Temmalara segera turun dari Bukit Samata sebelum semuanya gelap. Setelah shalat dengan Witta di sebuah mushala kecil, ia kembali ke Kota untuk menemui Anakbatu yang masih mengemis di tempat yang sama.
"Haha aku tidak menyangka kau mengemis sampai selarut ini," ucap Temmalara.
"Apanya yang lucu? kami pengemis juga punya semangat kerja." ketus Anakbatu.
"Kalau begitu boleh minta tolong kau antarkan istriku pulang ke rumah. Aku mau langsung pergi ke Tallo untuk membeli senjata."
"Kau ini gila ya dari tadi, di Kota ini saja banyak toko senjata."
"Tunggu dulu Sayang apa kau tidak risih Istrimu jalan dengan laki-laki lain!?" sahut Witta.
"Kalian berdua pergilah, aku mau mencari senjata yang cocok di sana. Bersiaplah Anakbatu, besok kau dan Mario kita akan ke Tosora. Siapa tau di tugas pertama nanti aku perlu bantuan kalian," ucap Temmalara kemudian perlahan meninggalkan mereka berdua.
"Hoy! tugasmu itu hanya keliling saja mengamankan kota! Istrimu ini kau tinggal!" teriak Anakbatu
"Duh... memang Temmalara orangnya seperti itu, namaku Witta. Sebelum pulang aku ingin mengambil anak yang kutitipkan di Rumah Mario," ujar Witta
"Iya namaku Anakbatu... kalau begitu ayo Kak Witta." balas Anakbatu langsung membenarkan pakaiannya dan berjalan paling depan menyalakan obornya.
--
Anakbatu terpaksa setuju mengantarkan Witta ke tempat Mario untuk menjemput Towase yang sedang dititipkan pada temannya itu.
"Assalamualaikum, Kak Mario" ucap Anakbatu.
"Waalaikumsalam" ujar Mario seraya menggendong Towase.
"Bwahaha sejak kapan kau jadi perawat bayi Mario. Gendongan bayi itu 100/100 memang terbaik untukmu!" timpal Anakbatu.
"Berbicara apa kau ini? oh ya dimana Temmalara. Kenapa dibelakangmu ada Witta? sudah ayo kita masuk dulu," balas Mario.
"Aku saja tidak tahu katanya ia mau membeli senjata terlebih dahulu ke Tallo. Besok kita juga disuruhnya ikut ke Tosora."
"Pasti pekerjaan ya baguslah kalau begitu sekarang giliranmu mengurus anaknya Temmalara." balas Mario seraya menyerahkan Towase pada Anakbatu.
"Aku ini bukan bapaknya!" ketus Anakbatu namun ia tetap menggendongnya
"Anggap saja pemanasan sebelum bekerja."
"Kalau begitu biar aku saja yang menggendongnya," sahut Witta.
"Sabar Kak Witta dia ini imut sekali rasanya sudah seperti menggendong adikku sendiri. Kalian lihat mukanya ketika tidur mirip sekali dengan Ibunya. Towase nama yang bagus, apa Kak Temmalara yang memberinya nama?" ujar Anakbatu seraya mengusap dengan pelan bayi yang baru saja diberi minyak wangi itu.
"Aku yang memberikan namanya," ucap Witta.
"Hehe Towase nama yang bagus!" spontan Anakbatu pelan mencubit pipi bayi itu.
"Seolah-olah tahu saja, memangnya kau tahu arti nama Towase?" balas Mario, melirik ke Anakbatu. Tatapan itu seakan-akan menantang dirinya.
"Ah sudahlah Kak Mario," ucap Anakbatu.
"Tenang hanya bercanda!" sahut Mario.
"Tapi aku masih tidak mengerti kenapa kelakuan Kak Temmalara seperti itu. Dia itu pemikirannya kurasa masih kekanak-kanakan."
"Hoo... baru sadar kau, aku sudah kenal dia sejak kecil. Temmalara sifatnya berbeda kalau dibandingkan yang sekarang. Sikapnya itu dingin dan sinis, seperti orang yang serius dari luar namun dari dalam ia tidak mau tahu ataupun peduli.",
"Benar katamu padahal sudah lebih dari sebulan kita berteman. Ia hampir tidak pernah berbagi pengalaman denganku."
