Terdengar suara ketukan beberapa kali, sebelum pintu kamar itu terbuka, "Sinta mengetahuinya."
Suara helaan napas terdengar sebagai balasan dari pernyataan yang baru saja terlontar itu, "Masuklah."
"Apa yang harus aku lakukan? Ia pasti tak akan percaya lagi padaku. Aku akan kehilangannya. Bagaimana?"
Jeda beberapa saat, lalu, "Mau bagaimana lagi? Itu sudah terjadi."
"Pasti ada solusinya, berikan aku jalan keluarnya."
"Sudah kubilang, jangan kau temui Bima."
"Dia mengetahuinya, aku harus melakukan sesuatu."
"Lalu, lihat apa yang kau lakukan."
"Aku tak tahu jika Sinta datang."
"Lihat. Yang. Kau. Lakukan."
"SUDAH KUBILANG! Aku tak tahu jika Sinta datang!"
Kursi berderit, tanda seseorang bangkit dari duduknya. Disusul langkah kaki yang perlahan berjalan ke depan, "Kau membentakku?"
Helaan napas kembali terdengar, "Maaf, maafkan aku."
"Dengar, aku sudah memperingatkanmu untuk berhati-hati. Jangan temui Bima, tetaplah pada rencana. Asal kau tahu, di malam sebelum kau menemui Bima, mereka berdua berdebat tentangmu. Bahkan, hubungan keduanya berakhir. Lalu, lihat. Kau justru datang menemui Bima dan berakhir pada Sinta yang mengetahui semua tabiatmu. Lalu kau ingin aku berbuat apa? Mengeluarkanmu dari lubang yang kau gali sendiri? Kau telah mengenalku, Saka. Kau tentu tahu bagaimana aku. Mereka pasti telah banyak bercerita tentangku."
Saka diam beberapa saat, "Apa maksudmu?"
"Yang kumaksud adalah aku tak akan membiarkanmu melibatkanku pada kesalahan yang kau perbuat sendiri."
"Kesalahan yang kuperbuat sendiri? KAU YANG MEMBUATKU MELAKUKAN SEMUA INI!"
"Aku tak menyuruhmu melakukan kesalahan."
Saka tertawa, "Mereka benar. Kau adalah pengadu domba. Seorang pengecut yang sembunyi dibalik ketiak orang lain! Seharusnya aku tak perlu mengikuti semua permainan bodohmu ini. Semua obsesi bodohmu ini! Sinta sungguh beruntung, menolakmu ketika kalian berada di sekolah menengah pertama adalah keputusan terbaik. Orang manipulatif sepertimu tak pantas memiliki Sinta sebagai kekasih! Aku akan mendatangi mereka, akan kubuat kau kehilangan mereka! Akan kuberitahu mereka tentang kebusukanmu selama ini!"
Saka berlari, bergegas menaiki motornya menuju ke rumah Sinta. Ia melaju secepat yang ia bisa. Dan ketika ia sampai ke tempat tujuan, ia segera mengetuk pintu rumah Sinta. Kehadiran Saka disambut oleh Bunda yang langsung mempersilakan Saka masuk tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Saka berlari naik, menuju kamar Sinta yang terbuka. Di sana, tampak Sinta menangis, dan Ruri sedang menenangkannya. Kehadiran Saka tentu sudah diketahui, sebab kedua sahabat ini telah hapal bagaimana suara deru motor milik sahabatnya itu.
"Berani-beraninya kau kemari." Kata Ruri tanpa menoleh sedikit pun ke arah Saka. Saka yang berdiri kaku itu mencoba melangkahkan kakinya untuk mendekat ke arah Sinta dan Ruri, "Aku-"
"Pergi." Kata Sinta yang kini telah duduk dengan tegak. Ia mengusap wajahnya dari air matanya yang terus-menerus menetes.
"Aku harus menjelaskan sesuatu. Tolong dengarkan aku." Kata Saka.
"Ada apa lagi, Sa? Tak cukup dengan semua pengakuanmu kepada Mas Bima?"
"Tolong, sekali ini saja dengarkan aku." Ketika Saka mengatakan hal itu, terdengar suara langkah kaki mendekat dari arah belakang. Saka menoleh, dilihatnya Banu berjalan mendekat dan melewatinya begitu saja untuk masuk ke dalam kamar Sinta.
"Aku datang karena Ruri memberitahuku jika ada pengkhianat di antara kita. Dan aku tak menyangka jika kau adalah orangnya, Sa." Kata Banu sambil berjalan ke belakang Sinta dan Ruri yang kini duduk di atas ranjang.
