Saat ini Bima berada di rumah saudaranya untuk membantu mempersiapkan acara pernikahan yang akan diselenggarakan di hari Minggu. Alasan dirinya tak menghadiri kelas adalah karena hari ini kedua orang tuanya datang dari Jakarta. Ia menemui kedua orang tuanya, sehingga dengan sengaja meninggalkan kelasnya. Ketika dirinya mendapat telepon dari Prada tentang Sinta, dirinya langsung menyambar kunci motor serta jaketnya dan lari terburu-buru menuju motornya tanpa sedikit pun peduli dengan teriakan para saudaranya dan kedua orang tuanya.
Motor Bima melaju dengan kecepatan di atas rata-rata. Dia mengendarai motornya seperti orang kesetanan, dirinya yang begitu panik itu tak lagi mempedulikan keadaannya. Hingga beberapa menit kemudian, dirinya sampai. Setelah motornya terparkir secara sembarangan di depan gedung fakultas, Bima melompat dari atas motornya dan langsung berlari menuju toilet lantai satu. Dia menggedor-gedor dengan keras pintu toilet yang tertutup sambil memanggil-manggil nama Ara dan Fanya.
"Di mana Sinta?" Tanya Bima saat dirinya telah melihat Ara dan Fanya yang keluar dari toilet perempuan.
"Kami juga tak tahu, Kak. Namun, besar kemungkinan Sinta ada di toilet lantai tiga. Sebelum selesai kelas, dirinya pergi ke toilet, setelah itu kami belum menemukan Sinta yang kembali dari sana." Mendengar penjelasan Ara, Bima langsung berlari kencang menuju lantai tiga.
Prada, Nuca, dan Ino yang baru datang dari arah pintu depan kampus merasa panik ketika melihat Bima yang berlari kencang ke arah tangga. Mereka yang juga memarkir sepeda motor secara sembarangan seperti halnya Bima pun mematung melihat seberapa cepat Bima berlari. Bima yang tinggi itu langsung melompati dua anak tangga sekaligus, alih-alih menaiki tangga satu per satu. Di belakang Bima, ada Ara dan Fanya yang berteriak ke arah mereka. Ketiga lelaki yang tersadar itu pun langsung mengikuti langkah ketiga teman mereka yang lebih dulu berlari menaiki tangga.
"Kemana?" Tanya Prada dengan panik kepada Ara dan Fanya.
"Toilet lantai tiga." Sahut Fanya.
"Gawat!" Prada berseru dan mempercepat langkahnya untuk menyusul Bima. Sebab gerakan cepat Bima terlihat begitu menakutkan saat ini, dirinya perlu untuk menenangkan temannya yang satu itu.
Bima telah sampai di depan pintu toilet perempuan. Ia segera mencoba membuka gagang pintu, namun gagal. Bima berdecak ketika tahu jika pintunya terkunci, sengaja dikunci.
Ketika melihat Bima yang mundur beberapa langkah ke belakang, Prada, Nuca, dan Ino segera mencegah tubuhnya dari depan.
"Bisa jadi Sinta ada di balik pintu ini, dan jika kau mendobraknya, kau akan menyakitinya." Kata Prada.
Bima menggeram, Ino yang tadinya ikut serta dalam memegangi Bima itu menundukkan badannya. Ia berlutut dan mencoba melihat ke arah celah bawah pintu.
"Tidak ada siapa-siapa di balik pintu ini." Kata Ino yang tak melihat adanya sesuatu yang menghalangi pandangan matanya.
Prada dan Nuca melepaskan pegangan tangan mereka pada Bima dan membuat Bima mundur beberapa langkah. Saat ini, beberapa orang melihat ke arah sekelompok lelaki dan perempuan yang fenomenal di kampus mereka. Bagaimana tidak, Bima dan yang lainnya itu berlari dengan begitu kencangnya menuju ke lantai tiga dan menabrak sesiapa yang menghalangi jalan mereka.
Beberapa langkah ke belakang diambil oleh Bima sebelum tubuhnya menabrak pintu toilet perempuan yang terkunci itu. Brakk! Pintu yang tadinya terkunci itu terbuka lebar. Bima langsung merangsek masuk dan mendapati bilik toilet paling pojok diikat oleh tali sedemikian rupa. Ia membuka ikatan tali itu dengan gerakan cepat dan mendapati Sinta terduduk di lantai di dalam bilik toilet tersebut.