"Pikirannya itu sepertinya masih kacau, dia itu berlagak hebat dengan menikah namun sejatinya sama sekali belum siap. Sejak aku menatap mata Temmalara setelah kejadian di Kampung kami beberapa tahun yang lalu, tidak ada keraguan lagi Anakbatu. Dari tatapannya, sudah hilang tujuan hidupnya sama seperti cangkang kerang yang kosong."
"Sebentar bukankah impian semua orang adalah menikah dan punya harta banyak?" tanya Anakbatu.
"Berbeda... kalau Pangeran Galesong tidak menolongnya saat itu aku yakin pasti dia sudah mati."
"Bukankah dia langsung meloncat dan menyelamatkan Kakak. Kurasa dia pelan-pelan sudah mulai berubah,"
"Aku melihatnya dengan kepala mataku sendiri, ia pasrah saat akan ditebas."
"Aku jadi bingung... dia itu orangnya seperti apa. Baru pertama kali aku berteman dengan orang yang memiliki kepribadian rumit."
"Memang dia menolongku sesama teman memang wajar tolong menolong. Namun saat melihat matanya, sekilas aku dapat menilai bahwa nyawaku jauh lebih berharga di daripada nyawa Witta dan Towase. Seharusnya dia lari karena..." jawab Mario, ucapannya terhenti karena tiba-tiba merasa mual ketika bayang-bayang perang membanjiri pikirannya.
"Hatinya seperti kosong, dia juga jarang tersenyum dan lebih senang diam kalau berada di rumah," sahut Witta.
"Berarti hati yang sering terasa hampa, kira-kira apa penyebabnya? apa karena pahitnya menjalani kehidupan?" tanya Anakbatu spontan melirik Mario.
"Mungkin saja aku kurang paham. Jujur saja hidupku tidak sekeras dirinya, Anakbatu kita telah melanggar batas dengan terlibat dalam urusan Karaeng Galesong waktu itu karena ulah Temmalara." jawab Mario seketika wajahnya menjadi muram.
"Sial benar juga pedang bermata dua, mau bagaimana lagi Mario. Antara menang dan kaya atau kalah lalu mati," balas Anakbatu.
"Mario tadi kau bilang Pangeran Karaeng Galesong? kudengar usianya masih 10 tahun. Bagaimana bisa Suamiku terlibat sementara Kota Takalar jauh dari Tosora. Dari tadi kau ini berpikiran mengada-ada;" balas Witta keheranan.
"Tidak salah lagi dia adalah I Maninrori dari Kerajaan Galesong. Menurutku ada kesamaan nasib antara Temmalara dan Galesong. Saat itu Temmalara yang membunuh Kaptennya maka ia dijadikan Prajurit Wajo itupun karena ia dibantu oleh Galesong."
"Justru bagus kehidupan kita bisa terangkat."
"Belum tentu Witta hanya waktu yang akan menjawabnya... oh ya kalian berdua pasti sudah haus haha maaf," ucap Mario pergi ke belakang untuk menyiapkan air.
"Anakbatu jadi Mario mau bilang kalau Galesong, Anak yang kurang perhatian dari orang tua seperti Temmalara?" tanya Witta.
"Bukan urusan kita sebagai rakyat jelata tapi kemungkinan besar mungkin saja. Hampir tidak terpikirkan oleh semua orang anak berusia 10 tahun sudah bisa ikut berperang apalagi menjadi Panglima." jawab Anakbatu.
"Tadi Temmalara sempat berjanji kepadaku kalau dirinya akan menjadi lebih kuat."
"Berarti penilaian Kak Mario kalau ia seperti cangkang kerang yang kosong keliru. Kalaulah Kakak Temmalara dan Tuan Galesong memang serupa tidak perlu dipikirkan. Biar bagaimanapun, aku berhutang nyawa pada Suamimu. Pantang ada kata pengkhianatan di kamus kami para pengemis. Ya meskipun aku tidak bisa membaca isi kamus haha."
