Chereads / Panakkukang (Cour 1) / Chapter 21 - - Menjadi Bangsawan

Chapter 21 - - Menjadi Bangsawan

Sudah 10 hari berlalu semenjak mereka semua bertolak dari Palopo, Temmalara yang bertugas untuk menjadi sipir penjara hanya melamun memandangi parang yang ia dapat semenjak menghabisi Kapten Pemberontak itu.

La Runggu di hadapan Dewan Wanua Tosora menceritakan secara rinci apa yang dilakukan olehnya dan apa yang diperbuat Unit 5 Totinco kepadanya. Di hadapan semua orang, Bangsawan itu mencoba melakukan pembelaan diri. Terutama dengan alasan karena ia diserang terlebih dahulu oleh guna-guna sihir kiriman Ayahnya.

Dewan Wanua tetap pada keputusan awalnya yaitu menjatuhkan hukuman qishas. Salah satu dari keputusan Dewan sebelum persidangan selesai adalah menetapkan seluruh harta, tanah, properti dan usaha lain yang dimiliki oleh La Besi akan diwariskan sesuai tuntunan ilmu faraid (bagi waris).

"Kenapa kau memandangi terus parangmu," tanya Runggu tersenyum sinis.

"Heh... andai kau mengaku lebih cepat tidak akan kami siksa. Yah meskipun Paman tahu nyawa dibalas dengan nyawa,"

"Kau lebih buruk daripada aku bocah. Lihat hidung ini... apakah ini yang diperbuat oleh penegak keadilan?" balas Runggu sambil menunjuk-nunjuk hidungnya yang sudah tak ada lagi.

"Hebat Kakak Ujung bisa membuat Paman jadi lebih tampan haha," sahut Temmalara sambil menunjuk ke arah hidungnya.

"Dasar kurang ajar mana rasa kasihanmu! apa salahku!?" teriak Runggu mulai histeris.

Eksekusi mati akan dilaksanakan esok tengah hari. Sebelum berangkat bertugas, Karassa memberitahunya bahwa yang akan menjadi algojo nanti adalah Temmalara sendiri. Tugas yang akan ia emban nanti bukanlah hal yang mudah untuk dilakukannya.

--

"Bocah sudah waktunya! bersiaplah kau ke tempat eksekusi!" seru Prajurit Wajo menghampirinya yang sedang duduk termenung.

"Dimengerti," balas Temmalara, tidak lama kemudian ia berdiri mengusap keringat di wajahnya.

Seperti yang di jadwalkan oleh Markas, eksekusi mati akan dilakukan siang itu. Temmalara memakai karung beras yang dilubangi kecil untuk menutupi wajahnya. Meskipun setelah subuh parang itu sudah diasahnya, parang itu diasah lagi sebelum berangkat tempat eksekusi.

Sekalipun berusaha sekuat tenaga untuk meneguhkan hatinya, berbagai macam perasaan tetap bercampur aduk menjadi satu. Kata-kata yang dilontarkan Runggu kemarin, saat ini seakan-akan seperti menghujam hatinya dengan belati. 

Kini Runggu telah tersungkur siap untuk dipenggal kapan saja. Warga Tosora beramai-ramai datang ke panggung eksekusi. Para Prajurit disana yang sudah berjaga dari tadi kewalahan menahan desakan warga yang penasaran ingin melihat.

"Boleh lihat! boleh lihat! yang tertib jangan berbuat rusuh! hoy Unit Kayubesi Tosora hari ini tolong bantu kami Unit 5 Totinco!" teriak Ujung menyilangkan tombaknya dengan Data.

"Sialan mereka malah pura-pura tidak tahu!cepat yang di belakang tolong panggilkan yang berjaga-jaga ditempat lain!" sahut Data.

Warga semakin ramai dan antusias, bahkan ada yang melempari Runggu dengan telur ataupun batu. 

"Mati kau anak durhaka!" teriak yang melempar telur.

"Penggal!"

"Bunuh!"

Melihat keadaan yang semakin tidak terkendali, Karassa yang baru saja dipanggil oleh bawahannya mulai naik ke atas panggung.

"Hoy Temmalara! kenapa kau hanya berjalan cepat ke sini!" teriak Karassa

"Baik!" sahut Temmalara mulai berlari.

