"Apa?" Tanya Reksa kepada Ruri. Seseorang yang dicari-cari oleh Ruri sedari tadi adalah Reksa.
"Apakah benar jika kamu yang memberi luka di pelipis kiri Saka?" Ruri enggan untuk melakukan basa-basi. Ia berniat langsung saja membahas persoalan ini langsung ke intinya.
Reksa terdiam beberapa saat, dirinya terlihat berpikir terlebih dulu sebelum menjawab pertanyaan Ruri.
"Iya."
Ruri merasakan jika tubuhnya lemas, kakinya tak kuat menopang beban tubuhnya sehingga ia harus bersandar di dinding.
"Jadi semua itu benar?"
"Apa?"
"Foto yang ada di dalam tas Saka adalah perbuatan Saka?"
Reksa memandanginya bingung, "Bukan, itu bukan ulahnya." Jawaban Reksa membuat Ruri terkejut.
"Bukan?"
"Itu adalah teror yang didapat oleh Saka, sama seperti teror yang juga aku dapatkan. Aku belum yakin siapa yang melakukannya, sebab aku tak peduli lagi dengan segala ancaman dan teror itu." Setelah Reksa berbicara hal tersebut, ia lalu pergi meninggalkan Ruri.
Reksa yang pergi meninggalkan Ruri itu menyisakan banyak pertanyaan di benak Ruri. Dirinya dilanda kebingungan yang teramat sangat, sebab dirinya dibuat bingung oleh keadaan. Apa yang sebenarnya terjadi pada sahabatnya?
"Tuhan, siapa yang mengatakan kebenaran kepadaku?" Keluh Ruri.
Kebingungan melanda Ruri, dirinya kembali mengetahui sebuah fakta yang berhasil menambah pening kepalanya. Ia tak tahu harus menilai siapa yang mengatakan kebenaran dan mana yang mengatakan kebohongan. Yang Ruri tahu adalah, saat ini ia akan menyelamatkan siapa yang ia nilai membutuhkan pertolongan, dengan dirinya yang akan terus mencari-cari kebenaran.
Musik yang mengiringi acara dansa pun selesai dilakukan, Ruri segera kembali ke tempatnya semula guna menemui kedua sahabatnya. Ia kembali dengan membawa dua gelas air minum yang ia ambil di meja minuman. Ketika Sinta melihat Ruri berdiri dengan kedua tangan yang memegang minuman itu pun tersenyum lebar.
"Silakan diminum ratuku." Kata Ruri dengan membungkukkan badannya.
"Terima kasih." Sahut Sinta dengan menerima uluran tangan Ruri.
Mereka berdua tertawa, diikuti oleh tawa yang juga dikeluarkan oleh Saka. Ia mengambil minuman yang Ruri berikan kepadanya dan meminumnya.
"Bagaimana rasa minumannya ratuku?"
"Terasa segar dan menghilangkan rasa dahagaku. Minuman ini bahkan lebih segar dari minuman yang dibawakan oleh Saka." Kata Sinta dengan maksud menyindir.
"Ah, minuman itu. Ya, sepertinya minuman yang kamu minum saat ini terlihat lebih segar dari minuman yang diberikan oleh Raja." Tambah Ruri. Ia menambahkan sindiran yang pertama kali dilontarkan oleh Sinta. Mereka mnyindir Saka yang beberapa saat lalu berkata hendak mengambil minum untuk mereka berdua, namun yang ia lakukan justru menyanyikan sebuah lagu untuk Sinta di atas panggung.
Saka tertawa terbahak-bahak, "Maafkan aku. Aku hanya ingin tak terlihat seperti menghindari kalian, jadi aku pakai saja alibi mengambilkan kalian berdua minuman."
"Iya, tidak masalah. Kamu menggantinya dengan layak. Suaramu begitu menyejukkan dahaga di dalam hatiku." Kata Sinta mendramatisir.
"Oh ayolah, kalian seharusnya lebih menghargaiku di sini," kata Ruri. Sinta pun tertawa dan merangkul bahu sahabat baiknya.