--
Kota Tallo
Kota Tallo sendiri terletak di Utara Kota Somba Opu agak jauh dari Kota Bontoala yang berada di dekatnya. Kota ini terkenal dengan kehebatan dan kelihaian pandai besinya. Di Nusantara, hanya sedikit yang mampu memproduksi varian istinggar (senapan lontak) paling kuat tanpa sumbu yaitu Flintlock. Tempat ini adalah salah satunya.
Sebelum memasuki Toko Senjata terbesar di Kota itu, Temmalara memandangi uangnya yang hanya tersiaa beberapa dirham saja.
"Ada perlu apa anak muda?" ujar Pegawai toko.
"Namaku Temmalara, Prajurit Wajo aku ingin senjata api untuk tugasku." ucap Temmalara.
"Baiklah Anak Muda silahkan lihat-lihat dulu siapa tahu ada yang kau suka. Dagangan kami cukup lengkap, ada terakol, istinggar dan pemuras (shotgun)."
"Memakai sumbu semua ya berbeda dari terakol yang kugunakan waktu itu. Ada yang tidak pakai sumbu?" tanya Temmalara.
"Oh Flintlock seperti model Portugis kan? kau harus memesannya langsung ke pandai besi. Pengerjaan Flintlock terlalu rumit, sulit untuk diproduksi dalam jumlah besar," jawab Pegawai itu.
"Berapa harga senjata api yang memakai sumbu?"
"Terakol harganya 5 Dinar, untuk istinggar 10 Dinar, kalau ingin yang tembakannya menyebar ambil pemuras saja 7 Dinar, lantaka (meriam kecil portabel/swivel gun) untuk kapal 25 Dinar, meriam biasa/lela untuk benteng bambu ataupun batu 100 Dinar."
"Kalau begitu aku beli busur ini saja yang paling murah, lagipula senjata api lebih mahal daripada kuda."
"Kau ini mempermainkanku atau bagaimana ya! kalau tidak mau beli jangan tanya bocah!" seketika Pegawai itu membentak Temmalara di depan wajahnya
"Memang apa salahnya bertanya?"
"Kurang ajar kalau tidak punya uang kenapa bertanya!?"
"Hanya penasaran... ya sudah ini 1 Dirham beserta anak panahnya."
"2 Dirham, tidak bisa kurang," tegas Pegawai itu.
"1 Dirham dan 75 Fulus bagaimana?"
"Baiklah kalau begitu, kalau saja aku tidak bekerja di sini."
--
16 Januari 1666, Benteng Kota Tosora
Setelah berpamitan dengan Witta, Temmalara berangkat bersama Mario dan Anakbatu menuju Kerajaan Wajo. Kali ini Temmalara langsung menuju ke Bentengnya untuk menerima tugas setelah bertanya kepada para penjaga gerbang benteng. Mereka semua tidak percaya kalau orang yang membawa busur murah itu adalah Prajurit Profesional Wajo.
"Baik silahkan isi kertas ini, nama dan semua keteranganmu."
"Bukankah Paman yang waktu itu menjadi Penyampai Pesan ya."
"Kami para prajurit tugasnya fleksibel, kadang berjaga-jaga, menertibkan keamanan, menangkap perampok atau berperang tergantung perintah atasan. Apa kau bisa menulis?"
"Aku tidak bisa membacan"
"Haha sudah kuduga, namun hebat juga rakyat jelata sepertimu bisa masuk menjadi seorang askar. Keberuntunganmu itu kuakui sungguh luar biasa, setahuku hanya bangsawan saja yang bisa menjadi prajurit sejati."
"Benar terima kasih," balas Temmalara.
"Haha tidak usah terlalu baku, sudah biar aku bantu tuliskan." ujar Prajurit itu sembari menggenggam bulu pena dan mencelupkannya ke tinta.
Setelah pencatatan keterangan selesai, alangkah terkejutnya Temmalara saat itu. Ia telah diberikan Rumah dan Tanah di luar Benteng Tosora meskipun kecil.