Meski wajah Temmalara tertutup oleh karung beras, Karassa seakan tahu raut wajah apa yang terlukis dibalik topeng algojo itu. Sekalipun ia daatang terlambat, Karassa hanya tersenyum seraya menepuk pundaknya.

"Ini pasti pertama kalinya bagimu... namun lihat kita harus cepat. Kuatkanlah hatimu! memang sudah kewajiban kita sebagai Abdi Wajo! bersiaplah!" timpal Karassa.

"Ya terima kasih Kapten," balas Temmalara.

"Sebelum kita mulai penghukuman! dengarkan aku!" teriak Karassa, melirik ke arah warga.

Dengan tangan dan kaki yang bergetar, Temmalara perlahan menghampiri Runggu dan mengarahkan parangnya. Karassa memberikan Temmalara isyarat dengan tangan untuk tidak memenggalnya sebelum ia memberi aba-aba.

"La Runggu Bangsawan yang tega membunuh ayahnya sendiri! kalian lihat adalah hukuman untuk yang membunuh. Tidak ada toleransi! bahkan kalau ia lari ke Luwu atau meminta perlindungan Sultan Hasanudin sekalipun akan kami kejar. Wajo aman ditangan prajurit kita! sekarang saksikanlah!" teriak Karassa kepada warga, sekaligus memberikan aba-aba kepada Temmalara.

Uuuooohhh!

Srat

Darah menyembur keluar dengan derasnya membasahi panggung. Kepalanya telah jatuh terpisah dari tubuhnya. Seketika tubuh Temmalara bergetar lalu muntah di tempat. Ia seakan tidak percaya dengan apa yang dilakukannya barusan sementara Warga yang menyaksikan bersorak kegirangan. 

Keadilan telah ditegakkan di Tanah Wajo, meski pelaku pembunuhan dari kalangan bangsawan sekalipun. Berita eksekusi ini menyebar sangat cepat, bahkan sampai keluar Wajo. Banyak reaksi beragam yang timbul diakibatkan eksekusi tersebut apalagi yang dieksekusi adalah Bangsawan Tinggi.

--

Beberapa hari telah berlalu sejak eksekusi itu. Temmalara yang saat ini sedang memeriksa barang dagangan di gerbang Tosora tidam menyangka harus menghadap Arung Matoa Wajo dalam pertemuannya nanti.

"Bapak petani kita selalu beruntung haha!" sahut Data.

"Aku tunggu di sini kau cepat pulang pakai pakaian terbaikmu. Jangan sampai kau mengecewakan Arung Matoa bocah," sahut Penyampai Pesan itu.

"Baik!" balas Temmalara.

Meskipun dianggap kurang sopan jika tidak mengundang Arung Pattapoloe (40 Raja Wanua Wajo) dan Petta Wajoe (7 Dewan tertinggi, dipilih dari 40 Raja terbaik), Tenrilai tidak mempedulikannya karena pertemuan nanti hanya akan membahas tentang Kota Tosora kedepannya.

Musyawarah ini hanya akan dihadiri oleh Arung Tosora beserta Punggawa dan Orang Kaya dari Kota itu. Temmalara adalah salah satu yang beruntung mendapatkan undangan itu secara langsung oleh Arung Wajo.

--

Memakai pakaian terbaik yang kemarin dibelinya dari pasar, Ia mengikuti Penyampai Pesan itu menghadap Arung di kediamannya.

Para Pengawal siap sedia berjaga dengan badik yang tersarung dan perisai yang bergambar harimau, lambang kebesaran Wajo. Di atas pepohonan, terdapat para pemanah yang matanya awas mengamati setiap gerak gerik para pengunjung termasuk Temmalara.

Perlahan menaiki tangga, Temmalara dengan sopan menunduk dan menaruh sendalnya di rak. Ia masuk ke tempat pertemuan dan duduk bersama yang lainnya. Sembari menunggu gilirannya untuk dipanggil, ia mendengarkan dengan seksama isi musyawarahnya.

Arung Wajo terlihat sangat menghargai saran yang disampaikan sekalipun dari Rakyat Jelata yang diundangnya.

"Puli Temmalara, Prajurit Infatri Wajo dari Unit 5 Totinco! segera menghadap Arung!"

"Baik," ucap Temmalara.

