BRUK!
Suara dentuman keras karena tubuh Talita terjatuh saat melompat dari tembok belakang halaman sekolahnya, dan menimpa seorang lelaki.
"Argh," erangan dari mulut lelaki itu kesakitan. Talita yang sedari tadi memejamkan matanya, memberanikan diri membukanya. Ia melihat sepasang mata yang menatapnya tajam dan tangannya mencoba menyingkirkan tubuh mungilnya dari atas tubuhnya.
Dia tidak mengerti mengapa dia sekarang berada di atas tubuh lelaki itu, jika ada yang melihat mungkin akan mengira mereka melakukan hal tidak senonoh. Talita akhirnya menggeser tubuhnya kesamping, dan lelaki itu terduduk dengan menatapnya tajam.
"Ngapin sih lo loncat?"
"Eh, maaf, karena telat jadi aku lompat dari sini ...," ujarnya dengan suara gemetar, dia ketakutan, tidak hanya suaranya yang bergetar, tubuhnya pun gemetaran.
"Ah! baju gue jadi kotor kan?"
"maaf, maaf, nanti aku cuci."
Lelaki itu tertegun sesaat, dia melihat tubuh mungil itu sekali lagi. Dia sadar, suara bentakannya membuat gadis itu ketakutan. Ia menghela napas, baginya gadis ini hanya merepotkan. Ia pun bergegas meninggalkan sang gadis yang masih terduduk lemas.
Dia melihat punggung lebar lelaki itu meninggalkan dirinya sendirian, membawa tong sampah dan tak sekalipun menengok ke belakang.
"Oh, dia pasti tadi sedang buang sampah, di sini." Ia memperhatikan sekelilingnya, pohon pohon yang menutup dinding sekolah cukup rimbun dan sedikit sejuk saat ini. Tempat sampah besar berada tepat di depan tembok pemisah sekolah dan jalan di belakang.
Ia mengingat kembali bagaimana ia melompat dari atas tembok dan memejamkan kedua matanya karena takut. Tapi itu malah membuatnya menimpa tubuh lelaki tadi.
"Ah! jangan-jangan tadi dia lihat celana dalam aku!" Teriaknya yang mungkin tidak terdengar siapapun karena sepinya tempat itu. Wajahnya merona merah membayangkan seandainya lelaki tadi melihatnya. Rasanya ingin menangis dan tenggelam ke dalam bumi saking malunya.
Teng Teng Teng.
Bunyi bel sekolah mengejutkan dirinya yang masih membayangkan hal tadi. Dengan sigap ia pun beranjak dari sana dan berlari melalui lorong, menuju kelasnya X IPS 3.
Saat berlari, sudut matanya melihat sosok lelaki tadi sedang berdiri depan kelas, dan menatap dirinya tajam saat berlarian. Tiba-tiba ia bergidik, kenapa matanya menyorot tajam? apakah dia sangat marah tadi? sepertinya setelah sekolah usai ia harus menemuinya, selain untuk meminta maaf juga untuk mencucikan bajunya yang kotor tadi. Eh, kalau dia tidak memakai kaos dalaman, masa nanti dia pulang dengan telanjang dada? Ah, dia menggelengkan kepalanya, pokoknya niat baik harus disampaikan, ujarnya menyemangati diri.
Pulang sekolah waktu menunjukkan pukul 15.30. Ia pun membereskan buku dan alat tulisnya ke dalam tas. Dengan bergegas ia berlari menuju kelas yang tadi ia lewati. Dia pasti kelas XI IPS 2, tadi dia berdiri di situ soalnya, batinnya sambil terus berjalan menuju kelas itu.
Ia mencari sosok yang ia cari, ketika berada di depan kelas itu.
"Eh, ada anak cantik, mau cari siapa?" sapa seorang lelaki yang tubuhnya sangat tinggi dan berkulit putih, dibanding disebut ganteng, dia lebih ke cantik, karena bulu matanya lentik dan juga bibirnya yang merah.
"Em, siapa ya?" Talita bingung, karena ia pun tidak tahu namanya.
Lelaki itu pun tertawa, ia merangkul pundak sang gadis, dan mengajaknya melihat ke dalam kelas.
