaket mereke, cakrawala. Tulisan itu, kata itu sangat tidak asing bagiku. Aku lewat mereka biasa saja tanpa takut sedikitpun.
"Woii cewekk," ucap salah satu diantara mereka.
Aku sangat geli mendengar ucapan itu. Aku terus melanjutkan langkahku.
"Sombong banget sih Lo," ucap anak tadi dengan menarik jaketku.
Aku hanya tetap diam, takut jika bicara nanti mereka tambah emosi. Saat anak yang tadi berusaha mendekatiku, kepalan tangan seseorang telah memukul anak tadi. Aku sangat kaget dan langsung berlari. Aku melihat kejadian itu dari jauh, seperti tidak asing tubuhnya. Mereka para anak geng motor itu lalu pergi meninggalkan seseorang yang membantuku tadi. Lalu aku menghampirinya berniat untuk mengucapkan terima kasih.
"Makasih ya, sory lo jadi ikut campur urusan gue nih," ucapku.
Dia menoleh kearahku dan ternyata Andra.
"Kak Andra?" Ucapku lirih masih tidak percaya bahwa dia yang membantuku tadi.
Dia tidak menjawabnya, ada sedikit tawa yang bisa kulihat dari bibirnya.
"Kok ketawa sih?" Tanyaku.
"Nggak, lucu aja lo panggil gue kak Andra."
"Ya kan lo kakak kelas gue eh maksudnya anda kakak kelas saya," jawabku dengan senyum tipis.
"Manis."
"Apanya kak?"
"Nggak papa."
Aku tidak paham apa yang barusan kak Andra bilang, mungkin dia hanya salah bicara.
"Lo sekarang mau ke mana?" Tanya Andra.
"Bingung ini kak," jawabku.
"Udah deh panggil Andra aja, susah amat."
Aku hanya menganggukan kepala.
"Kok bingung sih mau kemana? Gue anter lo pulang ya?"
"Nggak usah Ndra, gue bisa sendiri kok."
"Yakin?"
"Iya, lo mau kemana?"
"Rumah sakit, menemani Tasya."
"Dia sakit?"
"Biasa, yaudah hati-hati dijalan kalau nggak mau dianterin, gue jalan dulu."
Aku mengangguk. Andra menaiki motor ninjanya lalu pergi. Aku yang masih bingung mau kemana akhirnya menemukan jalan akhir.
Hari ini aku bermalaman di rumah Rere. Tidak terlalu jauh dari rumahku. Rere tinggal hanya bersama ibunya, tante Minah, ayahnya sudah meninggal sejak dia masih kecil. Ibunya seorang pembantu rumah tangga dan selalu berkehidupan sederhana.Mereka terlihat tidak terganggu dengan kedatanganku.
"Di sini anggap aja seperti rumah sendiri nak," ucap Tante Minah dengan senyuman elegan ciri khas beliau.
"Iya Tante."
Tante Minah meninggalkan aku dan Rere di kamar Rere.
"Lo kenapa, nangis?" Tanya Rere.
Akhirnya aku menceritakan semua kejadian tadi, tentang keluarga, tentang dijalan juga.
"Yaudah besok kita selidiki siapa selingkuhan papa lo itu, "
"Gue besok nggak sekolah dulu deh."
"Yaudah, nungguin rumah gue aja takut nanti rumah ini di ambil semut."
"Lah kan besok libur."
"Oh iyya."
Percakapan tadi berhasil membuatku tertawa lepas dan sedikit lupa masalah rumah.
Pagi ini aku bangun pagi, mungkin malu ya jika sudah tidur dirumah orang terus bangunnya juga siang hahaha. Aku membantu Tante Minah dan Rere menyiapkan sarapan untuk kita.
"Rere, kamu malah jadi bantuin kita sih," ucap Tante Minah.
"Iya Tante, maaf ya ngrepotin."
"Nggak kok, malah jadi rame kan kita ini bertiga, biasanya hanya berdua sangat sepi kan Re."
"Iya Bu, yaudah yuk kita sarapan."
Kami bertiga akhirnya makan makanan yang telah disiapkan tadi.
"Tante kerja dimana sih?" Tanyaku.
"Itu Tante kejanya bersih-bersih rumah kepala sekolah kalian "
"Mamanya Andra?"
"Iya, ibu gue kerja disana," ucap Rere.
Jantungku langsung berdetak kencang, entah kenapa akhir-akhir ini mendengar kabar tentang Orang-orang disekitar Andra selalu begitu. Aku lalu diam tanpa bicara sepatah katapun.
Tante Minah berpamitan untuk pergi kerja. Tinggalah kami berdua di rumah ini.
"Sha, kemarin gue lihat Tasya sama lo, ngapain dia?"
"Ini gue mau cerita ya Re, masa aneh banget sih dia itu cuma bilang kalau Andra anaknya baik terus udah pergi begitu aja."
