Sinta mengharap sosok Bimasena sebagai kekasih. Berharap bisa mendampingi dan meneguhkan hati, bukan Rama yang menyakiti. Ia mengira jika Saka adalah Bimasena yang setia, sebab dirinya lah yang bisa membuat Sinta mengenal cinta. Mengira akan baik-baik saja, namun ternyata Saka bukanlah Bimasena yang ia cari, melainkan Rama yang dengan bangga mengakui dirinya sebagai kekasih, tidak dengan tulus mencintai.
Kala itu mereka resmi berpisah, meninggalkan kisah-kisah yang manis di ingatan, serta menjauh dari kata keakraban. Semua hal telah berubah, percakapan tak lagi hangat, ia dingin, dan rasanya seperti tak ingin. Hari-hari selanjutnya setelah itu adalah hari-hari yang biasa, mereka terbiasa bertemu, namun temu kali itu tak lagi seperti dulu. Sinta dan Saka yang terkenal dekat serta lekat, kini terasing. Banyak yang menilai buruk, tapi itu bukanlah hal yang penting bagi Sinta.
Ruri tahu tentang hubungan Sinta dan Saka yang telah berakhir, sebab setelah mereka putus, Sinta mendatangi dirinya di rumah. Ia menangis dengan menceritakan apapun yang baru saja terjadi antara dirinya dan Saka.
"Aku mengerti, putus cinta tak akan pernah menjadi mudah. Namun kamu harus tetap tahu, jika saat kamu bersedih, kamu masih punya aku sebagai sahabatmu. Mungkin akan sulit di kemudian hari, sebab Saka adalah sahabat kita juga, namun tak masalah. Aku akan membantu dan menemanimu melewati masa itu."
Sinta tahu jika dirinya adalah orang yang tak sempurna, tapi yang ia tahu, Ruri adalah orang yang menyempurnakan dirinya. Ia menjadi sahabat yang bisa mengatasi segala kekurangannya, selalu membantu dirinya dalam mengatasi setiap masalah yang ia punya. Dan saat itu Ruri menghela napas lega, dirinya tahu jika itu bukan hal yang baik untuk dilakukan. Mengingat saat ini Sinta sangat sedih, namun ia berpikir jika mungkin itulah yang terbaik untuk saat ini. Ia berharap jika semua akan segera baik-baik saja.
Di hari-hari berikutnya, Saka mencoba untuk kembali kepada sahabatnya. Ia mencoba memulai percakapan dan berlaku seperti biasa. Yang Sinta serta Ruri lakukan adalah mereka merespon segala yang Saka lakukan, hanya saja semua terasa berbeda. Rasa canggung menyusup ke celah-celah, membuat jarak terbentang di antara mereka bertiga.
"Apakah kalian mau pergi ke kantin?" Tanya Saka saat dilihatnya Sinta dan Ruri berdiri dari tempat duduk mereka.
Saat ini adalah jam istirahat, "Ya, kami akan makan di kantin. Kamu mau ikut?" Sahut Sinta.
Jika orang-orang kebanyakan akan saling memusuhi dan membenci sesaat setelah suatu hubungan percintaan berakhir, hal ini berbeda dengan Sinta dan juga Saka. Mereka sadar, jika rasa canggung muncul di antara mereka, namun mereka juga sadar jika mereka adalah seorang sahabat. Sinta tipe orang yang tak mau terlalu terpaku dengan satu hal. Dirinya yang merupakan seorang sahabat yang baik, tentu tak akan membiarkan dirinya dan Saka tidak bertegur sapa. Sebab bukan hal itu yang dilakukan oleh seorang sahabat. Jadi, setiap tindakan Saka yang terlihat ingin memperbaiki hubungan mereka seperti dulu pun ia terima dengan baik.
"Aku makan di kelas saja, hari ini aku membawa bekal." Kata Saka dan Sinta mengangguk.
"Kami pergi dulu, Sa." Kata Ruri dan kali ini Saka yang mengangguk.
Sesampainya di kantin, banyak sekali pasang mata yang melihat ke arah Sinta dan Ruri. Mereka heran, sebab akhir-akhir ini tak terlihat Saka berdiri di samping mereka. Hanya terlihat Sinta dan juga Ruri. Mereka menilai jika kisah cinta Sinta dan Saka sudah berakhir, meski tak ada yang tahu pasti, banyak yang mengiyakan hal itu. Sebab aneh jika melihat Sinta dan Ruri berjalan tanpa Saka.
