"Tidak. Saya tidak pernah melakukan hal sekejam itu. Saya sudah berusaha menutupi semua yang terjadi pada kita hari ini di depan, Yang Mulia," jawab Alatariel.
"Lalu, mengapa Yang Mulia marah dan menarik stempel kerajaanku?" tanya Ehren.
"Tadi, Yang Mulia sempat bertanya bahwa saya sudah melaporkan kasus Desa Lopme ke Putra Mahkota atau belum? Lalu saya jawab, saya sudah melaporkan ini pada Putra Mahkota, baru saja, tepat setelah kembali dari Desa Lopme," jawab Alatariel.
"Antara Yang Mulia dan aku, mana yang kamu pilih? Jika kamu memilihku, ambil stempelku di Yang Mulia" tanya Ehren.
Alatariel hanya bisa menghela napas. Rasanya mustahil untuk mengambil kembali stempel putra mahkota yang berada di tangan Yang Mulia Raja Cedric. Alatariel berpikir sejenak. Ruang penelitian tempat Alatariel dan Ehren berada mendadak hening. Tiba-tiba angin dingin berhembus entah dari mana. Angin dingin itu menyadarkan Alatariel dari pikirannya.
Lalu, Alatariel berkata, "Saya akan berusaha berbicara baik-baik dengan Yang Mulia. Tapi bukan malam ini, tapi nanti…"
"Nanti… kau tidak mau membantuku? Setelah aku melakukan banyak hal untukmu?" potong Ehren.
"Bukan itu maksudku," sangkal Alatariel.
"Ternyata benar kata orang-orang. Wanita memang tidak boleh berasa di pemerintahan dan memainkan politik," sindir Ehren.
"Apa maksud Anda? Masalah ini tidak ada sangkut pautnya dengan gender seseorang!" teriak Alatariel.
"BRRRRRKKK!" Tiba-tiba Ehren menggebrak meja kerja Alatariel dengan sangat keras. Saking kerasnya, gebrakan itu membuat sebuah gelas jatuh ke lantai. Padahal, tangan Ehren tidak menyentuh gelas sama sekali. Alatariel sangat kaget. Ini pertama kalinya Ehren menggebrak meja karena marah.
"Kau selalu mengeluh bahwa kau tidak punya suara di sini. Kau mengeluh karena ini, mengeluh karena itu, mengeluh karena banyak hal. Bagaimana kalau kita bercerai lalu kau bisa menikah dengan pangeran-pangeran dari kerajaan lain? Jujur aku penasaran, apakah kau bisa mendapatkan privilege sama seperti yang kau dapatkan sekarang!" teriak Ehren.
"Mustahil, aku menawarkan kesepakatan dengan Yang Mulia hanya berbekal tangan kosong! Setidaknya, tolong izinkan aku untuk meneliti apa yang terjadi di Desa Lopme dan apa yang menyebabkan kerusakan ladang di sana!" teriak Alatariel marah.
Ehren yang marah sudah pasti tidak terima dengan perkataan Alatariel. Ehren melirik ke arah meja. Ehren melihat tanah, tumbuhan, dan beberapa kantung kain di atasnya. Semua itu terlihat berantakan setelah Ehren menggebrak meja. Dari sini, Ehren tahu bahwa Alatariel sudah memulai eksperimennya.
"Ok. Baiklah! Aku tunggu stempelnya hingga besok pagi sebelum pertemuan dengan para menteri berlangsung!" ucap Ehren.
"Baik.Terima kasih," jawab Alatariel.
"Yang artinya, kau harus menyelesaikan semua ini dalam waktu semalam!" pesan Ehren.
"Baik. Akan saya ingat. Terima kasih atas kebesaran hati Anda," kata Alatariel.
Ehren segera keluar dari ruang penelitian Alatariel. Setelah itu, Alatariel segera membereskan ruangannya dibantu oleh datang yang berjaga di luar. Setelah, semuanya rapi. Alatariel segera memulai kembali penelitiannya.
Alatariel membagi sampel tanah menjadi beberapa bagian kecil. Kemudian dia mencampur sampel tanah dengan berbagai cairan. Sampel itu juga diletakkan di atas beberapa kertas indikator. Sebagian campuran lain disimpan dalam beberapa wadah keramik kecil yang tertutup rapat. Alatariel begadang semalaman untuk melakukan uji.
