Ketika matahari mulai menampakan sinarnya, Kirara yang tadi malam menginap di Rumah Ayahnya kembali lagi ke Kediaman Temmalara. Gadis itu ingin berbicara empat mata dengan Tuannya. Tanpa diketahuinya, Temmalara dan Anakbatu telah pergi meninggalkan Tosora.
Mereka berdua sengaja melakukannya agar Mario dan Kirara bisa saling mengenal lebih baik sebelum menapaki jenjang pernikahan.
*Tok* *Tok* *Tok*
Tangannya pegal mengetuk dari tadi, sepertinya Temmalara sudah berangkat bekerja. Kirara tidak dapat menahan perasaanya, terduduk lemas menundukan kepalanya. Mario segera menyusul Kirara ketika diberi tahu oleh Ujung dan Data yang sempat melihat Gadis itu saat menyapanya di Pasar tadi.
"Kirara... kenapa kau pergi sendirian? meskipun ada Tentara yang berjaga-jaga tapi tetap saja kau itu Perempuan. Tidak baik kalau..."
"Aku tidak peduli kemana Temmalara! apa mereka melihatnya," sanggahnya.
"Temmalara lagi dan lagi, kau sama sekali tidak pernah memikirkan... hah maaf. Kirara mengapa kau tidak bisa berhenti memikirkannya sekejap saja. Sadarlah dia punya tanggungan Anak dan Istri. Asal kau tahu dari awal dia hanya menganggapmu sebagai beban. Kenapa kau mencintai orang yang tidak bisa bertanggung jawab. Ada aku disini bersamamu... aku berjanji akan membuatmu bahagia."
"Aku hanya ingin sekali saja membuat kenangan indah yang tidak terlupakan bersamanya... kenapa," sahut Kirara meneteskan air matanya.
"Pantang pisang berbuah dua kali, pantang seorang Pemuda makan sisa, Itu pesan Temmalara kemarin sebelum pulang ke Somba Opu. Orang itu terlalu baik dan rendah hati, saat ia mendapatkan kesenangan ia tidak pernah lupa memikirkan temannya. Kirara engkau adalah salah satu temannya, janganlah bersedih ya," ujar Mario melempar senyum kepada.
"Padahal aku mencintainya..." balas Kirara sendu.
--
Dengan menyewa jasa kuda cepat, perjalanan dari Tosora ke Somba Opu hanya memakan waktu 2 hari perjalanan. Sepanjang jalan, Temmalara banyak merenung. Pemuda itu mengingat-ngingat pengalaman hidupnya sejak kecil di Bantaeng hingga menjadi Letnan Tentara Wajo.
Perlahan ia sadari, kekosongan hati yang selama ini membuatnya merasa sesak di dada mulai terisi. Muncul keinginan baru di hatinya untuk mencari sembilan saudaranya yang dijual sebagai Budak.
Bahkan setelah sampai di Rumahnya, pikiran Temmalara masih melayang-layang. Anakbatu merasa jengah dengan sikapnya 2 hari belakangan. Melihat temannya seperti itu, ia pun tersenyum sinis dan menginjak kaki Temmalara.
"Sakit dasar sialan!" bentak Temmalara.
"Kakak ini bukannya mengetuk pintu malah melamun, awas Kakak nanti kesurupan," balas Anakbatu.
"Oh ya Anakbatu kau tahu sesuatu tentang Saudaraku? kau bisa bantu aku carikan Saudaraku dijual menjadi budak?" tanya Temmalara menepuk pundaknya.
"Haha hanya itu Kakak? mudah bagiku jangan remehkan jaringan informasi si pengemis terhebat di Somba Opu! aku punya banyak kenalan yang mengerti masalah perbudakan. Kalau perlu Pak Letnan akan kukerahkan semua pengemis untuk mencari keberadaan saudaramu, tapi Kakak tahu sendiri tidak ada makan siang gratis." jawab Anakbatu seraya mengacung kedua jempolnya.
"Sudahlah Anakbatu tidak usah kau mendayu-dayu seperti Pujangga Melayu aku tahu apa yang kau inginkan."
