Kaluna membuka matanya secara perlahan. Menatap langit-langit ruangan yang asing baginya. Lalu dia pun langsung mendudukkan tubuhnya. Namun sesaat, Kaluna masih merasakan kepalanya yang pusing. dia menepuk-nepuk pelan kepalanya dengan harapan rasa sakit dan pusingnya bisa mereda. Kaluna memperhatikan sekeliling. Kamar yang luas dengan nuansa serba putih ini membuatnya terdiam.
Bajunya masih rapi meski sepertinya Kaluna tidak ingat apa yang terjadi semalam. Matanya menyusuri kamar ini. dia beranjak dan mengambil ponselnya yang ternyata sudah mati total. Kaluna pun berjalan perlahan keluar dari kamar tersebut. Ketika sudah berada di depan pintu, dia justru makin terkejut ketika melihat betapa mewahnya ruang tamu yang ada di hadapannya.
"Ini rumah siapa ya?" tanya Kaluna kepada dirinya sendiri.
Dia pun berjalan ke arah kiri ketika mendengar suara seseorang sedang mandi di dalam ruangan.
"Sayang banget rumah sebesar ini tapi malah sepi," ujar Kaluna.
Ketika dia membalikkan tubuhnya, dia lagi-lagi terkejut bukan main saat seorang laki-laki berdiri di hadapannya. Lelaki itu sama terkejutnya dengan keberadaan Kaluna.
"Heh, lo siapa?" tanya laki-laki itu dengan tiba-tiba sehingga membuat Kaluna membalikkan tubuhnya.
"Harusnya gue yang nanya. Lo siapa? Kenapa gue ada di sini? Lo yang bawa gue kesini?"
Laki-laki itu malah terlihat bingung.
"Ini gue di mana sih?" tanya Kaluna lagi.
"Di rumah gue," jawabnya dengan cepat.
Kaluna memasang wajah yang tidak percaya. Kemudian dia memperhatikan penampilan lelaki di hadapannya ini. Jika dilihat dari penampilannya yang masih seperti remaja, Kaluna sedikit ragu jika rumah mewah ini memang benar miliknya.
"Dih, kenapa lo liatin gue kaya gitu? Gak percaya kalau ini rumah gue?" laki-laki tersebut seakan paham dengan ekspresi Kaluna.
Kaluna menggelengkan kepalanya, "dari penampilan lo yang masih asal-asalan ini, rasanya gue agak ragu."
"Sembarangan."
"Rumah kakak gue sih lebih tepatnya," lanjut lelaki tersebut sambil terkekeh ketika melihat Kaluna memberikan tatapan sebal.
"Tunggu. Lo belum jawab pertanyaan gue. Lo siapa dan kenapa ada di sini?" laki-laki itu kembali bertanya.
Kaluna menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "nama gue Kaluna. Lo bisa panggil gue Luna. Gue juga gak tahu kenapa gue bisa ada di sini. Seinget gue, semalem gue ada di klub."
Kini berganti giliran lelaki itu yang menatap Kaluna dengan tidak percaya ditambah lagi ketika dia melihat pakaian Kaluna saat ini seperti seseorang yang hendak berangkat ke kantor.
"Kenapa?" tanya Kaluna balik.
"Lo? Ke klub? Ngawur. Mana ada orang ke klub pake baju kaya mau berangkat kerja gini."
Kaluna memukul pundak lelaki itu, "rese!"
"Gue Arfan," lelaki itu mengulurkan tangannya yang langsung disambut ramah oleh Kaluna.
Saat mereka berdua sedang berbincang, pintu kamar mandi terbuka. Kaluna dan Arfan menoleh. Seseorang yang bertelanjang dada dan hanya menggunakan handuk untuk menutupi bagian bawah tubuhnya pun muncul. Kaluna yang semula terdiam mendadak langsung memalingkan wajahnya.
"Hih! Pake baju dulu kek!" omel Kaluna.
Melihat Kaluna yang sedikit salah tingkah, Arfan terkekeh. Sementara Arthur, dia tidak sedikitpun menunjukkan ekspresi apa-apa. Melainkan langsung berjalan dengan acuh ke dalam kamarnya. Tidak berapa lama, Arthur menghampiri Kaluna yang sedang duduk di sofa bersama dengan Arfan. Mereka tampak sangat akrab padahal baru saja kenal beberapa menit yang lalu. Arthur menaruh tas milik Kaluna di atas meja dengan cukup kasar.