Bima berjongkok di hadapan Sinta, "Ta, Ta bangun. Ta?" Kata Bima sambil menepuk pelan pipi Sinta. Karena tak kunjung terbangun, Bima mengecek pergelangan tangan Sinta guna mencari denyut nadinya.
"Ada yang punya minyak angin atau semacamnya?" Bima menoleh ke belakang dan bertanya kepada teman-temannya serta teman-teman Sinta. Terlihat Ara yang mengaduk-aduk totebag miliknya dan mengeluarkan satu botol kecil minyak kayu putih.
Bima menerimanya dan langsung beralih kembali ke Sinta yang saat ini sedang pingsan. Bima meluruskan kaki Sinta yang tertekuk dan melepaskan lakban yang ada di tubuh Sinta, dibantu oleh Ara dan Fanya. Setelah semua telepas, Bima mengoleskan minyak kayu putih ke hidung Sinta.
"Ta, bangun. Sinta." Kata Bima sambil terus mencoba membangunkan Sinta. Teman-teman Bima dan Sinta menatap Sinta dengan panik. Mereka begitu tak menyangka hal ini bisa terjadi. Sesuatu yang begitu buruk begitu tak disangka menimpa teman mereka.
Terdengar Bima menggeram saat Sinta tak kunjung membuka matanya. Saat emosinya memuncak dan nyaris membuatnya bertindak hal yang gila, Sinta terlihat menggerakkan matanya. Kelopak mata Sinta perlahan terbuka.
Cahaya perlahan-lahan masuk ke mata Sinta. Dirinya yang merasa silau itu mencoba untuk menutup matanya dengan tangannya. Samar-samar ia melihat seorang lelaki berlutut di hadapannya.
"Mas Bima?" Tanya Sinta ketika melihat wajah panik nan kusut milik Bima. Rambutnya terlihat sangat berantakan.
"Bagaimana, bagaimana keadaanmu?" Tanya Bima dengan napas tersengal.
Sinta menghela napas sambil memeluk tubuh Bima di hadapannya. Terdengar isakan kecil Sinta yang memeluk Bima dengan erat. Sinta menangis dan Bima membalas pelukan Sinta dengan tak kalah erat. Dirinya begitu lega saat tahu jika Sinta sudah baik-baik saja, setidaknya saat ini dirinya baik, walaupun menangis adalah tanda yang tidak baik bagi Bima. Bima merasakan emosi yang begitu memuncak di dalam dirinya. Ia tahu siapa pelaku yang melakukan semua ini kepada Sinta, namun dirinya harus menahan emosinya karena saat ini keadaan Sinta lebih penting.
Sinta masih terisak di dalam pelukan Bima, butuh beberapa menit sebelum Sinta melepaskan pelukannya dan mengusap-usap air mata yang membasahi wajahnya. Bima memegang wajah Sinta dan menatap matanya lekat-lekat. Mereka berpandangan beberapa detik sebelum Sinta kembali meneteskan air mata.
"Aku tak tahu seberapa banyak mereka menaruh obat bius di sapu tangan yang mereka gunakan untuk menutup hidungku." Kata Sinta sambil terisak yang membuat Bima semakin mati-matian menahan emosinya. Dia menarik perlahan tubuh Sinta kembali ke dalam pelukannya.
"Tenang, aku ada di sini. Maaf aku tak bisa datang lebih cepat dan mencegah mereka melakukan hal ini kepadamu." Kata Bima menenangkan Sinta.
Pemandangan di hadapan Prada, Nuca, Ino, Ara, serta Fanya itu begitu mengundang air mata. Ino memutuskan untuk keluar dari toilet dan mengusir semua orang yang melihat ke arah mereka. Ada petugas kampus juga yang mendatangi tempat ini, Ino pun menjelaskan apa yang sedang terjadi dan memberitahu jika mereka akan bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi. Nuca menundukkan wajahnya ke arah kakinya, Prada berjongkok dan mengingatkan Bima untuk segera pergi, sedangkan Ara dan Fanya, mereka menangis.
Bima berbisik kepada Sinta untuk pergi dulu ke tempat lain. Bima menawarinya untuk mengantarnya pulang, namun Sinta berkata, "Tidak, aku tidak mau pulang dengan keadaan seperti ini."
