"Van, mau dibawain makan siang lagi nggak?" Tanya Prisa.
"Nggak usah."
"Kenapa Van, nanti kan Prisa mau masak untuk kamu?" Tanya Mama Kania.
"Nanti aku mau meeting diluar Ma, pasti sekalian makan siang disana."
"Oh gitu. Ya sudah." Ucap sang mama.
Setelah selesai sarapan pagi, Ervan pun berpamitan pada kedua orang tuanya, lalu ia mengeluarkan kendaraan roda empatnya, setelah itu ia pun pergi ke kantor. Sedangkan Prisa membereskan sisa makanan, lalu ia mencuci piring. Setelah itu, ia pun memasak bersama Mbak Darti, Prisa belajar memasak makanan kesukaan Ervan. Ia ingin Ervan menyukai masakan yang ia buat.
Setelah selesai memasak, Prisa pun masuk ke dalam kamarnya, ia membersihkan kamarnya, meletakkan pakaian kotor milik Ervan pada tempatnya, beruntung ia punya istri yang tidak ia cintai dan tidak mencintainya tapi tetap bisa memposisikan dirinya sebagai seorang istri yang baik.
Tiba-tiba saja kepala Prisa terasa pusing, ia pun merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, mumpung tak ada Ervan, ia bisa tertidur di atas tempat tidurnya.
Tok … Tok … Tok …
Ada yang mengetuk pintu kamar, Prisa pun membukakannya. Mama Kania yang berada dibalik pintu, ia pun masuk ke dalam kamar anaknya tersebut, lalu duduk di tepi ranjang.
"Pris, Mama senang deh lihat Ervan tadi sudah bisa bercanda sama kamu." Ungkap sang mama.
Prisa pun tersenyum.
"Sepertinya hati Ervan sudah mulai mencair olehmu." Lanjut sang mama.
"Semoga aja ya Ma, Ervan bisa semakin mencair."
Prisa kembali merebahkan tubuhnya, karena kepalanya benar-benar pusing.
"Kamu kenapa, Prisa?"
"Kepalaku pusing, Ma."
Mama Kania memegang kening Prisa, suhu tubuhnya meningkat, Prisa demam. Mama Kania mengambilkan obat dan segelas air putih untuk menantunya itu.
"Minum dulu obatnya!" Titah sang mama mertua, Prisa pun meminum obat tersebut.
"Terima kasih ya, Ma."
"Iya."
"Kamu istirahat ya!"
Mama Kania pun membiarkan Prisa beristirahat di dalam kamarnya. Prisa merasa sangat beruntung mempunyai mertua yang sudah menganggapnya seperti anak kandungnya, jarang ada mertua yang baik sepertinya. Walaupun harta melimpah, kemewahan dimilikinya, tapi tetap rendah hati pada siapapun. Namun Prisa pun harus tersadar, bahwa ia hanya menantu di rumah ini, Prisa pun tidak ingin dirinya terlena oleh kemewahan yang berada di dekatnya. Karena ini semua bukan miliknya, tapi milik keluarga Byantara.
Prisa membuka kedua matanya, ternyata tadi ia tertidur pulas setelah minum obat, lalu ia melirik jam dinding, waktu sudah menunjukkan pukul satu siang. Waktu terasa lama sekali saat berada di rumah, ia tak sabar ingin kembali bekerja.
Di waktu yang sama, Ervan baru saja selesai meeting bersama clientnya, setelah itu ia pun ingin makan siang di Restaurant.
"Salsa!"
Ervan menyapa wanita yang bernama Salsabila, ia adalah teman Ervan waktu SMA.
"Hai …" Balas Salsa sambil tersenyum padanya.
Salsa memperhatikan laki-laki yang menyapanya itu, "Kamu Ervan atau Ervin ya?"
"Aku Ervan."
"Oh Ervan, maaf aku lupa."
"Kamu sedang apa disini?" Tanya Ervan.
"Sedang memantau kerja karyawan-karyawanku."
"Oh, Restaurant ini milik kamu?"
Salsa pun menganggukkan kepalanya sambil tersenyum pada Ervan. Ervan tidak menyangka Salsa punya restaurant sebesar ini. Ia sering makan disini, tapi baru mengetahui kalau teman SMA-nya itu adalah pemiliknya. Ervan memandangi salsa dari ujung rambut sampai ujung kaki, ia sungguh berbeda dengan yang dulu, tapi Ervan masih menganalinya karena ada lesung pipinya, yang membuat ia terlihat manis.