Malam puncak dari pekan lomba telah terselesaikan. Keramaian, kerlap-kerlip, serta kebahagiaan malam itu telah terganti dengan pekan belajar seperti biasa di sekolah. Siswa tahun akhir langsung ditampar dengan segala persiapan mereka menjelang ujian dan proses kelulusan. Mereka harus fokus pada les-les dan pembelajaran supaya mendapat hasil yang memuaskan.
Segala kesibukan siswa tahun akhir menambah daftar tugas milik Ruri. Selain harus fokus pada urusan pendidikan, dirinya juga harus memikirkan masalah yang dialami oleh sahabatnya. Ruri yang telah memantapkan hati untuk mencari kebenaran sekaligus membantu sahabatnya ini harus menyusun sebuah rencana. Walau ia dilanda dengan kebingungan atas kebenaran fakta, ia telah memiliki rencana yang akan ia jalankan guna mencapai tujuannya itu.
"Apa rencana kalian setelah SMA? Kita belum pernah mengobrol tentang itu." Tanya Ruri.
"Aku ingin kuliah." Kata Saka.
"Aku juga." Sahut Sinta.
Ruri ingat sesuatu, "Oh, iya. Kamu pernah bilang jika ingin berkuliah di Jawa Tengah ya, Sa?"
Sinta menoleh ke arah Ruri, "Kapan Saka pernah bilang hal itu?"
"Pernah, aku pernah membicarakan hal itu kepada kalian saat kita masih dalam kegiatan masa orientasi." Kata Saka menjawab pertanyaan Sinta.
"Kok aku tidak tahu?"
"Kamu lupa. Jelas kamu lupa. Kalau kamu ingat, justru itu aneh." Kata Ruri dan membuat Saka tertawa.
"Ya, kamu lupa, Ta. Aku memang pernah bilang jika aku ingin berkuliah di Jawa Tengah. Perguruan tinggi itu menjadi perguruan tinggi idamanku sejak lama."
"Jauh sekali." Kata Sinta.
"Memangnya kamu berencana kuliah di mana?" Tanya Ruri.
"Tidak tahu, aku belum berpikir mengenai hal itu."
"Di perguruan tinggi yang sama denganku saja, nanti kita bisa kuliah di kampus yang sama. Nanti kita juga bisa memiliki tempat tinggal yang tak berjauhan seperti saat ini." Kata Saka.
Sinta menatap Saka dengan senyumannya. Meskipun dirinya tidak mengeluarkan kata-kata, Ruri merasa jika dirinya ketakutan dengan ekspresi yang diberikan Sinta kepada Saka. Saat Ruri teringat banyak foto dengan noda merah itu, Ruri merasa jika sepertinya dirinya harus bertindak cepat supaya Sinta menolak ajakan Saka. Ia tak yakin dengan yang ia akan lakukan, sebab hal itu mungkin saja akan menghancurkan hubungan sepasang kekasih ini. Namun jika fakta yang pernah dikatakan seseorang kepadanya itu adalah kebenaran yang sesungguhnya, kengerian yang lebih ngeri pasti akan terjadi kepada sahabatnya itu. Dan tentu ia tak akan membiarkan hal itu menimpa sahabatnya. Jadi, mau tak mau, dirinya harus melakukan sesuatu. Meski hal itu akan menghancurkan hubungan Sinta dan juga Saka.
Beberapa bulan menjelang kelulusan. Hal itu menandakan jika Ruri tak memiliki banyak waktu. Ia yang waktu itu masih dilanda kebingungan pada akhirnya harus memutuskan langkah dengan cepat. Meskipun belum yakin, tapi ia telah berpikir jika langkah yang ia ambil adalah langkah yang menurutnya paling baik. Jadi, saat itu Ruri berpacu dengan waktu. Ia berkejaran dengan jam-jam belajarnya, ujiannya, juga waktu kelulusan yang semakin mendekat.