"Setiap hari kemampuanmu semakin tajam saja ya Letnan."
Setelah memberitahukan kepada Anakbatu semua informasi Saudaranya secara rinci, Temannya itu pamit meninggalkan Temmalara. Anakbatu akan pergi mengemis lagi sekaligus mencari keberadaan saudara Temmalara.
--
*Tok* *Tok* *Tok*
"Assalamualaikum, Istriku aku pulang," ujar Temmalara.
"Waalaikumsalam, Temmalara... Bu Sofiya terus menerus menagih uang bulanan Rumah ini. Daeng Luar Benteng juga menagih pajak," ucap Witta setelah membukakan pintu.
"Tenang saja Witta kau lihat ini, gajiku sebagai Letnan Wajo 28 dirham. Aku pakai 2 dirham untuk jasa kuda dan makanan. Aku juga mendapatkan 2 properti rumah di Wajo!" seru Temmalara dengan bangga.
"Wah berarti kita bisa pindah dari Rumah sialan ini! bahagianya..." sahut Witta spontan memeluk Suaminya.
"Ah tidak kau tetap di sini di Tanah leluhur kita Makassar. Ya kau tahu sendiri Wajo itu ada norma dan hukum yang berlaku. Kita tidak bisa semaunya sendiri, kau bukan warga sana sedangkan aku sudah sah dianggap rakyat Wajo. Aku tidak ingin..."
"Alasan saja kau ini... apa jangan-jangan aku disuruh menetap di Gowa agar kau bisa selingkuh ya," ketus Witta.
"Mengurus Istri saja sudah berat apalagi main Wanita," balas Temmalara dengan wajah muram.
"Haha iya baiklah kalau aku tidak boleh menemanimu ke Wajo. Ayo masuk dulu, akan kubuatkan minuman bunga telang untuk Suamiku tercinta. Kebetulan tanaman itu sedang tumbuh di sekitar sini," ujar Witta menutup pintunya.
"Sepi tidak ada tangis Towase, Witta..."
"Jadi begini Suamiku saat kau berada di Wajo,"
"Jangan bilang Towase meninggal!" sahut Temmalara nampak khawatir.
"Alhamdulillah dia sehat-sehat saja, sebentar lagi dia bisa merangkak. Tidak seperti biasa kau mengkhawatirkannya biasanya kau tidak terlalu peduli hihi,"
"Kau ini Balita sangat rentan dengan kematian! jika terjadi sesuatu dengan Towase bagaimana nanti,"
"Kalau begitu kedepannya bagaimana Temmalara sayang?" tanya Witta.
"Oh untuk kedepannya, kita beli Rumah Panggung jelek ini lalu merubahnya menjadi Rumah Panggung mewah. Membeli sawah di sekitar sini kalau perlu dan aku akan membeli properti dan menyewa pegawai lebih banyak di Wajo. Saat ini aku belum sempat menyewakan properti milikku baik di Tosora maupun Kera. Aku mau mengurus pernikahan Mario bisa jadi si Kirara itu kabur," ujar Temmalara.
"Hah, Kirara siapa Perempuan itu?" tanya Witta.
"Jangan marah ya begini Witta dia sebenarnya adalah gundikku. Hadiah dari Arung Matoa Wajo. Aku yakin harganya pasti sangat mahal, karena dia lebih... lebih,"
"Lantas kau membebaskannya cuma-cuma kemudian dinikahkan ke Mario. Kenapa kau tega bilang Wanita itu lebih cantik," ketus Witta kesal karena suaminya bilang ada wanita yang lebih cantik.
"Hoho yang aku cintai dari dirimu bukan kecantikan tapi jiwa. Kecantikan itu akan hilang seiring waktu pada akhirnya saat kau jadi seorang Nenek," balas Temmalara.
"Tapi membebaskannya secara gratis, Temmalara apa kau sadar. Kenapa tidak dijadikan Istri saja ya... hah demi kebahagiaanmu. kau ini benar-benar unik, lalu apa dia mempunyai rasa suka terhadapmu?"