"Lo bisa pulang sendiri," ujarnya. Tanpa harus menunggu balasan dari Kaluna, Arthur langsung berjalan menuruni anak tangga dengan pakaiannya yang sudah rapi. Lelaki itu akan berangkat bekerja.
"Tunggu!" perintah Kaluna.
Namun Arthur memilih tidak menghiraukan. Ia tetap berjalan menuruni setiap anak tangga yang ada di rumahnya. Melihat itu, Kaluna sedikit kesal dan langsung menyusul.
"Tunggu dong!"
Lagi-lagi tidak digubris. Karena kesal, Kaluna pun menarik tangan Arthur. Disaat yang bersamaan, Arthur menepisnya dengan kasar sehingga membuat kaki Kaluna tersandung. Perempuan itu hampir terjatuh jika Arthur tidak dengan cepat menahannya. Punggung Kaluna terdorong hingga menubruk tembok dan Arthur berada di hadapannya dengan jarak yang minim.
Mata mereka saling menatap. Kondisi perempuan ini sudah tidak mabuk, matanya yang semalam sayu itu berubah menjadi bersinar. Bulu matanya yang lentik, alisnya yang terukir rapi. Untuk yang kesekian kalinya, Arthur terdiam. Ingatannya langsung membawanya kembali ke masa di mana masih ada bahagianya ketika dia menatap mata yang persis seperti milik Kaluna. Laki-laki itu bahkan tidak berkedip.
Arthur tersadar ketika mendengar Kaluna berdehem dari tempatnya. Dia menatap tajam perempuan ini sampai membuat Kaluna yang semula kesal menjadi ciut. Dia menelan salivanya dengan sulit karena tatapan tajam dari Arthur.
"Lain kali kalau mabuk jangan nyusahin orang lain."
Setelah mengatakan hal tersebut, Arthur langsung menjauhkan tubuhnya dan berjalan pergi. Membuat Kaluna terdiam untuk beberapa saat.
"Dasar aneh!" balas Kaluna dengan nada yang sedikit kencang. Tetapi Arthur tetap berjalan keluar.
"Lo kenal sama kakak gue?"
Pertanyaan dari Arfan berhasil membuat Kalu terdiam untuk beberapa detik lamanya.
***
Satu kata yang dapat menggambarkan sosok Arfan adalah hangat. Iya, laki-laki yang umurnya terpaut tiga tahun di bawahnya ini memiliki sifat dan karakter yang berbanding terbalik dengan kakaknya.
Setelah berbincang-bincang mengenai berbagai macam hal dan setelah adanya kesepakatan, maka disinilah Kalu berada. Dia datang kembali ke perusahaan tempatnya bekerja setelah Arfan menawarkan tumpangan. Awalnya, Kalu ingin pulang saja ke apartemennya, tetapi mengingat jika barang-barangnya masih berada di meja kerja, maka dia putuskan untuk mampir sembari berpamitan dengan rekan kerjanya.
Kaluna disambut hangat oleh semua teman-temannya. Rupanya, kabar tentang dirinya yang diberhentikan dari perusahaan sudah tersebar luas. Sebab ketika dia baru saja memasuki area lantai tiga, Kaluna langsung diserbu dengan banyaknya pertanyaan serupa oleh teman-temannya. Di tengah obrolan bersama teman-temannya, Kaluna tidak sengaja bertemu kembali dengan pak Jason.
"Loh? Lun? Kok kamu–"
"Bapak tenang saja. Saya kesini cuma mau ambil barang-barang yang masih ada disini, sekalian pamitan sama yang lain," potong Kaluna.
Pak Jason yang mendengar itu hanya bisa mengangguk dan membiarkan Kaluna melakukan apa yang dia katakan.