Salsa pun tidak bisa berlama-lama menemani Ervan. Ia pun berpamitan pada Ervan, lalu pergi karena ia mau memantau ke cabang restaurantnya yang lain.
Ervan jadi teringat, dulu ia pernah sekelas dengan Salsa, tapi ia tidak pernah dekat dengannya. Karena Ervan seorang yang pemilih, ia sangat selektif dalam memilih teman untuk dekat dengannya. Tidak seperti Ervin yang lebih ramah dan mau bergaul dengan siapapun.
Ervan meneruskan makannya bersama Riana, sekretarisnya. Setelah selesai makan, ia pun melangkahkan kakinya menuju ke tempat parkir, lalu ia mengendarai kendaraan roda empatnya menuju ke kantornya.
Tok … Tok … Tok …
Mama Kania kembali mengetuk pintu kamar Prisa, lalu ia pun bangun dari tidurnya dan membukakan pintunya.
"Pris, gimana keadaan kamu?"
"Alhamdulillah sudah lebih baik, Ma."
"Syukurlah. Makan dulu yuk! Atau mau Mama ambilkan nasi, nanti Mama bawakan ke kamar?"
Prisa menggelengkan kepalanya, "nggak Ma, nggak usah. Biar nanti aku aja yang mengambil nasinya. Prisa merasa kalau ia selalu merepotkan mertuanya.
Prisa turun dari tempat tidurnya, lalu ia melangkahkan kaki ke lantai bawah, ia duduk di kursi yang berhadapan dengan kedua mertuanya.
"Kamu sakit apa, Prisa?" Tanya Papa Malik.
"Demam, Pa."
"Makan dulun yuk, nanti minum obat lagi!" Ucap sang papa mertua.
Prisa pun mengambil piring, lalu menuangkan nasi beserta lauk pauk ke atasnya. Prisa belum memakan masakannya tadi, tapi saat ia memakannya sekarang, mulutnya terasa pahit, makan apapun tidak terasa nikmat.
"Ma, masakan aku enak nggak sih?" Tanya Prisa.
"Enak."
"Mulutku pahit, jadinya makan apapun nggak enak."
"Kamu mau berobat ke dokter? Biar Mama antar."
Prisa menggelengkan kepalanya, ia paling malas ketika sakit disuruh berobat ke dokter, karena nanti harus minum obat yang banyak, ia tak suka. Kecuali kalau sakitnya dalam beberapa hari tidak juga sembuh, baru ia mau diajak berobat.
Prisa hanya bisa memasukkan sedikit makanan ke dalam perutnya, setelah itu ia kembali meminum obat pereda demam. Ia merasa bosan berada di kamar, ia pun duduk di dekat kolam renang. Pikirannya kembali teringat Ervin, sosok Ervin tidaklah mudah dilupakan. Laki-laki impiannya itu tidak bisa benar-benar ia miliki. Memang mereka berdua tidak berjodoh, karena maut yang lebih dulu menjemput Ervin.
Drrttt … Drrttt …
Ponsel milik Prisa yang ia letakkan di atas meja bergetar, ia pun mengangkat panggilan dari Mama Mitha.
[Assalamualaikum Prisa.]
[Waalaikumsalam, Ma.]
[Kamu sakit apa?]
[Kok Mama tau kalau aku sakit?]
[Tadi mertuamu telepon Mama.]
[Oh, aku nggak apa-apa kok Ma, hanya demam biasa.]
[Udah minum obat?]
[Udah.]
[Ya sudah, kamu istirahat sana!]
[Iya, Ma.]
[Assalamualaikum,]
[Waalaikumsalam.]
Prisa menutup teleponnya. Wajar saja Mama Mitha khawatir dengan anak sulungnya itu, Prisa anak perempuan pertama yang menjadi tulang punggung keluarga. Namun bukan berarti Mama Mitha hanya mengandalkan penghasilan darinya, Mama Mitha juga masih tetap berjualan untuk memenuhi kebutuhan kedua anaknya yang masih duduk dibangku sekolah. Sejak Mama Mitha bercerai dengan suaminya, sang suami sudah tidak pernah memberikan nafkah untuk ketiga buah hatinya. Makanya, pekerjaan apapun Mama Mitha jalani asalkan halal agar bisa menghidupi ketiga buah hatinya. Begitupun Prisa, yang juga mau bekerja apapun karena ia sadar, ia bukan orang yang berada. Dari kecil selalu hidup pas-pasan, penuh keprihatinan. Namun Mama Mitha selalu mengajarkan pada Prisa jangan jadi seseorang yang meminta-minta, selama masih bisa berusaha mencari rejeki sendiri, ia harus lakukan itu.