"Aku merasa sangat canggung saat berbicara dengan Saka." Keluh Sinta kepada Ruri.
"Wajar saja, kalian baru mengalami pertengkaran yang hebat."
Sinta menghela napas, "Maafkan Saka tentang ucapannya kepadamu."
"Tidak masalah, aku tahu jika dia sedang emosi."
"Tapi rasanya tidak benar jika ia tak meminta maaf langsung kepadamu."
"Ta, kalian bertengkar hebat waktu itu, dan pertengkaran itu membuat hubungan percintaan kalian berakhir. Jika kamu merasa canggung saat berbicara dengannya, tentu Saka merasakan hal yang sama. Kalian, kita, hanya perlu waktu untuk terbiasa atau kembali seperti dulu lagi." Kata Ruri dan Sinta mengangguk.
Hari-hari berikutnya setelah itu masih saja sama. Minimnya percakapan, mata yang tak lagi sering memandang, serta waktu temu yang sedikit masih saja menjadi teman akrab ketiga sahabat itu. Kegiatan ujian akhir sekolah yang membuat waktu mereka semakin pendek di sekolah pun rasanya semakin menjauhkan mereka. Dan ketika waktu itu kelulusan semakin mendekat, Saka mencoba untuk berbicara serius dengan salah satu sahabatnya.
Ujian sekolah membuat Sinta dan Ruri sibuk. Mereka belajar bersama dengan durasi waktu yang banyak, sebab mereka ingin terhindar dari ingatan tentang Saka dan persahabatan mereka. Banyak hal yang dilakukan, sekaligus mempersiapkan diri mereka untuk menghadapi tes masuk ke perguruan tinggi.
"Bagaimana? Kamu sudah memutuskan pilihanmu tentang perguruan tinggi tempatmu mendaftar nanti?" Tanya Ruri kepada Sinta saat mereka belajar bersama.
"Sudah, sepertinya aku akan mendaftar di perguruan tinggi yang ada di kota ini saja. Aku tak mau jika nanti harus mencari sahabat baru saat aku mendaftar di perguruan tinggi lain." Kata Sinta yang diikuti tawa Ruri.
"Bilang saja jika kamu tak jadi mendaftar ke perguruan tinggi lain sebab kamu telah putus dengan Saka." Kata Banu. Saat ini memang dirinya sedang berada di rumah Sinta juga. Seperti biasanya, Banu adalah orang yang tak bisa jauh-jauh dengan kekasihnya, sekaligus selalu ingin mengganggu Sinta saat dirinya punya waktu.
Sinta menatap Banu datar, "Untuk orang yang tak mau pisah dengan Ruri barang sedetik, kamu tak pantas mengatakan itu kepadaku."
"Kenapa tidak pantas?"
"Sebab kita adalah orang yang sama. Kamu mengejekku karena menutupi tujuan asliku, tapi kamu sendiri juga melakukan hal yang sama."
"Hal yang sama? Apa?"
"Kamu bicara jika kedatanganmu kemari disebabkan karena kamu bosan, padahal kamu hanya tidak ingin berpisah dengan Ruri barang sedetik. Kamu sangat mudah ditebak. Ponsel Ruri yang waktu itu habis baterai dan dirinya ketiduran, kamu malah datang ke rumahku dengan wajah panikmu itu sambil berkata jika Ruri diculik. Sudahlah, tak perlu beralasan lagi." Kata Sinta dengan mengibaskan tangan kanannya ke arah Banu.
"Waktu itu aku panik sebab Ruri bicara jika ada seorang anak kecil di dekat rumahnya yang diculik. Dirinya bicara kepadaku jika ingin pergi keluar sebelum ponselnya mati. Masuk akal jika aku bicara kepadamu soal Ruri yang diculik waktu itu."
"Konyol sekali! Anak itu diculik oleh ayahnya sendiri, sebab ayahnya yang tidak lagi bisa bertemu dengannya karena ibunya melarang. Lagipula jika Ruri hilang, kamu seharusnya datang ke rumahnya. Bukan ke rumahku. Tentu saja itu tak masuk akal."
"Fakta itu baru terungkap setelah pelaku ditemukan."