Untuk sementara Mario dan Anakbatu yang sudah kelelahan langsung beristirahat menempati kediaman itu. Sementara hari itu juga Temmalara mulai ditugaskan untuk berpatroli di dalam kota, Inilah tugas pertamanya perintah langsung dari Sang Kapten.
--
"Hehe kau anak baru ya aku juga sama sepertimu anak baru juga. namaku La Data," ujar Data.
"Sudah kuduga keturunan bangsawan. Namaku Puli Temmalara dari Makassar," balas Temmalara tersenyum sinis.
"Hoho dari bahasa bugismu yang kacau seperti itu sudah bisa diterka. Dari tadi kuperhatikan kau terlalu congkak Anak Petani," ucap Data melirik tajam kepada Temmalara.
"Biar kukatakan kepadamu Data, bangsawan itu yang lemah karena mereka dimanja. Jadi wajar saja jika kalian diam-diam tidak disenangi di lingkungan masyarakat. Asal kau tahu, kami rakyat jelata banyak yang iri, saat perang sekalipun kalau menang kalian yang paling untung. Sedangkan kami rakyat jelata belum tentu dibayar apalagi kebagian Harta Rampasan Perang, kesimpulannya kalianlah yang congkak Data."
"Heh! memukul rata semua bangsawan jahat. Tidak kusangka kau sehina itu Temmalara. Bercerminlah Temmalara... oh ya aku lupa kau tidak punya uang membelinya."
Sembari berjalan, Temmalara hanya diam saja menghadapi mulut Data yang terus-terusan menghujatnya. Ketika mereka berdua berjalan ke arah persawahan, tiba-tiba saja ada petani yang membungkuk di depan mereka.
"Nak tolong! Juragan Sawah sudah tidak terlihat 2 hari ini bisa meng..."
"Berisik bau! meganggu saja pergi!" bentak Data.
"Jaga ucapanmu Data! tanpa petani kita makan apa! sudah tugas kita menjaga keamanan!" teriak Temmalara.
Mendengar teriakan Temmalara, Petani itu menjadi ketakutan dan berlari sekencang-kencangnya. Petani lain yang sedang menggarap sawahnya juga ikut berlarian karena takut mendapat amukan Prajurit Wajo.
"Tunggu!" sahut Temmalara berlari menghampirinya.
"Ampuni tolong ampuni!" berkali-kali ucap Petani itu dengan histeris dalam posisi jongkok.
Dengan sigap Temmalara menarik tangan bapak itu dan menenangkannya, Temmalara bersikap merendah kepada Petani itu. Data yang melihat rekan kerjanya itu perlahan menghampirinya.
"Tolong ampun aku tidak ingin mati," ucap Petani itu.
"Bapak kumohon tenang dulu, aku ini petani juga dulunya." balas Temmalara tersenyum kecil kepada Petani itu.
"Jadi petani malah bangga haha, memalukan martabat ketentaraan Wajo saja!" sahut Data dari belakang seraya menepuk pundaknya.
"Diam saja Data kau tidak akan pernah tahu rasa senang ketika memanen padi di sawah iya kan Paman?"
"Benar rasanya seperti kita membesarkan anak sendiri."
"Oh ya boleh kami ke kediaman juragan, siapa tau kami bisa membantu."
"Temmalara tugas kita hanya berpatroli!"
"Lalu kalau kita berpatroli bila ada perampokan kau diam saja? kita dibayar 10 Dirham per bulan untuk menjaga Negeri Wajo khususnya Wanua Tosora dan sekitarnya."
"Baiklah kalau begitu, ini demi siri juga. Aku tidak sudi kalah pencapaian dari anak seorang petani."
Mereka berdua mengikuti bapak itu hingga sampai ke Kediaman Sang Juragan. Rumah Panggung Juragan itu sangat besar jika dibandingkan dengan Rumah Panggung di sekitarnya, anehnya menurut Temmalara mengapa rumah sebesar ini tidak punya pelayan.
Terbesit sebuah pertanyaan di pikiran Temmalara. "Kemana semua pelayannya yang membersihkan rumah ini?"