Saka menatap Banu dengan tatapan tajam, "Aku punya penjelasan."
Sinta menghela napas, "Baiklah. Cepat jelaskan dan cepat pergi."
"Aku memang pelakunya. Aku yang membuat teror itu. Aku memang orang yang meneror semua lelaki yang mendekatimu. Dan Zizi, aku juga yang menyuruhnya melakukan itu. Aku minta maaf. Tapi, ada hal lain yang harus kalian tahu. Dia adalah otak di balik semua tindakan burukku itu. Dia adalah orang yang sebenarnya memiliki obsesi gila terhadapmu, Ta. Dia yang melakukannya, dia melakukan itu karena tak bisa mendapatkanmu. Kau ingat jika di masa sekolah menengah pertama, dia mendekati kalian, mendekatimu. Namun kau menolaknya karena kau tahu jika sahabatmu telah jatuh cinta padanya. Dia sakit hati karena itu dan pada akhirnya memutuskan untuk menghalangi setiap lelaki untuk mendekati dirimu. Dia mengancam semua lelaki dengan kemampuan bela dirinya itu, dan ketika pada akhirnya ia bertemu denganku, ia memanfaatkanku untuk melanjutkan teror yang ia mulai. Memanipulasi semuanya hingga hanya aku yang tampak sebagai satu-satunya pelaku. Padahal yang terjadi sebenarnya adalah dia pelaku utamanya. Pelaku sebenar-benarnya adalah Banu."
Sinta terkekeh sebagai balasan, sedangkan Ruri dan Banu hanya terdiam.
"Kau bicara apa?" Tanya Sinta.
"Kalian sendiri yang bilang bagaimana tabiat Banu di masa lalu. Ia bukan pribadi yang mau mengalah. Jika ia tak mendapatkan hal yang ia mau, ia tak akan membiarkan orang lain mendapatkannya. Kalian juga sendiri yang bilang jika Banu memanipulasi, mengadu domba seniornya di masa lalu. Itu sebuah bukti jika Banu adalah orang yang mampu melakukan semua hal gila yang aku jelaskan."
"Sudah, Sa. Pergilah."
"Tidak, Ta. Aku tak akan meninggalkan kalian dengan lelaki itu. Tak akan kubiarkan itu terjadi. Tolong percayalah padaku."
Ruri yang sejak tadi menatap Saka akhirnya berbicara, "Kami tahu jika kau menyesali perbuatanmu, Sa. Tapi jangan kau menuduhkan hal yang begitu buruk kepada orang lain. Banu tak ada hubungannya dengan ini semua."
Saka menggeleng, "Tidak, tidak. Ia justru orang yang memegang kendali, Ri. Kutanya padamu, bagaimana selama ini kau mengetahui keadaan Sinta? Bagaimana kau tahu jika Sinta sedang ada masalah? Bahkan saat ini, bagaimana kau tahu?"
Ruri menatap ke arah Saka dengan tatapan tajam, "Aku sungguh tak mengerti dengan semua hal yang kau katakan, Sa. Bagaimana aku tahu? Tentu saja aku tahu, aku adalah sahabatnya. Sinta dan Banu, mereka juga sahabatku, tentu kami tahu keadaan satu sama lain. Tak ada yang aneh dengan hal itu. Dan satu lagi, hari ini aku datang ke rumah Sinta, karena Mas Bima yang memberitahuku. Ia menceritakan semua hal yang terjadi dan menyuruhku untuk datang karena ia sadar jika Sinta tak akan mau menemuinya jika ia yang datang ke sini."
"Kau harus percaya padaku, Ri. Banu bukan orang yang baik. Ia tak mencintaimu. Bukan kau-"
"CUKUP! Sudah kubilang kepadamu untuk pergi!" Sinta membentak Saka untuk segera pergi.
Saka yang tahu jika ia tak memiliki kesempatan pun merasa begitu kecewa pada dirinya sendiri, "Jangan kau berani menemuiku atau sahabat-sahabatku lagi. Pergi."
Senyap. Tak ada lagi suara, dengusan, atau helaan napas kecewa dari keempat orang itu. Semuanya diam. Hingga langkah kaki Saka lamat-lamat terdengar. Langkah kaki yang terpaksa diseret supaya bergerak itu tampak lesu. Ia berat meninggalkan kedua sahabatnya. Namun, tak ada lagi yang bisa ia lakukan. Mereka tak akan lagi bisa mempercayai dirinya atau semua perkataannya.
Hingga ia berhasil untuk pergi, meninggalkan kedua sahabatnya bersama lelaki yang kini menyeringai puas.