"Beneran sha?"
"Iya, eh gue mau tanya nih, emang kak Tasya sakit ya, gue kemarin ketemu sama Andra terus dia bilang mau ke rumah sakit nemenin Tasya gitu sih bilangnya."
"Nggak tau juga sih gue kalau itu."
"Oh, eh Re omongan Lo kemarin itu salah besar, kak Tasya nggak seperti yang lo omongin. Dia itu ramah, terus ngomongnya halus feminim bgt ya dia."
"Iyya kan nggak kaya lo."
"Dasar."
"Apaan?"
Aku sudah mengakhiri percakapan yang sangat tidak bermutu tadi. Aku pergi ke toilet sebentar karena dari kemarin aku tidak buang air kecil. Saat masih di toilet, suara cempreng Rere terdengar samar dari jauh, ada nama Andra di perkataan dia. Aku langsung bergegas masuk dalam kamar Rere.
"Sha, gue kan udah bilang ya, lo nggak usah deh berhubungan sama Andra! Ini punya nomor WhatsApp nya lagi."
"Gue juga nggak tau dia dapet dari mana, tapi kan gue nggak ngrespon dia sama sekali."
"Bagus sih, lo harus diemin aja."
"Iya. Eh Re semalam dia nolongin gue dari anak geng motor yang dijaketnya ada tulisan cakrawala."
"Dia siapa? Andra?"
"Iya."
"Lah dia kan ketua Cakrawala gimana sih, paling nih dia cuma mau kelihatan baik aja di depan Lo Sha."
"Maksudnya?"
"Udah deh nggak usah bahas itu, kita jadi cari bukti papa lo selingkuh nggak?"
Aku yang belum sempat menjawab ucapan itu, pintu rumah Rere berbunyi, seperti ada yang mengetuk pintu. Rere langsung bergegas pergi keluar kamar untuk membukakan pintu rumah. Setelah dibuka pintu rumah, aku melihat anak laki-laki menggunakan jaket kulit berwarna hitam dari kejauhan. Anak itu mengobrol dengan Rere.
"Sha, ini ada yang nyariin lo," suara Rere dari pintu.
Aku yang masih penasaran siapa anak itu, bergegas pergi mendekati Rere.
"Baskara?"
"Iya ini gue, pulang yuk kasian mama lo nangis dari tadi."
"Gue pengen di sini Bas."
"Egois banget sih lo, yuk buruan pulang," ucap Baskara dengan berjalan menuju motornya.
Aku memandangi Rere, dia pun sebaliknya. Aku akhirnya menuruti saja ucapan Baskara. Memboncengnya dan pulang ke rumah.
Aku dan Baskara telah sampai di rumah. Di sana ada Mama, Papa, dan Devan yang sedang menonton acara TV. Kelihatan seperti keluarga yang sangat harmonis, seolah tidak terjadi apa-apa diantara mereka. Aku dan Baskara duduk bersama mereka.
"Mysha ke kamar dulu," ucapku lirih.
"Lo duduk aja dulu sini," balas Baskara sambil mempertahankan ku agar tetap di ruang ini.
"Iya sha. Kamu kemarin tidur dimana? Rumah Rere ya? Nggak papa kami tidak marah kok," ucap papaku seperti orang yang tidak ada dosa sama sekali.
Aku tidak menjawabnya sama sekali. Aku mengajak Baskara pergi ke taman belakang, kemudian kita pergi meninggalkan mereka bertiga yang kelihatan sangat harmonis.
"Lo sabar ya sha," ucap Baskara tiba-tiba.
"Lo tau masalah mereka?" Tanyaku.
"Tau lah. Mungkin Mama dan Papa lo punya masalah yang tidak harus kita tau."
"Tapi Bas, gue ini seorang perempuan. Gue ngerasain gimana jadi mama, sakit Bas."
"Tapi lo juga nggak tau kan gimana rasanya jadi papa lo?"
"Ya nggak lah, mungkin sekarang ini dia sangat bahagia."
"Lo nggak tau aja Sha."
"Nggak tau apa?"
"Udah deh nggak usah lo pikirin itu urusan untuk orang tua, tugas kita kan belajar."
"Tapi Bas, ini masalah hati. Lo nggak paham deh apa yang dirasakan Mama gue."
"Ya emang gue nggak bisa ngrasain, kan gue bukan Mama lo, lucu lo haha."
"Tau ah, dasar nyebelin."
"Gue nyebelin cuma kata lo ya sha, banyak cewek disana yang bilang gue ini ngangenin nggak nyebelin hahaha."
"Dasar brengsek."
"Terserah Lo sih, yang pasti sekarang mana jaket gue? Balikin!"
Gue baru kepikiran jaket punya Baskara, sekarang ada di Andra.
