Chereads / My Beautiful Pregnant Maid / Chapter 31 - Pingsan lagi

Chapter 31 - Pingsan lagi

Beberapa hari berlalu ... 

Pagi ini, Travis tidak ke rumah sakit karena dia memiliki jadwal libur dan akan mengantar Rachel yang akan ke Ohio. Pria itu mengijinkan tunangannya untuk pergi karena beralasan akan mengerjakan suatu project bersama teman-temannya. Meski berat, dia melakukannya karena tidak ingin terlalu mengekang tunangannya karena tidak ingin membuatnya tidak nyaman. 

"Apa aku boleh menyusul kamu ke Ohio suatu hari nanti?" tanya Travis sambil fokus mengemudi dengan kecepatan rata-rata. 

"Tentu saja, tapi kamu harus hubungi aku dulu supaya aku bisa bersiap," jawab Rachel dengan santai, melirik Travis yang terlihat tampan dengan penampilan kasual memakai celana jeans berwarna navy dipadu dengan sweater berwarna cream dan menyisir rambutnya dengan style pompade. "Kamu tau, projek yang aku kerjakan ini sangat erat kaitannya dengan wanita. Aku akan selalu bersama teman-teman ku, membuat konten kecantikan dan fashion ... Itu terkesan santai tapi sebenarnya sangat memakan waktu dan membuat aku sibuk bersama mereka memikirkan ide-ide untuk konten kami supaya menarik penonton supaya view kami naik," lanjutnya. 

"Sebenarnya kamu tidak perlu berjuang menjadi selebgram karena aku mampu memenuhi semua kebutuhan hidupmu," ucap Travis dengan lesu, tidak bisa menutupi kekecewaannya akan keputusan Rachel untuk ke Ohio untuk bergabung dengan teman-temannya menjadi selebgram. 

"Dan yang aku butuhkan bukan hanya uangmu, tapi aku juga butuh kesenangan. Apa salah jika aku bersenang-senang dengan temanku sambil bekerja sebelum kita menikah? Karena kalau kita sudah menikah, aku yakin aku tidak akan bisa seperti ini. Aku akan terikat dengan kamu aku akan memiliki kewajiban sebagai istri ... Aku tidak akan punya kebebasan. Dan hanya sekarang ini aku memiliki kebebasan, sampai kamu memutuskan kapan untuk menikahi aku." Rachel berkata dengan santai. 

Travis hanya diam, melirik Rachel yang membahas tentang pernikahan. Entah kenapa dia merasa ragu untuk mengatakan bahwa sewaktu-waktu dia pun mampu menikahinya, akan tetapi hatinya merasa ragu, hatinya masih belum yakin bahwa tunangannya itu bisa menjadi istrinya dalam waktu dekat ini. Oh, okay, itu feeling yang bagus karena tunangannya sangat licik! 

"Apa kamu marah?" tanya Rachel.

"Tidak, aku tidak marah," jawab Travis dengan tersenyum tipis melirik Rachel yang terlihat sexy dalam balutan terusan dress ketat berwarna biru dan memakai jaket bulu berwarna putih, make up yang tebal dan rambut yang diikat ala ekor kuda. 'Oh, Tuhan ... Kenapa tunanganku berpenampilan seperti jalang? Entah kenapa semakin hari aku semakin kurang yakin bahwa dia baik untukku Tapi aku mencintainya,' batinnya. 

Hingga beberapa menit berlalu, Travis menghentikan mobilnya di halaman bandara. Dia segera turun, lalu mengambil koper milik Rachel di bagasi.

"Maaf, aku tidak bisa antar kamu masuk," ucap Travis, menatap Rachel yang baru turun dari mobil. 

"Kenapa?" tanya Rachel.

"Tidak apa-apa, aku hanya ingin segera pulang lalu tidur. Semalaman aku begadang karena ada pasien melahirkan, jadi sekarang aku ingin istirahat," jawab Travis kemudian mencium kening Rachel. "Hati-hati ... Kabari aku saat sudah sampai di sana," lanjutnya dengan tatapan sendu.

Rachel menghela napas, menatap Travis yang tampak tidak merelakan dia pergi. Dia pun memeluk tunangannya itu, lalu mengusap-usap punggungnya.

"Jangan sedih, kita memang LDR, tapi hati kita selalu dekat," ucapnya.

"Aku akan merindukan mu," sahut Travis dengan lesu. 

"Aku juga akan merindukan mu." Rachel melepas pelukannya, lalu mendongak menatap Travis yang lebih tinggi darinya. "Aku akan selalu video call kamu saat sedang tidak sibuk."

