Chereads / FORSETEARS : Rebirth and Revenge / Chapter 91 - EP. 091 - Stempel

Chapter 91 - EP. 091 - Stempel

"Hahahahaha… Hahahahaha… Hahahahaha," tiba-tiba Ehren tertawa.

"Kenapa? Bagian mana yang lucu?" tanya Alatariel.

"Kau selalu minta didengarkan tapi kau tidak pernah mendengarkanku?" sindir Ehren.

"Mendengarkan yang bagian mana? Yang tadi pagi? Anda masih marah dengan yang tadi pagi? Saya hanya menjawab pertanyaanmu saja. Saya sudah berusaha bersabar untuk mendengarkan semua omelan, sejak Anda bangun hingga keluar kamar," kata Alatariel.

"Omelan? Omelan? Seorang putri mahkota berani mengucapkan kata omelan pada atasannya? Wow, sopan sekali? Kau sudah bosan hidup?" ucap Ehren kesal.

"Kalau bukan omelan apa lagi namanya? Keluhan? Penyangkalan? Ok, lewatkan saja yang tadi pagi. Lalu, bagaimana dengan Desa Lopme?" kata Alatariel

Setelah mendengar kata Lopme, Ehren langsung menatap tajam pada Alatariel lalu pergi begitu saja. Alatariel hanya tertegun melihat tingkah laku suaminya. Dia menatap langit sambil menarik napas panjang lalu menggelengkan kepala. Ternyata warna langit sudah menjadi jingga. Merasa agak tenang, Alatariel segera pergi ke tempat lain yang berlawanan arah dengan Ehren.

Kerajaan Tirtanu, Tahun 1344

Ternyata, arah yang dituju Alatariel adalah aula utama tempat singgasana Raja Cedric berada. Alatariel mempercepat langkahnya agar dia bisa bertemu dengan Raja Cedric sebelum jam kerja berakhir. Jantung Alatariel seakan copot saat melihat singgasana Raja telah kosong. Dia langsung berlari ke arah ruang kerja Raja.

"Tolong umumkan kedatanganku!" kata Alatariel pada penjaga pintu.

"Yang Mulia, Putri Mahkota Alatariel datang!" teriak penjaga pintu.

Penjaga segera membukakan pintu untuk Alatariel setelah raja mempersilakannya masuk. Seketika, Alatariel melihat raja sedang berdiri sekitar dua langkah dari pintu ruang kerjanya. Jika terlambat sebentar saja, Alatariel tidak akan bisa menemui raja di ruang kerjanya dan harus menunggu hingga makan malam selesai. Padahal waktu makan malam masih cukup lama.

"Tumben ke sini sore-sore. Ada kabar apa? Untung aku masih belum pergi dari sini" tanya Raja Cedric.

"Maaf atas ketidaknyamanannya, Yang Mulia. Hamba ingin melaporkan sesuatu," jawab Alatariel sambil menunduk.

"Baiklah. Silakan duduk!" ucap Raja Cedric dengan ramah.

"Kita sedang terancam krisis pangan, Yang Mulia!" kata Alatariel.

"Bagaimana bisa?" tanya Raja Cedric.

"Musim semi akan segera berakhir. Sekarang adalah saat yang paling tepat untuk memanen kacang polong dan tomat. Biasanya kita menanam padi di musim panas namun baru bisa dipanen di musim gugur. Jadi, kacang polong dan tomat bisa jadi stok makanan selama 2 musim. Namun sayangnya, sekitar 20 hektar ladang kacang polong dan tomat yang ada di Desa Lopme hancur," lapor Alatariel.

"Hancur, bagaimana bisa? Desa Lopme adalah lumbung pangan utama bagi Kerajaan Tirtanu?" Raja Cedric kaget.

"Oleh karena itu, saya segera datang ke sini untuk melaporkan pada Anda, Yang Mulia. Tadi saya sudah pergi ke Desa Lopme untuk memeriksa keadaan langsung. Ternyata keadaannya sangat memprihatikan. Semua tumbuhan layu dan kering dalam semalam tapi daunnya masih berwarna hijau. Begitu disentuh, daunnya langsung hancur. Semua hewan yang ada di bawah tumbuhan mati. Ada ular mati, tikus mati, burung mati, dan semua jenis serangga di sana juga mati. Dugaan saya, ladang itu terkena racun namun racun apa yang memiliki dampak separah dan seluas itu dalam waktu semalam?" kata Alatariel.

"Gunung Neji?" tebak Raja Cedric.

"Statusnya masih aman. Rasanya tidak mungkin dari Gunung Neji," kata Alatariel.

"Jangan salah lho. Walaupun kelihatannya aman, kawah Gunung Neji masih bisa mengeluarkan gas belerang," ucap Raja Cedric.

"Awalnya saya juga berpikir seperti itu. Namun jika benar dari Gunung Neji, mestinya semua lahan sudah rusak dari puncak hingga yang lain. Butuh kadar belerang yang sangat tinggi untuk menghancurkan lahan hingga sebesar itu. Jika memang dari belerang Gunung, akan ada banyak korban jiwa manusia dan saya tidak akan bisa kembali ke istana ini. Saya curiga ada manusia yang ingin menyabotase stok pangan Tirtanu dengan racun dalam skala besar," kata Alatariel.

"Berarti sudah kamu cek, ya? Ehren sudah tahu tentang hal ini?" tanya Raja Cedric.