Secara perlahan Temmalara yang berada di belakang, maju ke depan dan duduk di tengah-tengah. Detak Jantungnya berdetak sangat cepat, keringat dingin mulai mengalir dari kepalanya.

"Kau pasti Temmalara yang sama yang membunuh Kapten Pemberontak sisa pengikut Tobala itu," ujar Tenrilai.

"Benar Yang Mulia, Hamba adalah Temmalara mantan Kelompok Tentara Bayaran Gagak Hitam."

"Kau cepat kemari, untuk yang ini biar aku yang bacakan," sahut Tenrilai melirik Penyampai Pesannya.

"Baik yang mulia!"

"Temmalara mulai sekarang secara resmi kau adalah Bangsawan Bugis berdarah putih khususnya Bugis Wajo. Tingkat kebangsawananmu adalah Bangsawan Rendah. Mulai sekarang kau adalah La Puli Temmalara. Kau akan mendapatkan 1 properti baru di Wanua Kera, 1 Budak perempuan yang harus kau persunting dan kenaikan pangkat dari Prajurit ke Letnan."

Temmalara begitu terkejut mendengarnya, ia tidak pernah menyangka karirnya akan menanjak secepat ini.

"Ini adalah hadiah karena kau telah berhasil mengembalikan kepercayaan masyarakat. Sebagai apresiasi Wajo atas aksi heroik kalian, Anggota Unit 5 yang terlibat dalam pengejaran La Runggu juga akan diberikan ganjaran yang sesuai."

"Dengan senang hati yang mulia, tapi... untuk gelar Bangsawan aku tidak bisa menerimanya. Maafkan aku baginda," ucap Temmalara.

"Mengapa? aku jadi penasaran, sementara yang lain berjuang mati-matian untuk mendapatkan gelar itu," tanya Tenrilai keheranan.

"Karena aku masih menaruh dendam..."

"Lancangnya!" Sanggah seorang Pengawal.

"Tenang kalian! menarik juga silahkan engkau jabarkan alasannya Anak Petani." balas Tenrilai dengan santai sambil tersenyum sedikit

"Yang Mulia, Saat Kakaku terbunuh kemana para bangsawan Prajurit Gowa? Itulah kenapa..."

"Gowa ya Gowa, Wajo ya Wajo! kau ini bodoh dan lancang sekali. Yang Mulia kita potong saja lidahnya!" teriak salah seorang Punggawa.

"Saat ini kalian semua adalah Vasal Gowa jadi kalian adalah bagian dari Gowa. Lagipula semua bangsawan dimana-mana sama saja. Yang Mulia aku mohon kebijaksanaanmu, aku tidak bisa menerima gelar bangsawan karena pengalaman masa lalu yang kelam. Mau itu di Wajo ataupun Gowa atau bahkan Luwu aku... untuk saat ini aku belum bisa," ujar Temmalara.

"Jujur aku senang dengan sifatmu yang terus terang. Aku telah mendengar semuanya tentangmu dari Karassa, Kaptenmu itu adalah sepupuku. Dia membujukku untuk menaikkan pangkatmu. Biasanya Bate Lompo di Markas yang mengurusi hal ini, tapi aku penasaran ingin mengetahui talenta yang terpendam itu."

"Maafkan kelancanganku yang mulia, Hamba hanya mengutarakan pendapat dari lubuk hati yang paling dalam," ujar Temmalara menunduk. 

"Kau tahu Tenrilai hanya orang yang puas ketika melihat hasil yang memuaskan. Penilaianku terhadapmu terlampau tinggi, jika kau gagal memenuhi harapanmu maka kepalamu yang akan melayang nanti. Apa kau mengerti!? aku menantikan perkembanganmu kedepannya Anak Petani!" bentak Tenrilai.

"Baik Yang Mulia! Hamba tidak akan mengecewakan paduka karaeng!" ujar Temmalara.

"Akan kutunggu pembuktian ucapanmu, Letnan." balas Tenrilai.

--

Beberapa hari berlalu semenjak pertemuan dengan Arung Matoa Wajo. Temmalara seakan masih tidak percaya bahwa dirinya saat ini adalah seorang Letnan dan telah memiliki 2 properti di Tosora dan Kera.

Pagi ini Temmalara mengumpulkan siapa saja yang akan menjadi bawahannya. Ia menjadi Letnan sekaligus salah satu Wakil Pimpinan Unit 5 Totinco.