"Emmm bentar deh Bas, gue cariin dulu ya." (Mampus nih gue)
"Loh kok muka lo panik Sha? Sebenarnya gue tau. Jaket gue lo pinjemin ke Andra kan?"
"Sory banget ya Bas."
"Iya nggak papa, gue tau kok."
Andra lalu pergi meninggalkanku ditaman sendiri.
Malam itu aku baru saja pergi dari taman, sejak sore tadi ngobrol dengan Baskara, aku belum berdiri dari tempat dudukku. Aku melihat Mama, Papa, dan Devan sedang duduk di meja makan.
"Sha ini makan dulu, kamu dari tadi sore belum makan," ucap mama.
Aku menuruti ucapan mama dan langsung mengambil kursi untuk di dudukinya.
"Baskara mana ma?" Tanyaku.
"Udah pulang kan dari tadi, emang nggak bilang?"
"Enggak tuh."
Aku masih kesal dengan muka Papa, melihat saja aku sudah tidak mau untuk kali ini.
"Devan kamu sudah yang makan? Kalau sudah pergi lah ke kamar kamu untuk belajar," ucap papaku.
Entah kenapa dia menuruti ucapan Papa barusan. Dia langsung melangkahkan kaki menuju kamar miliknya.
"Sha, kamu tidak boleh cerita masalah Mama dan Papa kamu dengan siapa saja, ya kan ma? Keluarga kita harus terlihat harmonis. Bagaimanapun keluarga kita harus terlihat selalu harmonis agar kerjasama perusahaan Papa dengan Perusahaan lain terjalin bagus. Sekarang ini keluarga juga dinilai dalam kerja sama perusahaan." Ucap Papa.
"Kalau gitu kan harusnya Papa dong yang menjaga keluarga kita agar nggak berantakan," ucapku dengan kesal.
"Turuti saja perkataan Papa!" Bentaknya.
Tidak bisa menahan air mata ini, aku langsung berlari menuju kamarku. Secara tak sadar, diam-diam mamaku mengikuti dari arah belakangku.
"Sha boleh mama masuk?"
"Masuk aja ma, pintunya nggak Mysha kunci."
"Sudahlah jangan menangis, janganlah benci kepada Papamu itu, ini semua salah keluarga mama."
"Maksudnya?"
"Dari dulu Papamu tidak mencintai Mama, dia dipaksa nikah sama Mama oleh keluarga Mama. Saat Papamu menikah dengan mama dia masih memiliki pacar. Saat itu mama sangat cinta dengan papa sampai Mama rela ngelakuin apa saja demi mendapatkan Papamu itu. Papamu dulu anak orang yang tidak mampu, dan Mama anak satu satunya dari nenek dan kakek kamu, lalu Mama selalu dimanja apa yang ingin Mama miliki pasti diturutin sama kakekmu itu, hingga suatu hari keluarga Papamu itu mempunyai hutang ratusan juta. Dan akhirnya hutang itu dibayarkan kakekmu dengan syarat Papa harus menikahi Mama."
Aku tidak bisa menjawab apa-apa, tidak menduga kejadian dulu seperti itu. Aku hanya bisa menangis, tidak tau ingin menyalahkan siapa.
"Mama tau siapa selingkuhan Papa?"
"Tau lah, kamu juga pasti kenal orangnya. Tapi Mama nggak bisa kasih tau kamu. Sekarang kamu turuti ucapan Mama ya untuk menghormati Papa dan juga menyayangi mama. Maafkan kami berdua, gara-gara kami kamu dan Devan yang merasakan sakitnya. Jangan terlalu dipikir ya, biar Mama saja yang merasakannya sekarang. Mungkin Mama baru saja mendapat karmanya. Ya sudah kamu istirahat ya, janji sama Mama untuk tidak memikirkan hal ini lagi dan menghormati Papamu itu, selamat tidur sayang."
Mama pergi dan menutup pintu kamarku. Aku tak habis pikir kenapa masalahnya seperti itu. Masih terpikir dalam otakku siapa orang yang menjadi selingkuhan papaku ini. Aku mengenalnya? Ah terlalu banyak pikiran dalam pikiranku ini belum lagi soal jaket Baskara yang sekarang sedang di tangan Andra, aku baru saja mengingat itu. Aku langsung bergegas mencari HPku untuk menanyakan Andra soal jaket.
Aku membuka WhatsApp, disana ada nomor yang belum ku simpan nomornya yang baru saja mengirim chat ke nomor WhatsAppku. Itu Andra, dia menanyakan kabar. Tanpa menjawab chat dari kemarin aku langsung menanyakan jaket Baskara.
Laksamana Andra : (apa kabar?)
Mysha Carelya : (Ndra, jaket gue masih di elo?)
Aku meletakkan hpku diatas meja dekat kasur itu. Aku meninggalkannya untuk sholat isya. Tanpa disadari aku terlelap dalam tidur.