"Ada?"
"Hmm?"
"Yang kamu cari ada gak?" ujarnya lembut, membuat dirinya terpesona.
"Ah," ia pun memindai seisi ruangan, tidak ada satu sosok pun yang ia kenal, dan juga lelaki tadi tidak berada di sana.
"Kayaknya saya salah kelas, Kak," ujarnya sambil menggembungkan kedua pipinya.
"Oke, ciri-cirinya gimana?"
"Em, kulitnya putih, matanya bulat dan tajam, rambutnya panjang sebawah telinga, terus tingginya ya hampir setinggi kakak sih, oh iya, baju belakangnya tadi kotor kena tanah!"
Lelaki itu tersenyum, "Yakin kamu cari dia?"
"Eh, kenapa emangnya?"
"kamu kenal dia dimana?"
"Nggak kenal kok, cuma tadi ada kejadian yang harus diselesaikan aja."
Lelaki itu mengernyitkan dahinya, tangannya dilipat di depan dadanya, kemudian, salah satu tangan kanannya mengusap bibirnya.
"Kalau kamu bermasalah dengan dia, sebaiknya kamu lari!"
"Hah? kenapa?"
"Dia itu anak yang paling ditakutin di sekolah ini, sudah banyak yang jadi korbannya. pukulannya sangat telak. sekali pukul langsung, bruk ...," ujarnya dengan suara berbisik dan tangannya mengisyaratkan seperti jatuh. Ia terkejut, seseram itukah? Aduh, jangan-jangan nanti dia diserang lagi.
Ia membayangkan lelaki itu datang dan meninjunya tepat di wajahnya, ia takut lelaki itu balas dendam atas kejadian tadi. Tiba-tiba lelaki di depannya tertawa terbahak-bahak.
"Kamu selugu itu ya?"
"Eh?"
"Tian! woy Tian, ada yang cari nih!" tiba-tiba ia berteriak pada seseorang yang berada di belakang tubuh gadis itu, sang gadis menengok ke belakang, ya, benar itu lelaki tadi. Ia langsung sembunyi di balik tubuh lelaki yang berteriak itu, ia menarik ujung baju lelaki itu, menahannya dan sembunyi di belakang.
Lelaki itu tersenyum geli melihat tingkah gadis itu. Tian datang menghampiri mereka. "Bang, jangan isengin anak orang, kasian tuh anaknya takut." Suara baritonnya terdengar jelas, membuat sang gadis kebingungan. Abang? lelaki ini abangnya? lelaki yang wajahnya terlihat cantik.
"Abang?" tanyanya memberanikan diri.
"Jadi lo yang bikin baju adek gue kotor?" Ia menunjuk gadis itu seolah menghakimi.
"Eh, itu gak sengaja, kamu, siapa? Tian? maaf ya tadi, sini aku cuciin baju kamu," suaranya lagi-lagi terdengar bergetar.
"Wah, dia anak bertanggung jawab, kebetulan bajunya yang Tian pake itu punya gue, terus dia pinjam seragam gue yang satu lagi. Gue ini nyimpen seragam di loker buat jaga-jaga, ternyata ada bagusnya kan?"
"Eh?"
Lelaki itu menarik gadis itu masuk ke dalam kelas, disana ada loker kecil dan ia membukanya.
"Nih, cuciin yang bersih dan wangi, oke?" pintanya dengan tegas namun lembut.
"Em, ya Kak."
"Ayok kita makan dulu, lo suka mie ayam gak?"
Gadis itu hanya mengangguk, dengan ramah lelaki itu mengajaknya ke suatu kios mie ayam dekat sekolah.
Mereka bertiga duduk di suatu sudut.
"Ibu cantik, pesan mie ayam 3 ya bu, minumnya mau apa?"
"Em, es teh manis aja."
"Oke, minumnya es teh manis 2, dan botol mineral 1."
"Kenalin, gue Juan, abangnya Tian, dia adek gue satu-satunya, kami tinggal berdua, karena kedua orang tua kami ada di kampung."
"Oh," ujar gadis itu.