"Aku ingin sekali mengambil Jurusan Farmasi di salah satu perguruan tinggi di kota ini, agar tak perlu mengeluarkan biaya untuk kos. Lalu aku juga tak perlu jauh dari keluarga," kata Ruri. Saat ini mereka sedang berada di rumah Sinta, Ruri menginap di sana.
Sinta tersenyum mendengar perkataan Ruri. Ia sangat menyadari sifat Ruri yang begitu mencintai keluarganya, "Kalau begitu daftar saja, aku yakin kamu pasti diterima."
"Amin. Iya, aku berencana untuk mendaftarkan diri di sana. Tapi rasanya sedih sekali jika tahu kita tak bisa bersama-sama lagi. Tak bisa naik bus berdua, tak bisa satu bangku lagi, dan banyak lagi yang lainnya."
Sinta memeluk Ruri dan berkata, "Aku juga sedih tentang itu. Ditambah lagi aku yang belum tahu mau mendaftar ke perguruan tinggi mana."
"Lho, bukannya kamu akan mendaftar ke perguruan tinggi yang ada di Jawa Tengah sama seperti Saka?"
Sinta memicingkan mata, "Kapan aku mengatakan hal itu?"
"Kamu memang belum pernah berkata apa-apa soal itu, namun sepertinya kamu setuju saat dulu diajak Saka untuk berkuliah di tempat yang sama dengan dirinya."
"Belum, aku belum berpikir soal itu."
"Kalau begitu, aku masih punya kesempatan untuk merayumu, ya?"
"Merayuku supaya satu kampus denganmu?"
Ruri mengangguk, "Kudengar, perguruan tinggi yang aku inginkan itu memiliki jurusan bahasa yang bagus. Kamu tentu tahu, kan betapa serunya Mas Prada saat bercerita tentang kampusnya. Ditambah lagi kamu sudah memiliki bakat untuk itu."
Sinta mengangguk dengan semangat, "Ya, aku selalu suka jika Mas Prada bercerita tentang kampusnya. Tapi aku tak terlalu tertarik saat dirinya membahas mengenai teater yang ia ikuti."
Ruri tertawa terbahak-bahak, "Tapi justru itu yang menjadi bagian paling serunya!"
"Aku sebenarnya tertarik dengan Jurusan Sastra Indonesia. Aku punya bakat di sana. Tapi aku belum membicarakan masalah ini dengan Bunda dan Ayah. Aku takut jika mereka tidak setuju. Sebab jika mereka tak setuju, aku tak tahu harus memilh jurusan apa lagi."
Seketika Ruri terpikirkan sebuah ide yang sangat cerdas, "Aku bisa membantumu untuk berbicara dengan orang tuamu." Saat mendengar ide dari Ruri, Sinta tersenyum lebar. Ia tahu jika ide milik sahabatnya ini adalah ide yang cemerlang, sebab dirinya tahu jika Ruri adalah orang dengan kemampuan diplomasi yang tinggi, ditambah kedua orang tua Sinta percaya kepada Ruri. Jadi, itu tentu akan menjadi hal yang mudah.
Setelah itu Ruri menjadi sering sekali ke rumah Sinta, hampir setiap hari ia datang. Dan hal itu memancing kecurigaan Saka.
"Hari ini kamu akan pergi ke rumah Sinta lagi?" Tanya Saka kepada Ruri.
"Iya."
"Sepertinya akhir-akhir ini kamu sering sekali ke rumah Sinta."
"Iya, Ruri sedang dalam misi." Kata Sinta kepada kekasihnya.
"Misi? Misi apa?"
"Ruri akan meyakinkan Bunda dan Ayah supaya memperbolehkanku berkuliah di Jurusan Sastra Indonesia."
"Oh, kamu jadi mengambil jurusan itu? Di kampus yang sama denganku?"
Sinta diam sejenak, "Aku belum memikirkan itu, tapi itu menjadi urusan belakangan. Yang penting kedua orang tuaku setuju dulu aku berkuliah di Jurusan Sastra Indonesia." Saka hanya mengangguk.