"Iya, aku tahu. Tapi dari ceritamu sendiri bilang jika yang diculik adalah anak kecil. Ruri tentu bukanlah anak kecil."
"Penculik tidak berpikir tentang besar atau kecilnya manusia."
"Tentu saja mereka berpikir, jika mereka asal saja menculik orang lain, apakah bisa seorang penculik dengan badan kurus menculik seseorang dengan badan gemuk? Yang tidak berpikir itu kamu."
"Sudah, hentikan. Orang yang sama-sama suka beralasan, tidak baik saling berdebat seperti itu." Kata Ruri menengahi.
Kelulusan SMA telah berhasil dilalui dengan baik. Hari-hari pun berlanjut hingga sampailah mereka di hari tes masuk perguruan tinggi. Mereka telah melakukan tes dan mendaftar ke perguruan tinggi pilihan masing-masing. Saat ini hanya menunggu hasil pengumuman saja. Melihat Sinta yang sudah pasti mendaftar ke perguruan tinggi yang sama dengannya, Ruri berpikir jika ia harus menjalankan rencana berikutnya. Lalu seseorang yang ia curigai sebagai pelaku itu pun berbicara dengannya.
"Aku ingin berbicara denganmu." Kata Saka kepada Ruri. Ia mengunjungi rumah Ruri untuk membicarakan sesuatu. Saka berencana menyelesaikan masalah yang ada di dalam persahabatannya dengan Ruri dan juga Sinta. Dia akan menyelesaikan masalah itu satu per satu. Pertama, dia akan berbicara dengan Ruri terlebih dulu dan setelahnya, ia akan berbicara dengan Sinta.
"Bicaralah."
"Aku ingin meminta maaf, mungkin Sinta sudah berbicara padamu mengenai percakapan kami yang membawa-bawa namamu di pertengkaran kami." Ruri mengangguk dan Saka melanjutkan, "Aku sangat menyesal telah terbawa emosi. Seharusnya aku tahu jika kamu adalah sahabat baik Sinta. Padahal jika kita berbicara mengenai seseorang yang tahu betul soal Sinta, seseorang itu pasti kamu."
"Kamu sudah aku maafkan, aku tahu betul bagaimana jika seorang pasangan sedang bertengkar. Dan aku juga minta maaf jika selama ini aku membuat hubungan kalian jadi terganggu."
"Tidak, tidak. Kamu bukan pengganggu."
Ruri tersenyum dan berkata, "Kalau begitu, tidak ada lagi yang bisa diperdebatkan."
"Menurutku masih ada." Perkataan Saka membuat Ruri mengerutkan dahi.
"Aku tahu ada yang tidak beres semenjak kamu datang ke rumahku waktu itu."
Ruri hanya diam menatap Saka, "Apakah kamu mengetahui sesuatu?" Tanya Saka.
"Mengetahui apa?"
"Maafkan aku, tapi apakah aku boleh bertanya, apakah dulu kamu belum sempat membuka tas sekolahku saat kamu bicara ingin mengambil buku modulmu yang kubawa di dalam tas?"
Melihat Ruri yang tidak berniat mengeluarkan suara, ia pun melanjutkan, "Aku yakin kamu telah membukanya dan melihat sesuatu yang tidak seharusnya kamu tahu. Sebenarnya ada sesuatu yang mengerikan, yang aku sembunyikan dari kalian."
"Jadi benar jika benda itu milikmu?" Tanya Ruri.
"Bukan, mungkin lebih tepatnya benda itu ditujukan untuk diriku. Aku tahu akan sulit menjelaskan ini, sebab kamu telah melihat barang bukti itu di dalam tasku. Tentu kamu akan berpikir yang tidak-tidak tentangku, tapi tolong dengarkan dulu penjelasanku. Benda itu adalah benda yang aku temukan di atas jok sepeda motorku. Aku tak tahu siapa yang mengirim dan apa tujuannya mengirim benda mengerikan itu kepadaku. Foto Sinta dengan noda merah, yang tak lain dan tak bukan adalah darah."