"Itu harus," seru Travis.

"Jangan sedih lagi. Aku pergi hanya untuk sementara, karena saat kita sudah menikah, aku akan selalu bersama mu," ucap Rachel dengan tersenyum dan hatinya berkata, 'tapi aku belum bisa memastikan kita akan menikah atau tidak karena aku juga menginginkan John.'

Travis hanya mengangguk kemudian membiarkan Rachel berjalan menuju gedung bandara sambil menyeret koper. Pria itu terdiam, terus-menerus menatap itu undangannya yang sesekali berhenti sebentar untuk sekedar melambaikan tangan ke arahnya dan dia hanya membalasnya dengan tersenyum sambil melambai juga.

"Sebaiknya aku kembali ke rumah sekarang, menggoda Phoebe yang pemarah sepertinya akan sangat menyenangkan," ucap Travis dengan tersenyum tipis kemudian setelah kembali memasuki mobilnya. Pria itu mengemudikan mobilnya menuju ke arah pulang ke rumah, ingin memanfaatkan hari liburnya untuk beristirahat dan mencari ketenangan daripada berwisata ke tempat-tempat hiburan.

Di rumah Travis, tepatnya di dapur, Phoebe sedang membuat teh hangat karena dia merasa mual dan dengan hanya minum teh hangat dia bisa mengurangi rasa mual itu. 

"Phoebe, apa kamu sakit?" tanya Alicia yang baru datang memasuki dapur sambil membawa beberapa piring kotor dan meletakkannya pada wastafel karena hendak mencucinya.

"Tidak apa-apa, aku hanya sedikit pusing," ucap Phoebe dengan lesu. 

Alicia terdiam, melirik Phoebe yang tampak pucat dan tubuhnya terlihat lemas seperti tak bersemangat sejak beberapa hari setelah pingsan. Gadis itu ingin memastikan bahwa temannya itu sedang hamil atau tidak akan tetapi dia merasa sungkan dan takut ini malah akan membuat dia marah dan persahabatan mereka jadi berantakan. 

'Tapi jika dia hamil, dia pasti tidak akan memaksakan diri untuk bekerja. Dia adalah orang yang sangat penyayang dan peduli pada kesehatan, dia tidak akan membiarkan bayi dalam perutnya jadi bermasalah karena harus bekerja. Mungkin dia tidak hamil dan sekarang ini hanya sedang kelelahan saja, mungkin mentalnya juga down karena masalah rumah tangganya.' Alicia berbicara dengan dirinya sendiri dalam hati, mencoba untuk tidak berpikir negatif terhadap Phoebe. 

"Alicia, aku sudah selesai mengerjakan semua tugasku, sekarang aku ingin istirahat di kamar," ucap Phoebe.

"Okay, selamat istirahat," sahut Alicia dengan tersenyum. 

Phoebe setelah berjalan menuju keluar dapur sambil membawa secangkir teh dengan rasa yang tidak terlalu manis. Wanita yang memakai setelan berwarna hijau tua dan menjepit sebagian rambutnya ke belakang itu terus berjalan, sambil menahan rasa pusingnya. Rasa panas dan dingin seolah bercampur, tubuhnya juga gemetar, bahkan perutnya terasa sangat bergejolak seperti ingin muntah. 

'Ya Tuhan, Baru beberapa hari aku bekerja di sini. Jangan sampai kekayaanku yang sesungguhnya diketahui oleh Dr Travis ... Aku belum siap untuk dipecat. Aku butuh uang untuk biaya pergi meninggalkan negara ini,' batin Phoebe sambil terus berjalan hingga tiba di ruang tengah lalu berhenti sejenak di sofa dan duduk di sana karena benar-benar merasa pusing. Wanita itu meminum tehnya sedikit demi sedikit, lalu menyadarkan kepalanya pada bahu sofa sambil memejamkan matanya.

Phoebe terdiam dengan mata yang terasa panas, merasa seperti ingin menangis karena situasi yang dihadapi terlalu berat. Sakit secara mental dan fisik membuatnya sangat sedih, tidak bisa untuk bersikap tenang atau berlagak baik-baik saja. 

"Aku harus istirahat di kamar supaya Dr Travis tidak melihat kondisiku seperti ini," ucap Phoebe kemudian derajat berdiri dan berjalan dengan pelan menuju kamarnya, namun tiba-tiba dia kehilangan keseimbangan hingga pandangannya mulai kabur, dan akhirnya ambruk tepat di dekat tangga. Ugh, dia pingsan lagi, dan pastinya Travis akan mengetahuinya karena Travis sebentar lagi tiba di rumah.