Sinta menyambut kedatangan Ruri di rumahnya dan ternyata dirinya tidak datang sendirian, namun datang bersama dengan Saka. Kedatangan Saka di luar dugaan Sinta, bahkan juga di luar dugaan Ruri. Namun, Sinta tetap mempersilakan mereka berdua masuk ke dalam rumahnya.
"Tante, Ruri membawa kue yang dibuat Ibu hari ini." Ibu Ruri memliki usaha yakni usaha pesanan kue. Jadi, kue tidak dibuat setiap hari, hanya dibuat saat ada pesanan saja.
"Wah, terima kasih. Hari ini banyak pesanan, Ri?" Tanya Bunda.
"Iya, Tante. Dan Ibu sengaja membuat lebih untuk diberikan ke Tante."
"Jadi merepotkan ibumu. Terima kasih, ya. Kuenya seperti biasa, enak sekali." Kata Bunda sambil memakan kue yang diberikan oleh ibu Ruri.
"Tidak repot, Tante."
"Kalian sudah makan, kah? Jika belum Tante siapkan makan."
"Sudah, Tante." Kata Ruri dan Saka bersamaan.
"Nanti, kalau kalian lapar, bilang saja. Tante ada di dapur." Kata Bunda yang dihadiahi anggukkan oleh Ruri dan Saka.
"Kita mengobrol di ruang tengah saja, ya. Bunda sedang memasak." Kata Sinta. Bunda yang mendengar ucapan Sinta itu pun menatap mereka panik dan berkata, "Sepertinya aku harus menyelamatkan lauk paukku dari kepunahan." Sinta dan yang lainnya tertawa.
Di sore yang cerah itu, mereka duduk tenang di kursi ruang tengah milik keluarga Sinta. Mereka saling bertukar cerita dengan sesekali Bunda menimpali. Mereka juga tak lupa dengan misi milik Ruri. Mereka sebisa mungkin bersikap dan mengobrol seperti biasa, dan lama kelamaan obrolan pun menjurus ke dalam misi yang Ruri punya. Mereka santai saat mengobrol hal itu. Namun tanpa mereka sadari, obrolan santai itulah yang mengarahkan mereka ke sebuah masalah yang besar dan fatal.
"Kamu akan mengambil jurusan apa, Sa?" Tanya Ruri kepada Saka.
"Aku ingin mengambil Jurusan Hukum."
"Oh, jadi kamu juga memiliki minat seperti kakakmu. Kan kakakmu semasa SMA juga masuk Saintek, namun saat kuliah ia memilih Soshum."
"Iya, hanya saja berbeda jurusan."
"Memangnya kakakmu mengambil jurusan apa, Sa?" Tanya Bunda. Saat Bunda bertanya demikian, Sinta beradu tatapan dengan Ruri.
"Jurusan Sastra Indonesia, Tante."
"Kuliah di mana?"
"Di perguruan tinggi yang ada di kota ini."
"Wah, enak, ya. Dekat. Tidak perlu mengeluarkan biaya untuk kos."
Ruri menyahuti perkataan Bunda, "Iya, Tante. Apalagi saat mendengar cerita-cerita tentang perkuliahan kakak Saka."
"Cerita apa?"
"Coba ceritakan, Sa." Kata Ruri kepada Saka.
"Jadi, Mas Prada sering bercerita tentang kuliahnya kepada kami. Ia bercerita jika di jurusan yang ia ambil itu, dibagi menjadi beberapa minat. Minat bahasa dan sastra. Mas Prada kebetulan memilih minat jurusan sastra, dan di dalam minat sastra itu, dibagi lagi menjadi tiga bagian. Ada puisi, prosa, serta drama. Ketiga cabang minat ini tidak untuk dipilih, tapi wajib diselesaikan semuanya. Mas Prada yang tergabung ke salah satu komunitas teater itu sering bercerita tentang teaternya. Kami sering diceritakan tentang proses kreatif di dalamnya. Seperti latihan gerak, mencipta naskah, membaca puisi, pentas mandiri, dan juga diskusi sastra." Jelas Saka panjang lebar.