"Aku sulit menjelaskannya..."
"Terserahlah aku masih kesal karena kau bilang dia lebih cantik. Aku tidak akan kalah bersaing ingat itu," ketus Witta
--
Tanpa sepengetahuan Temmalara, Mario dan Kirara segera menyusulnya ke Somba Opu. Kirara yang sedang duduk termenung di Tangga Rumah Mario sempat melihat Pujaan Hatinya sedang lari pagi, namun Temmalara berpura-pura menyembunyikan rasa terkejutnya.
Setelah ia kembali ke Rumahnya, tiba-tiba saja ada yang mengetuk pintu. Witta yang sedang menggendong Towase membukakan pintu.
"Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam, dari bahasamu yang kacau itu kau bukan orang Makassar kan? ada urusan dengan kami?" tanya Witta dengan nada sinis, dari cerita Suaminya kemarin ia dapat menebak bahwa Gadis di hadapannya ini pastilah Kirara.
"Aku Kirara calon Istrinya yang baru, kau pasti Istri pertamanya iya kan? tahu tempatmu, Suamimu itu Bangsawan Wajo sekarang." timpal Kirara, tidak ingin kalah menatap tajam Witta.
"Oh jadi kau ya Budak Suamiku hihi... aku Witta akan selalu menjadi Wanita yang paling utama di hatinya. Sadar dirilah sedikit," ucap Witta.
"Ah sudahlah intinya apa aku boleh menemui Tuanku?" tanya Kirara.
Witta hanya diam menjawabnya akan tetapi ia masuk ke dalam lalu mendekati Temmalara yang sedang minum rebusan bunga telang.
"Budakmu jauh-jauh ke Tosora mencarimu. Kau temui dia,"
Pfftt!
"Uhuk... bagaimana bisa? kenapa dia bisa tahu secepat itu?" tanya Temmalara keheranan.
"Cepat bertanggung jawab!" bentaknya dengan kesal.
"Baik... jangan marah Witta,"
Setelah meneguk minuman itu, Temmalara keluar menemui Kirara dengan raut wajah seperti orang yang kurang tidur.
"Kau mau apa? aku tidak nyaman kalau terus dikejar seperti ini," ketus Temmalara.
"Tanggung jawab... aku juga ingin seperti pasangan lainnya punya Anak darimu," balas Kirara.
"Mengantuk bilang apa kau barusan tadi," ujarnya sambil berpura-pura menguap.
"Bohong kau barusan lari-lari, aku melihatmu tadi."
"Oh begitu ya"
"Lagi-lagi Mario itu ditolak. Ini akibatnya kalau tidak peka memahami perasaan wanita. Kirara ini juga tipe yang lumayan agresif," ketusnya dalam hati.
"Tuanku kau tidak mungkin menyesal kalau menikahiku. Aku tidak mau kalau sampai dinikahi orang seperti Mario," ujar Kirara dengan semangat.
"Kirara apa kau lupa dengan kontrak waktu itu. Kalau kau melanggar maka aku yang akan menyeret dan menjualmu ke pasar budak yang ada di Somba Opu sana!" bentak Temmalara.
"Kejam! lantas perasaanku bagaimana! apa kau tidak tahu betapa sakitnya!" balas Kirara.
"Kau itu egois memangnya kau pernah memikirkan hati Mario seperti apa! katakan padaku sekarang Kirara. Apa rasanya ditolak berkali-kali, memang ada yang harus dikorbankan! siapa yang peduli dengan perasaanmu hah. Tidak ada yang peduli, untung saja kau tidak aku jual waktu saat di Tosora kemarin. Apa kau mau aku jual..."
"Temmalara sungguh aku hanya ingin setidaknya sekali saja membuat kenangan indah bersamamu," sanggak Kirara seraya memeluknya.
"Kita sudah tidak halal lagi Kirara... maaf," ujar Temmalara melepaskan pelukan itu.
"Maaf kenapa! aku tidak peduli harus menjadi Budak lagi asalkan bisa terus bersamamu!"