Seperti perpisahan pada umumnya, mereka semua mengadakan sesi foto bersama Kaluna. Apa yang Kaluna pikirkan benar terjadi. Rasanya cukup bahkan sangat berat berpisah dengan teman-temannya yang ada disini. Sebab, mereka semua benar-benar sangat baik kepada Kaluna. Hal yang paling utama ketika mencari pekerjaan adalah lingkungan yang sehat dan positif. Karena jika kita berada di lingkungan serta dikelilingi oleh rekan yang positif, maka kita akan ikut berkembang dan dapat menikmati setiap pekerjaan yang dilakukan. Itu adalah hal terpenting yang Kaluna selalu cari.
Salah satu sifat Kaluna yang ia sebal dari dirinya sendiri selain pelupa adalah ceroboh. Bagaimana bisa ia memesan taksi online jika ponselnya mati total. Sedari tadi, ponselnya yang menjadi korban untuk mengabadikan foto serta video perpisahan bersama teman-temannya. Dia bahkan sampai lupa tidak membawa powerbank dan tidak mengisi daya terlebih dahulu saat masih berada di ruang kantor. Kaluna tidak mungkin kembali lagi ke lantai tiga, dia tidak mau mengganggu teman-temannya yang sedang bekerja. Awan mendung menghiasa Jakarta di siang hari ini. Terpaksa Kaluna harus berjalan beberapa ratus meter untuk menunggu taksi biasa atau bis kota di halte.
Kedua tangannya memeluk kardus yang berisi barang-barangnya. Halte tampak sepi. Dan hanya ada Kaluna disana. Tujuh menit sudah Kaluna menunggu, namun tidak ada satu pun taksi atau bis kota yang bisa ia tumpangi. Sebab kebanyakan dari mereka sudah terisi dengan penuh. Ditambah lagi, air hujan yang semula turun pelan berubah menjadi cukup kencang membuat Kaluna beberapa kali memundurkan tubuhnya agar tidak terkena basahnya percikan air hujan. Angin yang berhembus cukup kencang itu juga menerpa wajah dan tubuhnya.
"Lagi nunggu taksi ya, Mba?"
Kaluna yang semula sedang memperhatikan jalan raya itu menoleh ke sumber suara. Seorang laki-laki yang tidak ia kenali berada di sebelah kirinya.
"Iya, Mas," jawab Kaluna dengan ramah sambil tersenyum kikuk. Jujur, Kaluna sedikit terkejut karena kehadiran pria ini secara tiba-tiba.
"Sini biar saya bantu pegang kardusnya, Mba," ujar pria itu yang secara tiba-tiba memegang kedua punggung tangan Kaluna. Kaluna yang semula sedang memperhatikan jalan itu benar-benar terkejut. Ia refleks menjauhkan tubuhnya.
"Engga usah. Makasih," tolak Kaluna dengan nada sedikit terkejut.
Kaluna menggeser tubuhnya secara perlahan, agar bisa sedikit menjauh dari lelaki di sampingnya ini. Dia bahkan baru sadar jika jarak diantara mereka, sangat dekat. Kaluna benar-benar tidak sadar sejak kapan lelaki ini bisa berada begitu dekat di sampingnya.
Ingin rasanya Kaluna berlari, tetapi keadaan tidak memungkinkan. Selain karena hujan yang masih deras, dia juga merasa sedikit kesusahan karena barang bawaannya yang tidak ringan. Kaluna hanya bisa berharap taksi atau bis kota segera datang. Atau secepat mungkin ada orang lain yang berada di halte ini selain dirinya dan laki-laki aneh di sebelahnya.
Setidaknya, Kaluna dapat merasa aman. Dia benar-benar memejamkan matanya dan berdoa di dalam hatinya. Meski dengan perasaan yang tidak enak dan sedikit ketakutan.
Di tengah pejaman matanya, Kaluna merasa seseorang merangkul tubuhnya. Ia langsung membuka mata, dan menoleh. Sialan! Laki-laki itu merangkul tubuhnya. Sontak, Kaluna berusaha menjauhkan tubuhnya.
"Mas tolong yang sopan ya!" ucap Kaluna dengan nada yang tinggi. Perasaannya campur aduk. Takut dan terkejut.
Permintaan Kaluna dianggap hanya angin. Laki-laki itu hanya tersenyum mendengarnya. Senyuman yang cukup mengerikan di mata Kaluna. Jantungnya berdegup sangat kencang. Kaluna benar-benar sudah ingin berlari, tetapi ia merasa langkahnya sangat berat. Siapapun, tolong! Itulah yang Kaluna ucapkan di dalam hatinya.