Temmalara memeriksa setiap sudut rumah itu, Anehnya semua barang-barang mewah milik Juragan masih utuh. Apa mungkin Juragan sedang ada urusan keluar Wanua ini tanpa memberitahu bawahannya terlebih dahulu.
"Temmalara kita tinggalkan saja petani ini, buang-buang waktu, tidak ada hal yang aneh di rumah ini justru kita yang terlihat seperti perampok," ketus Data.
"Tunggu Data kau merasa aneh tidak, apa mungkin rumah sebesar ini tidak ada pelayan atau budaknya?" tanya Temmalara.
"Benar juga Rumah keluargaku tidak sebesar ini tapi kami punya beberapa pelayan yang membersihkan rumah. Otakmu cerdas juga," ujar Data memegangi kumisnya tidak sadar telah memuji Temmalara.
"Aku periksa lagi ruangan itu, kau juga periksa ruangan tadi."
Mereka mulai memeriksa lebih teliti lagi. Barang-barang yang berada di Rumah itu masih tertata dengan rapi seperti tidak terjadi apa-apa. Seluruh Ruangan telah diperiksa, hanya Gudang Bawah Tanah yang belum mereka jamah.
Perlahan keduanya membuka pintu, ruangan itu nampak kotor namun tidak ada sarang laba-laba. Pandangan Temmalara awas memperhatikan setiap celah hingga ia menemukan sebuah petunjuk.
"Kau lihat itu Data, bercak darah," ujar Temmalara seraya menunjuk bercak di lantai kayu gudang tersebut.
"Aduh itu mungkin bekas tikus dimakan kucing Kecil seperti itu mana mungkin itu darah manusia."
"Tidak mungkin Data, kalau tikus dimakan oleh kucing darah dijilat sampai kering."
"Lalu darah siapa ini?" tanya Data.
"Tentu sarah Juragan yang dibunuh." jawab Temmalara.
"Bisa kau jelaskan lagi Anak Petani?"
"Coba perhatikan lagi Data, pelakunya sepertinya rabun besar sampai-sampai lupa membersihkan bercak darah sisa pembunuhan ini. Intinya kau panggil Kapten dan laporkan kejadian ini. Aku akan mencari bukti lebih banyak."
Data bergegas langsung memanggil Kapten mereka. Tidak berselang lama, Prajurit Wajo yang berjumlah kurang lebih 20 orang masuk ke Rumah Panggung itu. Sang Kapten yang mengawasi mereka dari belakang, memanggil Temmalara untuk menghadapnya.
"Tolong ceritakan Temmalara," ujar Kapten itu.
"Baik Kapten Karassa, jadi saat kami berpatroli, ada yang melapor dan kami memeriksa rumah ini dia adalah Juragan Persawahan di daerah ini, kemungkinan besar seorang Punggawa Tosora. Dia sudah menghilang 2 hari dan aku yakin sekali dia dibunuh setelah mendapati bercak darah di Ruangan Bawah Tanah." ucap Temmalara.
"Apa yang membuatmu yakin Anak Baru?" Tanya Karassa.
"Pasti pelaku pembunuhan tidak bodoh Kapten, Ia berusaha menghilangkan jejak dan bukti namun ia terlalu ceroboh sampai-sampai ada bercak darah yang bersisa di lantai ini."
"Begitukah pintar juga kau meskipun bukan keturunan bangsawan. Hukum wajib untuk ditegakkan."
"Ah tidak juga Kapten hanya keberuntungan saja, Pembunuhnya mungkin saja lupa membersihkan bercak darahnya."
"Haha keberuntungan, keberuntungan juga yang membuatmu jadi Prajurit Wajo, wahai Temmalara sang Pembawa Keberuntungan." sahut Kapten Karassa seraya menepuk pundaknya.
Temmalara berhasil mendapatkan petunjuk untuk memecahkan kasus ini. Kasus ini adalah tugas pertamanya sebagai Prajurit Wajo, yaitu menyelidiki pembunuhan dan menangkap sang pelaku.