"Toloooong"
Teriakan itu membuat lelaki yang sedang rebahan di rerumputan, membuka kedua kelopak matanya, ia mencari arah suara, dan teriakan itu kembali terdengar.
"Lepasin cewek itu!" Suara seorang lelaki membuat para lelaki yang mengerumuni seorang gadis menyingkir dan menoleh ke arah suara lantang itu. Gadis yang terduduk sambil menutup kepalanya sambil menangis pun ikut menengadah ke arah suara itu.
"T-tian," lirihnya sambil terisak.
Tian menatap gadis itu dan kembali menggertak para pengganngu itu.
"Pergi kalian dari sini!"
Teriakan itu mampu membuat mereka berlari, siapa pun yang kenal Tian, mereka akan takut. Julukannya adalah si Berandal, dia selalu menjadi pemenang jika ditantang oleh preman-preman dan juga jagoan sekolah di luar sana.
"Papa ...." Gadis itu terisak sambil memanggil papanya.
"Huh, ngerepotin!" ketus lelaki bermata indah dan tajam itu. Wajahnya sangat rupawan untuk dikatakan seorang berandal, sosoknya yang pendiam dan dingin tidak menunjukkan ia seorang jagoan.
"Lo gak apa-apa?" suaranya menjadi lembut, dia berjongkok di depan sang gadis, ia mengusap lembut gadis yang masih menangis dengan menangkupkan wajahnya pada lutut yang ia tekuk, kedua tangannya memeluk lututnya tersebut.
"Ng-nggak apa-apa," isaknya, tubuhnya masih gemetaran.
"Ngapain sih lo lewat jalan taman yang sepi ini?" tanyanya dengan nada penasaran.
"Dulu, papa sering mengajak aku kesini, sambil menikmati hijau pepohonan juga semilir angin yang sejuk membuat hati kami jadi tenang, hari ini aku rindu papa, jadi aku pikir kesini akan nenangin aku." Ia bercerita dengan nada suara terisak, namun ia mampu menatap wajah lelaki di hadapannya dengan sayu.
"hhhh." lelaki itu menghela napas. Ia tersenyum dan mengelus pelan air mata yang membasahi pipi sang gadis dengan kedua tangannya. Gadis itu menghindari dengan menundukkan wajahnya.
"Nggak apa-apa, aku gak jijik dengan ingus lo kok," ujarnya sambil tersenyum. Siapa yang berani menyentuh hidungnya yang basah karena ingus akibat menangis tadi, tentu saja ia adalah Tian, lelaki yang terlihat dingin dan kaku
"Makasi." Gadis itu akhirnya mengucapkan terima kasihnya karena ditolong oleh lelaki itu.
"Mmm, lain kali jangan ke sini sendirian."
"Kalau aku kangen papa, kesini sama siapa dong?"
"Kalau lo gak repotin, gue temenin lo, tapi jangan cengeng lagi."
Gadis itu tersenyum kecil, ia mulai merasa tenang di dekat Tian. Aneh, banyak yang takut untuk dekat dengan lelaki ini, tapi ia malah merasa nyaman. Semoga Tuhan sedang berbaik hati padanya, mengirimkan seorang teman yang bisa menjaganya seperti ayahnya dulu.
"Jangan lupa kunci pintu rumah dan jendela, malam ini mamah lo sedang pergi keluar kan?"
"Iya, mamah sedang ke kampung untuk meminta ijin nenek dan kakek untuk menikah lagi."
Lelaki itu menepuk pelan kepalanya, seperti menepuk kepala kucing.
"Jangan takut, nanti lo kalo ada apa-apa telpon gue aja."
"Iya, nanti aku telpon kamu atau kak Juan," ujarnya sambil menatap ke arah rumahnya yang gelap, karena tidak ada siapa pun di dalam.
"Gue aja, Bang Juan lagi ada kencan malam ini."
"Kencan? Kak Juan?"
"Gitu-gitu fansnya banyak, ia membagi waktu berkencan tiap hari, hanya hari minggu ia tidak berkencan."
"Oh, kenapa hari minggu nggak berkencan?"
"Katanya dia butuh me time, bang Juan biasanya karaoke-an di rumah, atau belajar membuat bonsai."
"bonsai?"
"Iya, bonsai, mini bonsai, di rumah sudah puluhan bonsai yang ia rangkai. Abang gue beda dengan gue, dia sangat kreatif dan berjiwa seni."
"Oh, kalo kamu, lebih ke belajar dan olahraga ya?"
"Gue belajar?" Lelaki itu pun tertawa.
"Kayaknya gue dapat gen bagus dari ibu, dna kepintarannya turun ke gue, jadi gak perlu belajar keras, karena gue cepet tangkap. Olahraga bukan bidang gue, gue jago berkelahi karena gue tahu kelemahan lawan gue. Hanya dengan sekali memperhatikan."
Tian lalu tertawa, dia pun tidak menyangka dirinya mendapat kelebihan itu. Namun juga ia memiliki kelemahan. Tidak semua orang tahu, hanya abangnya yang tahu.
"Oh, jadi kelemahan abang kamu cuma di berkelahi dan belajar?"
"Nggak, dia juga jago berkelahi, tubuhnya lebih kekar dari gue, lo gak tau kan?" ujarnya sambil melirik ke arah sang gadis yang memperhatikan dirinya.
"Hah? Bang Juan juga jago berkelahi?"
"Dia juga pintar, juara umum seangkatannya, hanya dia memilih jurusan IPS, itu juga karena dia ada masalah dengan ...." tiba-tiba ia menghentikan ceritanya.
"Eh, udah malam ini, sana pulang, sampe ketemu besok."
"eh, iya." Gadis itu melangkah masuk ke dalam rumah, namun ia penasaran dengan masalah yang menimpa Kak Juan. Ia masih ingin mendengarnya, tapi ia tidak berani bertanya.
Setelah mengunci pintu rumahnya, ia naik ke lantai atas, membuka gordyn jendela kamarnya, memperhatikan jalan, Tian masih ada di bawah, memperhatikan dan memastikan dia baik-baik saja. Tian melambaikan tangan dan menyuruhnya menutup gordyn dengan isyarat tangan. Ia berjalan mundur dan pergi menjauh.
Tian, siapakah kamu sebenarnya? pertanyaan itu muncul di benaknya. Lelaki berandalan namun baik hati.