"Saya sudah melaporkan ini pada Putra Mahkota. Baru saja. Tepat setelah kembali dari Desa Lopme. Saya juga sudah mengumpulkan beberapa sampel tanah, tanaman, dan seekor tikus yang sudah mati," kata Alatariel.

Alatariel segera membuka buntalan kain yang dia bawa. Dia mengeluarkan beberapa kantung kain dari sana dan meletakkannya di atas meja di depan Raja Cedric. Raja Cedric mengambil salah satu kantung dan membukanya. Ternyata, kantung itu berisi tanah. Raja Cedric segera mendekatkan tanah itu ke hidungnya.

"Ini bukan bau belerang," kata Raja Cedric.

"Saya akan melakukan beberapa pengujian setelah makan malam untuk mengetahui zat yang menyebabkan ini terjadi," kata Alatariel.

"Baiklah. Apapun yang kau temukan, segera laporkan padaku!" perintah Raja Cedric.

Lega rasanya setelah melaporkan semuanya pada Raja Cedric. Itulah yang Alatariel rasakan setelah keluar dari ruang kerja ayah mertuanya. Setidaknya ada satu pihak berwenang yang mengetahui masalah ini. Tinggal satu saja tugas Alatariel, yaitu menemukan racun yang menghancurkan ladang di Desa Lopme.

Setelah makan malam, Alatariel segera menuju ke ruang penelitiannya. Sampel yang diuji pertama kali adalah sampel tanaman. Batang dan daun kacang polong yang telah mati dipotong kecil-kecil lalu dimasukkan ke dalam beberapa mangkuk. Beberapa jenis cairan yang berbeda dimasukkan ke mangkuk berisi potongan tanaman. Kemudian Alatariel menutup mangkuk tersebut dan menyimpannya ke dalam sebuah lemari.

"Apa saja yang kau katakan pada Yang Mulia!" teriak seseorang dari belakang.

Alatariel segera menengok ke belakang, ternyata itu Putra Mahkota Ehren. Ehren terus berjalan mendekati Alatariel. Tanpa banyak bicara, tiba-tiba Ehren segera melempar sebuah mangkuk sampel ke arah Alatariel yang sedang duduk. Untungnya, Alatariel berhasil menghindar.

"Tenanglah! Sabar! Ada apa ini?" tanya Alatariel yang segera berdiri.

"Kau bilang apa saja ke ayah? Gara-gara kelakuanmu, stempelku ditarik lagi oleh Yang Mulia!" teriak Ehren marah.

"Stempel apa? Kelakuanku yang mana? Tidak ada hal aneh-aneh yang aku lakukan!" jawab Alatariel bingung.

"GAK USAH MUNAFIK! Kau senang sekarang! Kau puas sekarang!" teriak Ehren kesal.

"Maksudnya apa?" tanya balik Alatariel.

"Ternyata benar kata orang, cewek memang gak boleh masuk ke politik. Semuanya akan hancur berantakan, semuanya gara-gara cewek!" kata Ehren marah.

Alatariel kaget dan bingung mendengar ucapan Ehren. Dia juga berusaha mengingat-ingat semua hal yang dia katakan saat bertemu Raja Cedric. Tidak ada hal buruk dan kesalahan yang dia ucapkan. Namun, Alatariel masih belum mengerti mengapa Ehren semarah ini.

Alatariel mencoba mengangkat wajahnya. Dia melihat Ehren yang wajahnya memerah sedang menatap lemari sampel. Ehren sedang berusaha menenangkan diri agar tak terlalu marah. Alatariel segera menarik sebuah kursi dari sudut ruangan ke samping kursinya.

"Baiklah. Silakan duduk, Putra Mahkota Ehren," kata Alatariel dengan berat hati.

Ehren memang masih suami Alatariel. Ehren juga satu-satunya sahabat terbaik bagi Alatariel. Hanya Ehren satu-satunya orang dari seluruh orang yang ada di komplek istana Tirtanu yang bersedia mendengarkan cerita Alatariel. Namun Alatariel juga sadar, Ehren juga atasan dia dalam hirarki Kerajaan Tirtanu. Walaupun tak sudi, Alatariel wajib patuh dan menghormati Putra Mahkota Ehren.

Tak disangka, ternyata Ehren bersedia untuk duduk di kursi yang Alatariel bawa tadi. Setelah duduk, Ehren langsung meletakkan kepalanya di atas meja dan menyembunyikan wajah dengan tangannya. Napasnya terdengar berat, seperti berusaha menahan tangis. Alatariel yang duduk tepat disampingnya menyadari itu. Alatariel ingin menepuk pundak Ehren, tapi tidak jadi.

"Kenapa kamu tidak bercerita tentang kondisi Desa Lopme?" tanya Ehren.

"Saya sudah lapor tadi sore," kata Alatariel.

"Kenapa kamu tidak bercerita jika kondisinya separah itu?" tanya Ehren.

"Sudah," jawab Alatariel singkat.

"Tadi kau menghadap Yang Mulia, kan? Apa kau mengadu pada beliau dan bilang kalau aku tidak becus kerja?" tanya Ehren dengan sinis.

"Tidak. Saya tidak pernah melakukan hal sekejam itu. Saya sudah berusaha menutupi semua yang terjadi pada kita hari ini di depan, Yang Mulia," jawab Alatariel.

"Lalu, mengapa Yang Mulia marah dan menarik stempel kerajaanku?" tanya Ehren.