"Dasar aneh!" sahut Temmalara langsung pergi dari Rumahnya.
"Baru pertama kali aku melihat perempuan mengejar lelaki sampai seperti itu. Hihi sudahlah Kirara memang dari awal hanya aku yang ada di Hati Temmalara," ujar Witta.
"Mungkin benar... rasa maluku tertutupi karena cinta," sahut Kirara.
"Sebenarnya aku tidak masalah kalau kita bersaing. Pasti berat bagi seorang lelaki, intinya kau harus bersabar."
"Padahal aku mencintainya."
"Memangnya kau saja yang mencintainya?" tanya Witta.
--
Beberapa hari kemudian, hal yang dinantikan telah tiba. Para Wali dan Saksi sudah menyaksikan ijab qabul dalam acara pernikahan itu. Rencananya walimah akan dilaksanakan pada hari itu juga.
"Bagaimana para saksi sah?" -ujar Penghulu.
"Sah!" serempak jawab mereka yang berada di Ruangan itu.
Mario dan Kirara sudah resmi menjadi suami istri. Temmalara dan Anakbatu yang menjadi saksi dalam pernikahan mereka berdua, bertepuk tangan dengan penuh kegembiraan. Inilah hari yang menyenangkan bagi semua orang.
"Kau masih ingat kan tidak ada makan siang gratis," ucap Anakbatu menepuk pundak Temmalara.
"Sabar Anakbatu budak yang cantik itu mahal. Aku harus mengumpulkan uang lebih banyak," balas Temmalara.
Tidak lama setelah ijab qabul, kedua pasangan segera naik ke atas Panggung yang telah disiapkan. Para Tamu bergantian menyalami mereka berdua satu persatu, hingga giliran Temmalara dan Anakbatu yang menyalami mereka.
"Mario kau jaga mantan selirku dengan baik. Dia Wanita tercantik yang pernah..." ujar Temmalara.
"Terima kasih Temmalara, aku... sungguh berhutang sangat banyak kepadamu." sahut Mario, tidak kuasa menahan air matanya.
"Tidak perlu dipikirkan kau itu sahabatku," balas Temmalara menepuk pundak Mario.
"Kau tahu aku lebih cantik dari Witta tapi tidak menjadikan aku Istrimu."
"Weekk," balas Temmalara meregangkan mata dan menjulurkan lidahnya.
Banyak Tamu dari Desa kelahiran Mario dan Temmalara di Bantaeng yang diundang untuk menghadiri acara. Akan tetapi saat Temmalara menanyakan perihal keberadaan Saudaranya kepada mereka. Tidak ada satu pun dari mereka yang tahu dimana keberadaan Saudaranya sekarang.
Sampai acara walimah selesai ia tidak mendapat satu pun petunjuk dimana keberadaan Saudaranya.
"Kau dari tadi kuperhatikan bersedih, jangan-jangan kau cemburu ya?" tanya Kirara, melihat Temmalara yang duduk sendirian di dekat panggung .
"Ah tidak aku memikirkan Saudaraku yang dijual sebagai budak oleh ayahku. Aku sudah menanyakan pada semua orang tapi rasanya sia-sia."
"Setahuku Tuanku yang kukenal dia pantang menyerang. Andai saja kita sudah membuat kenangan yah tapi setidaknya aku tidak akan pernah melupakan cintaku kepadamu Temmalara." balas Kirara perlahan pergi meninggalkannya.
"Haha kau ini Mario akan cemburu nanti. Pantang menyerah ya... aku tidak sekuat yang kau kira Kirara," timpalnya masih duduk termenung di tempat itu
Di hari yang seharusnya menyenangkan ini ada sesuatu yang tidak lengkap, di acara yang penting ini seharusnya semua Saudara Temmalara hadir. Setelah matahari terbenam, Letnan Wajo itu berjalan pulang ke Rumahnya.
--
Catatan: Ark Prajurit Wajo Bab 1-23 selesai. Jika masih penasaran kelanjutannya, silahkan unlock babnya di KBM.