Ruri terkejut mendengar ucapan Saka, "Setelah hari itu, aku menemukan foto-foto lain. Tidak hanya di atas jok motorku, tapi seseorang itu juga meletakkan foto itu di loker meja dan di depan rumahku. Aku tak berani membicarakan hal itu kepada kalian, sebab pasti akan sangat mengganggu pikiran kalian. Hingga lebih banyak foto lagi yang aku temukan. Hampir setiap hari aku menemukan foto itu, bahkan di hari yang sama, aku bisa menemukan lebih dari dua foto. Entah di loker, atau di atas jok motorku. Hingga suatu saat aku menyadari sesuatu. Kamu ingat saat Tama berkata jika dirinya bertemu dengan kita sewaktu kita jalan-jalan di pusat perbelanjaan waktu itu?"
"Ya, aku ingat."
"Hari itu adalah hari di mana pertama kalinya aku menemukan foto darah itu. Aku mencurigainya. Aku tahu mungkin ini terdengar tidak masuk akal dan mungkin saja kamu tidak percaya kepadaku. Tapi kamu bisa tanyakan sendiri kepada Tama. Kamu bawa semua foto itu dan tanyakan kepadanya. Jika kamu juga masih ingat saat kamu datang ke rumahku untuk membicarakan tentang perasaanku terhadap Sinta, di hari itu pula aku pergi menemui Tama. Sebelumnya aku memergoki dirinya yang menaruh foto itu di atas jok motorku. Kamu tahu jika aku ikut paduan suara. Waktu itu aku sedang ada latihan, jadi aku pergi ke sekolah sore hari. Aku yang lupa membawa kunci ruang latihan, membuatku waktu itu kembali ke motorku untuk mengambil kunci tersebut yang kuletakkan di bagasi motorku. Saat itulah aku melihat Tama sedang menaruh sesuatu di atas jok motorku. Aku langsung bersembunyi waktu itu. Jika kamu bertanya, kenapa aku tak langsung saja memergokinya, itu karena aku ingin tahu siapa saja orang yang ia teror. Sebab setahuku, lelaki lain yang mencoba mendekati Sinta juga di teror oleh dirinya. Lalu setelah kita berbicara, sore itu aku memutuskan untuk mendatangi rumah Tama yang telah aku ketahui saat aku mengawasi dirinya di hari-hari sebelumnya. Aku berbicara dengannya soal foto itu. Dia sempat terkejut, namun ia sama sekali tidak membantahnya. Ia membenarkan jika dirinyalah yang selama ini menerorku dengan foto-foto itu, sebab dirinya tak suka jika aku dekat dengan Sinta. Setelah hari itu, aku berpikir jika dia akan berhenti meneror orang lain, tapi lalu Reksa datang menemuiku. Kamu ingat saat pelipisku terluka? Luka itu adalah luka yang diberikan Reksa. Kami berkelahi karena dirinya menuduhku yang meneror dirinya, aku tak terima saat dirinya menuduhku. Hingga pada akhirnya aku menunjukkan foto-foto itu."
Ruri diam beberapa saat setelah Saka selesai berbicara, ia mencerna setiap kata yang Saka lontarkan kepadanya itu dan berkata, "Maafkan aku telah menuduhmu melakukan hal yang mengerikan." Kata Ruri sambil menangis kepada Saka.
Ruri merasa jika beban yang selama ini ia tanggung sendiri pada akhirnya terungkap. Ia pun tak bisa lagi menahan air mata yang mendobrak keluar, ia menangis di hadapan Saka dengan Saka yang menenangkannya. Namun, masih ada sesuatu yang perlu ia lakukan lagi.
"Tidak masalah, jika aku jadi kamu, aku pasti juga telah berpikir hal-hal yang tidak-tidak."
"Tapi sebaiknya kita tidak membicarakan hal ini kepada Sinta. Sebab ini menjadi hal yang akan sangat menakuti dirinya. Aku tak mau jika sampai dia trauma, maksudku, kamu tahu kan, saat ini saja dia sulit untuk bisa dekat dengan orang lain, apalagi nanti saat dia mengetahui tentang teror yang menyangkut dirinya itu. Ditambah pelakunya adalah orang yang ia ketahui." Kata Ruri.
Perkataan Ruri mengandung dua maksud. Maksud pertama adalah dia tak mau sampai Sinta tahu tentang masalah ini, sebab itu semua demi kebaikan Sinta, maksud kedua adalah dia masih ragu dengan pelaku teror tersebut. Sebab seseorang mengatakan hal yang sebaliknya kepada dirinya. Itulah kenapa ia harus menemui Tama untuk mengetahui kebenarannya. Mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.