"Loh, Mba. Ini kan hujan. Mba gak kedinginan emangnya? Saya rangkul biar hangat. Atau mau dipeluk?" balas laki-laki itu.
"Gak sudi gue!" jawab Kay. Dia tidak peduli dengan ucapan dan nada sinisnya.
Laki-laki itu berjalan mendekat, sementara Kaluna berjalan mundur. Ya Tuhan. Tolong.
Kaluna sudah tidak bisa menyembunyikan wajahnya yang ketakutan. Laki-laki itu semakin mendekati dirinya. Kini Kaluna sudah berada di ujung. Jika dia mundur satu langkah, maka akan terjatuh.
Hingga secara tiba-tiba
Bugh!
Kaluna yang semula memejamkan mata dengan rasa takut itu langsung membuka matanya kala telinganya mendengar suara tinjuan. Dia tidak bisa melihat apa-apa, sebab seseorang memunggungi dirinya.
"Pergi!" suara itu terdengar tegas.
Kaluna mencoba mengintip. Laki-laki yang tadi bersikap kurang ajar kepadanya sedang tersungkur sambil memegangi ujung bibirnya. Lelaki itu kemudian berdiri dan berlari pergi meninggalkan halte. Bersamaan dengan itu, laki-laki yang semula memunggungi Kaluna pun memutar balik tubuhnya. Kaluna mendongakkan wajahnya, matanya membulat sempurna ketika melihat siapa pemilik punggung itu.
Laki-laki dengan jas berwarna abu tua itu menatap Kaluna.
"Gapapa?" tanyanya kepada Kaluna.
Pertanyaan itu membuat Kaluna tersadar, "ha? Oh, gapapa, gapapa."
"Ngapain disini sendirian?" tanyanya lagi.
"Nunggu taksi atau bis kota."
"Mau kemana?"
"Pulang." jawab Kaluna singkat.
Tidak ada percakapan lagi setelah Kaluna menjawab pertanyaan terakhir. Laki-laki itu terlihat sibuk dengan ponselnya. Tidak berapa lama, lelaki itu menyerahkan ponselnya kepada Kaluna. Membuat Kaluna sedikit kebingungan.
"Tulis alamat rumah lo. Gue pesenin taksi online."
Kay menganga di tempatnya.
"Lo gak mau nganterin gue balik gitu?" tanya Kaluna tanpa basa-basi.
Laki-laki itu menatap Kaluna dengan heran, "kenapa gue harus nganterin lo pulang?"
"Lo kan barusan liat apa yang terjadi sama gue. Gak ada gitu inisiatif buat anterin gue balik? Mastiin gue aman dari orang-orang kaya tadi?"
"Lo kesini sendiri kan? Berarti baliknya juga sendiri. Kecuali kalo lo perginya sama gue, baru gue anterin." jawab laki-laki itu.
Jawaban yang membuat Kaluna benar-benar tidak percaya jika di bumi ada laki-laki seperti ini. Bukankah jika di film-film atau novel, biasanya laki-laki memiliki inisiatif untuk mengantarkan perempuan pulang ke rumahnya? Menunggu di depan rumah, sampai perempuan itu masuk ke dalam rumah hanya untuk memastikan bahwa semua baik-baik saja?
"Mau gak? Kalo gak mau, yaudah," lanjut lelaki itu yang hendak memasukkan kembali ponselnya.
Kaluna menahannya, "yaudah, mana sini."
Dengan sebal, Kaluna mengetik alamat apartemennya. Tidak memerlukan waktu lama, taksi online yang dipesan sudah datang. Laki-laki ini memiliki sikap yang dapat membuat siapapun ingin meninjunya. Dia bahkan Tidak membantu Kaluna sama sekali. Sekedar membukakan pintu taksi atau membantu membawakan kardus yang Kaluna bawa. Yang dilakukannya hanya berdiri dan memperhatikan Kaluna berjalan kesulitan. Saat taksi akan melaju pun ia tidak mengatakan "hati-hati" sama sekali kepada Kaluna.
Argh! Kaluna benar-benar heran, kenapa ada manusia dengan sikap seperti itu?!