"Aku adalah Letnan baru kalian namaku Puli Temmalara. Mau Yang Muda ataupun Yang Tua semuanyaadalah Keluarga. Keluarga hanya akan kuat jika kepalanya kuat dan anak-anaknya mudah dikendalikan. Rewako Wajo!" teriak Temmalara seraya menghentakan kakinya.

"Haha salah Letnan bukan rewako tapi yang benar Ewako!" celetuk Data.

"Jangan dengki Data kita harus bergembira dengan keberhasilan Letnan. Istrinya di Rumah pasti senang," ujar Ujung.

Hoooo!

"Ewako! hidup Letnan!" teriak yang lain.

"Ewako Wajo!" teriak Temmalara menaikkan parangnya.

Uuuooohhh!

"Kau lumayan juga bisa menyemangati pasukan. Meskipun masih amatiran dan kekanak-kanakan sedikit. Intinya mulai saat ini tingkatkan kemampuanmu. Oh ya kudengar ingin mempersunting Istri baru ya?"

"Hah... Kapten," jawab Temmalara terheran-heran.

"Raut wajahmu kenapa Kapten hanya bercanda jangan dibawa serius. Kau seumur anakku tapi sudah bisa memimpin kami yang sepadan dengan Ayahmu haha!" sahut salah seorang Prajurit menepuk pundaknya.

"Terima kasih Paman..."

"Mana keberanianmu saat berbicara di depan pasukan tadi, harusnya kau tunjukan lagi!" sahut Karassa ikut menepuk pundaknya.

Temmalara mulai belajar cara mengatur pasukan dan pembagian tugas, ia membagi pasukannya menjadi 5 kelompok yang berisikan 10 orang. Tugas tiap kelompok tetap sama seperti sebelum ia menjabat.

Dalam melaksanakan tugasnya, Temmalara secara pribadi dibantu oleh Data dan Ujung. Seperti yang tertera di jadwal, setelah ramai-ramai berkumpul tadi mereka berpatroli di Persawahan La Besi yang telah jatuh ke tangan Saudara Perempuannya yang tinggal di Totinco.

"Heh lucu si Bibi itu yang mendapatkan sawah ini sekarang," ujar Ujung tidak lama setelahnya ia menguap karena cuaca mulai mendung.

"Benar karena itu Kakak Data dan Kakak Ujung maafkan aku karena selama ini terus menghina bangsawan. Kemarin waktu aku bersama Kakak Ujung dan bertemu dengan nyonya saudarinya, aku tak sengaja menatap tatapan pembantunya secara sekilas. Harta dan jabatanku telah bertambah kalau aku menghina kaum bangsawan sama saja aku meludahi diriku sendiri," ujar Temmalara.

"Kami berdua juga minta maaf karena sejujurnya kami terlalu merendahkan rakyat jelata. Kami sadar bahwa seharusnya kami bersyukur kepada Allah dan memperbanyak ibadah karena rezeki lebih. Kata-katamu menyadarkan kami, tanpa jerih payah dan pengorban mereka kita tidak ada apa-apanya. Betul tidak Ujung?"

"Intinya kita secara resmi harus saling bermaafan. Tidak baik sesama sahabat terus bertengkar. Bagaimana ayo kita tos agar tidak ada dusta diantara kita." 

Plek!

Plek!

Plek! 

"Tidak ada dusta diantara kita!" jawab mereka bertiga serempak.

"Tu..tuan! ano... kau Tuan Temmalara ya kan?" tanya seorang gadis cantik namun berpakaian lusuh.

"Hah!?" serentak mereka bertiga kebingungan.

"Hoy bocah! ini budak belum diambil juga. Mentang-mentang kau sekarang Letnan, kau melalaikan tanggung jawabmu!" bentak Penyampai Pesan itu.

"Maaf Paman lupa," ujar Temmalara. 

"Mudah sekali bilang maaf dasar bocah otak udang. Aku heran kenapa malah kau yang jadi Letnan, sudah urus budakmu itu!" balasnya pergi meninggalkan mereka.

"Ujung sepertinya sahabat kita si bocah petani ini..." sahut Data.

"Mantap!" teriak Ujung.

Untuk hari ini Temmalara memutuskan untuk pulang lebih awal. Gadis yang nampak kebingungan itu mengikutinya dari belakang.