"Ke kosku saja." Tawar Fanya yang kini masih sesenggukkan.
Mereka pun bersama-sama mengantar Sinta menuju kos Fanya. Banyak mata memandang ke arah mereka ketika mereka berjalan menuju motor Bima yang terparkir di depan gedung fakultas. Bima mengalungkan tangannya di pinggang Sinta yang menatap lurus ke depan dengan mata sembabnya. Ia menatap balik semua pasang mata yang menatap ke arahnya dan membuat mereka mengalihkan pandangan. Belum lagi ditambah dengan tatapan tajam milik Bima yang seakan-akan hendak membunuh seseorang yang membalas tatapan matanya. Hal itu semakin membuat semua orang menepi, memberikan mereka jalan.
Mereka pun menaiki motor masing-masing dan melajukannya ke tempat kos Fanya. Fanya dan Ara melajukan motor mereka di paling depan guna memberi arah pada ketiga motor kakak tingkat mereka. Sesampainya di tempat kos Fanya, Sinta duduk di bangku panjang yang ada di depan kos Fanya dan mencoba memberi kabar pada Bunda jika dirinya pulang terlambat.
"Langsung masuk saja, ya?" Tawar Bima.
"Tidak, aku akan duduk di sini saja."
"Masuk saja, Ta." Kata Fanya yang dibalas gelengan kepala oleh Sinta.
Bima menghela napas dan duduk di sebelah Sinta.
"Kenapa tidak masuk?"
"Aku ingin duduk di sini saja biar kau tak pergi." Bima terdiam mendengar perkataan Sinta dan mengusap bahunya.
"Apa yang kau akan lakukan ketika aku membiarkanmu pergi saat ini?" Tanya Sinta sambil menatap mata Bima. Bima tetap diam sambil menatap balik mata Sinta yang saat ini menatapnya. Butuh beberapa menit sebelum Bima berkata, "Aku akan menemui seseorang yang melakukan hal buruk itu kepadamu." Kata Bima dengan suara berat nan dingin.
"Kau sendiri yang bilang jika kita membalas perlakuan tidak penting itu, kita hanya membuang-buang waktu."
"Memang, tapi tindakannya padamu kali ini sungguh tindakan yang sangat penting karena dia telah berani mencelakaimu."
"Aku tidak apa-apa."
"Jangan berkata hal-hal yang tidak masuk akal." Sinta terdiam mendengar perkataan Bima. Saat ini Bima terlihat sangat menakutkan karena dirinya seperti ingin menerkam seseorang. Sinta bisa melihat kilatan api di dalam mata Bima yang begitu kelam dan dalam itu.
Sinta mengalihkan pandangannya sambil menghela napas, "Aku tak mau jika Bunda melihatku dalam keadaan menangis seperti saat ini. Bunda pasti cemas, aku tak mau jika Bunda tahu akan kejadian ini."
"Aku akan mengantarmu pulang setelah kau merasa tenang."
Beberapa menit setelahnya, Sinta memutuskan untuk mencuci mukanya ke dalam kamar mandi yang ada di tempat kos Fanya. Setelah dirinya mencuci muka, Sinta meminta tolong kepada Bima untuk mengantarnya pulang.
"Lho, kalian pergi berdua?" Tanya Bunda ketika melihat Bima mengantar Sinta pulang.
"Iya, Bunda." Jawab Sinta dengan tertawa. Bima yang mendengar tawa Sinta itu pun menatapnya dengan lekat.
"Ayo masuk dulu, Nak." Kata Bunda kepada Bima, Bima menoleh ke arah Bunda dan berkata, "Maaf Tante, Bima harus segera pergi. Ada orang tua saya yang baru datang dari Jakarta."
"Lho, orang tuamu datang?" Tanya Sinta dengan terkejut.
"Ya. Acara pernikahan sepupuku hari Minggu besok jika kau lupa. Tapi tak perlu memikirkan hal itu." Sinta tahu maksud perkataan Bima. Bima bermaksud untuk membuat dirinya tak terlalu memikirkan ajakan Bima untuk pergi ke acara pernikahan sepupunya, tak apa jika dirinya tak datang.