"Saya sangat menyukai bagian saat kakak Saka bercerita mengenai pentas teaternya, Tante. Waktu itu, kita pernah menonton pertunjukkan langsung komunitas teater kakak Saka yang kebetulan mereka menampilkan pertunjukkan Mahabarata."
"Mahabarata? Oh, yang sewaktu itu kalian tonton?" Tanya Bunda.
"Iya, Tante." Jawab Ruri.
"Ini kenapa kita justru membahas soal pertunjukkan teater?" Sinta melakukan protes atas arah topik pembicaraan mereka.
"Karena itu adalah bagian yang seru untuk dibahas!" Seru Ruri.
"Betul!" Saka menambahkan.
Bunda tertawa, "Tante jadi ingat cerita kalian waktu itu." Kata Bunda mengarah pada topik pembicaraan yang Sinta tidak sukai.
"Oh, ayolah. Aku tidak punya waktu untuk kalian membahas kejadian itu lagi."
"Baiklah, baiklah. Kalau begitu ceritakan lagi tentang kakak Saka." Kata Bunda.
"Saya tertarik dibagian kakak Saka yang bercerita tentang kelas puisinya. Ia banyak bertemu dengan penyair-penyair dan bisa belajar langsung dari ahlinya. Walaupun banyak orang yang bilang jika Jurusan Sastra Indonesia adalah jurusan yang remeh dan gampang, menurut saya itu salah. Sebab kami tahu sendiri bagaimana pusingnya materi linguistik yang dipelajari oleh kakak Saka. Lalu Tante, untuk jurusan yang juga dibanding-bandingkan dengan sastra sebelah, alias Sastra Inggris, jurusan ini memiliki tes kemampuan bahasa yang lebih sulit dibandingkan bahasa Inggris. Ya, setidaknya itu menurutku. Sebab setahuku, untuk ukuran orang yang tidak jago di dalam bahasa Indonesia, pengetahuanku atas bahasa sendiri itu kurang. Sebab jika ditanya orang asing alasan saya menggunakan suatu kata dibandingkan kata yang lain, saya masih kesulitan untuk itu." Jelas Ruri.
"Ya, bahasa Indonesia memang seperti itu. Kita mungkin banyak menilai dan mengatakan jika mata pelajaran bahasa Indonesia adalah mata pelajaran yang mudah. Namun kenyataannya adalah kita masih banyak menemui kesulitan saat eksekusi. Apalagi jurusan yang diambil oleh kakak Saka. Jelas yang dipelajari akan memiliki taraf kesulitan yang lebih tinggi."
"Saya setuju, Tante. Tapi jika anak seperti Sinta yang memiliki kemampuan berbahasa yang baik, tentu ia tidak akan banyak menemui kesulitan. Ia justru mungkin juga bisa mengembangkan bakatnya." Kata Ruri.
"Mungkin saja itu benar. Aku suka jika bisa mengembangkan bakatku itu. Bunda juga selalu bilang padaku, kan, untuk mengikuti kelas atau kursus yang bisa semakin membuat bakatku terasah." Tambah Sinta.
"Apalagi untuk perguruan tinggi yang sama dengan kakak Saka, Jurusan Sastra Indonesia juga memiliki reputasi yang baik." Kata Ruri. Saka yang mendengar ucapan Ruri itu mengerutkan dahinya.
"Di perguruan tinggi yang hendak saya tuju juga memiliki fakultas bahasa dengan nilai yang baik." Kata Saka kepada Bunda dan Ruri hanya menatapnya.
"Memangnya di mana kamu akan mendaftar?" Tanya Bunda.
"Di perguruan tinggi yang ada di Jawa Tengah, Tante." Jawab Saka.
"Wah, jauh sekali. Jika memang Sinta ingin mengambil jurusan itu dan seperti ceritamu tadi, pasti enak jika Sinta bisa kuliah di perguruan tinggi yang sama dengan kakakmu. Kata Ruri tadi, jurusan di perguruan tinggi kakakmu itu juga bagus, jaraknya juga tidak jauh dari rumah ini. Pasti lebih enak." Kata Bunda yang membuat Saka terdiam.