"Sebenarnya orangtua kami tadinya bersama kami, tapi semenjak 3 tahun lalu, kakek kami meninggal dan ayah ibu kami harus mengurus nenek yang sudah tua. Kami berdua biasa hidup mandiri."
"Oh," hanya satu kata itu yang dari tadi terucap dari bibir tipis sang gadis itu.
"Kalau kamu?"
"Em, aku tinggal berdua dengan mama, tapi sebentar lagi mama akan menikah lagi, jadi kayaknya aku milih tinggal di rumah kami sendirian, karena mama akan ikut dengan suami barunya nanti."
"Kenapa gak ikut sekalian?"
"Nggak, papa, walau sudah meninggal, tapi dia pasti akan datang dan melihat keluarganya sekali-sekali, aku takut papa gak tahu kemana kita."
Lelaki itu terdiam, ia mengaduk-aduk mie ayam yang baru saja datang.
"Kalau ada apa-apa, butuh bantuan, lo bisa chat gue, sini HP lo," pintanya.
"Eh, ini," gadis itu menyerahkan HPnya.
"Juan ganteng, oke?" ujarnya sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Lo gampang banget ngasih no Hp lo ke orang yang baru dikenal, lo gak takut abang gue jahat?" tiba-tiba Tian bersuara.
"Diem lo! gue bukan orang jahat, tapi karena lo lugu, ada benernya yang dibilang si Tian, jangan gampang kasih HP lo ke orang yang baru dikenal, dan jangan pernah cerita kalau lo tinggal sendirian, oke?" ujar Juan, bak seorang kakak yang menasihati adiknya.
Gadis itu terdiam, baru sadar kalau dia menceritakan semuanya, padahal ia anak yang tertutup selama ini. Ia memperhatikan keduanya.
"Tadi cerita karena aku pikir Kakak orang yang baik, dan aku yakin kakak memang orang yang baik."
Tiba-tiba Juan dan Tian tersedak dan batuk-batuk. Keduanya sibuk minum dan akhirnya tertawa.
"Gadis lugu ya," ujar Juan sambil tersenyum padanya.
"Jangan tertipu dari wajahnya aja, dia bisa aja jahat kan?" Tian tertawa sambil menunjuk abangnya.
Kali ini Juan tidak protes, ia tersenyum dan melirik ke arah sang gadis.
"Gadis seperti kamu pasti hidupnya selalu senang ya?" Juan bertanya sambil menatap wajah Talita lembut.
"Em, aku hanya tahu semua orang baik, karena selama ini ada papa yang selalu menjaga aku."
Tian yang dari tadi diam, kini memperhatikan wajah sang gadis, matanya terlihat sendu karena merindu.
"Sekarang kalau ada apa-apa, ada gue ama Tian, tinggal bilang aja."
"Kok gue dibawa-bawa? ngerepotin banget!" Tian protes.
"Udah lo diem, gue juga udah save nomor lo di Hp si Talita, Tian si berandal, itu nomor dia, oke?"
Gadis itu melirik ke arah Tian, tidak ada reaksi marah atau menolak, jadi ia hanya mengangguk.
"Tian kelas berapa?" Talita memberanikan diri bertanya.
"Dia? X IPA 1," jawab Juan sambil tersenyum.
Talita terkejut, ketika Juan menyebut kelas unggulan.
"Haha, gak nyangka kan? dia itu anak yang cerdas, gayanya aja yang cuek, don't judge the book by it's cover!" ujarnya sembari mengacungkan garpu saat berbicara.
"Wah, aku malah anak IPS," ujar Talita polos.
"Tos dulu!" Juan mengangkat tangan kanannya meminta high five dari gadis itu.
"Makanya kita gak bosenin, liat dia bosenin kan? kaku kayak kanebo kering." ujarnya sambil tertawa.
Gadis itu ikut tertawa sambil melirik Tian. Lelaki yang saat ini tidak terlihat menyeramkan seperti julukannya, ia bahkan lebih banyak diam.
Mereka berdua mengantarkan Talita pulang sampai depan rumahnya, ternyata rumah mereka tidak terlalu jauh dari tempat tinggal Talita.