"Sepupumu akan menikah?" Tanya Bunda.
"Iya, Tante."
"Wah, sampaikan ucapan selamatku untuknya."
"Iya, Tante. Kalau begitu, saya pamit dulu, Tante." Kata Bima kepada Bunda, kini, giliran dirinya berkata kepada Sinta, "Beristirahatlah."
Melihat Sinta dan Bima yang sepertinya ingin berbicara berdua, Bunda masuk kembali ke dalam rumah.
"Tante masuk dulu, ya."
"Iya, Tante."
Setelah Bunda masuk ke dalam rumah, Sinta berkata kepada Bima, "Kenapa kau tak bilang jika kedua orang tuamu datang?"
"Lalu kenapa?"
"Jika kau bilang, aku tak akan menahanmu untuk tetap bersamaku."
"Kau tak menahanku, aku memang mau untuk tetap bersamamu." Perkataan Bima membuat Sinta terdiam. Dari wajah Sinta yang terlihat tak ingin membalas perkataannya, Bima pun melanjutkan, "Beristirahatlah. Jangan membicarakan hal ini dengan kedua sahabatmu."
"Kenapa?"
"Kau tak mau membuat Saka datang dari Jawa Tengah kemari, bukan?" Sinta terkekeh mendengar jawaban Bima. Dia benar.
Setelah itu, Bima langsung melajukan motornya ke rumah Prada. Dirinya membutuhkan Prada dan kedua temannya untuk tak berbicara kepada kedua sahabat Sinta. Dirinya pun membicarakan hal tersebut dengan Ara serta Fanya.
Sinta yang telah melepas kepergian motor Bima itu pun berjalan masuk ke dalam rumahnya sebelum memutuskan untuk membersihkan dirinya. Setelah dirinya selesai dengan semua kegiatan yang harus dirinya lakukan di sore hari, Sinta langsung memutuskan untuk tidur dan melupakan kejadian buruk yang menimpa dirinya.
Ketika dirinya bangun, terlihat Bunda duduk di hadapannya dan memanggil-manggil namanya.
"Ada kakak Saka di ruang tamu."
"Apa? Saka?" Sinta terbangun dari tidurnya dengan terkejut bukan main.
"Kakaknya." Sahut Bunda.
"Oh. Kenapa Mas Prada kemari?" Saat ini pukul lima lebih, dan di jam ini, kedatangan Prada memantik pertanyaan. Sebenarnya bukan perkara jam, hanya kedatangan Prada saja yang tidak biasa.
"Temui saja dulu." Sinta pun turun dan menghampiri Prada.
"Ada apa, Mas?" Tanya Sinta saat dirinya telah duduk di salah satu kursi yang ada di ruang tamu.
Prada tersenyum ke arahnya, "Bagaimana keadaanmu?"
"Lebih baik."
"Aku sangat menyesal dengan apa yang terjadi padamu hari ini." Kata Prada dengan pelan, karena takut bunda Sinta mendengar perkataannya.
Sinta tersenyum, "Terima kasih sudah mau datang dan menolongku."
"Bukan masalah."
"Mas Prada datang kemari ada urusan apa?"
Prada terlihat kikuk di tempatnya duduk, "Oh, itu. Aku hanya, hanya ingin memberimu sesuatu." Sinta mengerutkan keningnya ketika melihat Prada tidak seperti biasanya.
"Ini, minumannya." Kata Bunda memecah suasana.
"Terima kasih, Tante. Maaf merepotkan."
"Tidak, tidak masalah. Tante tinggal ke belakang, ya."
"Iya, Tante. Terima kasih." Kata Prada yang dibalas senyuman oleh Bunda.
Kepergian Bunda membuat Prada kembali fokus pada Sinta, "Ada sesuatu yang ingin aku berikan padamu. Seharusnya bukan aku yang memberikannya kepadamu. Tapi, ya sudahlah."
"Oke." Sinta berkata dengan ekspresi bingung yang begitu kental di wajahnya. Ekspresi keterbingungannya itu berubah menjadi ekspresi terkejut ketika Prada mengeluarkan sebuah amplop dan mengulurkan amplop tersebut ke arahnya.
"Maafkan aku jika aku harus memberimu ini ketika saat ini kau sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja." Kata Prada dengan ketidakenakan yang dirinya rasakan.