Pagi hari sudah tiba, Alatariel membuka matanya. Seketika, dia sadar bahwa dia ketiduran di ruangan penelitiannya. Dia segera duduk bersandar di kursinya dan merenggangkan badannya.
"Bentar. Pukul berapa ini?" ucap Alatariel.
Alatariel segera berlari untuk membuka jendela. Ternyata hari masih malam. Jika dilihat dari rasi bintang, sekarang masih sekitar pukul 4 dini hari.
"Syukurlah. Aku masih punya waktu. Sampai di mana aku tadi?" pikir Alatariel.
Alatariel segera memeriksa sampelnya yang tersimpan dalam wadah keramik. Mendadak, raut wajahnya berubah. Dia terdiam seketika. Lalu segera membuka sampel-sampel lainnya. Dia juga membandingkan kondisi sampel dengan kertas indikator yang dia miliki.
"Ini jelas racun. Tapi ini racun baru? Racun apa ini? Siapa yang membuat racun ini?" kata Alatariel.
Alatariel segera terduduk lemas setelah melihat hasil penelitiannya. Saking kesalnya, dia menggaruk-garuk kepalanya hingga rambutnya acak-acakan tanpa sadar. "Bbbrrrrrkkk!" Sebuah kursi terjatuh karena ditendang olehnya Alatariel yang frustasi. Dia sangat marah dan kesal namun tak ada yang bisa dia lakukan selain menghela napas panjang.
Kerajaan Gaharunu, Tahun 1344
Suara guntur bersahut-sahutan diselingi hujan lebat yang muncul dari langit yang gelap. Hujan itu turun di area hutan yang masih rapat. Di tengah-tengah hutan itu ada jalan setapak dengan lebar satu langkah kaki saja. Jalan setapak itu becek dan menjijikkan. Sebagian jalanannya tergenang air. Dari genangan air itu terlihat bayangan bulan sabit. Bayangan itu langsung memudar saat dua pasang kaki menginjaknya.
Dua orang pria berjalan cepat di bawah guyuran hujan. Mereka berjalan menembus hutan yang dingin, gelap, sepi, kotor, dengan jalan yang tertutup semak tinggi. Mereka bergegas agar tidak perlu berlama-lama di dalam hutan itu. "GLLLOOOOMM!" Suara guntur yang tiba-tiba datang mengagetkan mereka.
"CEPATLAH!!!" teriak salah satu pria yang sedang menggendong buntalan besar.
"Sabarlah! Jalannya licin!" jawab pria di depannya sambil memeluk lentera.
"Kau yakin ini jalannya? Perasaan kita dari tadi hanya berputar-putar."
Ucapan itu membuat pria di depan berhenti. Dia yang awalnya menunduk untuk melindungi api lentera dari hujan, kini menegakkan kepalanya. Dia mengangkat kepalanya dan melihat langit gelap dan ujung pepohonan di atasnya. Lalu memandangi pepohonan di kanan dan kirinya.
"Benar! Ini jalannya. Kini aku sudah ingat. Sebentar lagi kita sampai," kata pria pembawa lentera.
"GGLLOOOMM!" suara guntur meledak sekali lagi.
"Kita harus sampai sebelum fajar. KITA LARI SEKARANG!" kata pria pembawa lentera.
Pria pembawa lentera langsung berlari seketika. Dalam sekejap, dia telah meninggalkan temannya sejauh 50 langkah. Begitu sadar, teman yang dia tinggal segera berlari menyusulnya. Mereka berdua terus berlari walau harus terpeleset berkali-kali.
"Kita sudah sampai!" kata pria pembawa lentera.
Tiba-tiba muncul sebuah tangan menepuk pundak pria pembawa lentera. Ternyata, dia adalah temannya yang membawa buntalan kain besar. Dia menahan pria pembawa lentera agar tidak berlari lagi. Pria pembawa buntalan berusaha mengatur napasnya yang tersenggal-senggal. Setelah merasa nyaman, pria itu baru mengangkat kepalanya. Ternyata mereka telah sampai di depan sebuah gubuk kayu.
Cahaya kilat menyambar sebuah gubuk kayu. Gubuk itu kecil, gelap, terlihat rapuh, dan seakan-akan bisa langsung roboh jika tersambar petir sekali. Pepohonan tinggi menjadi benteng yang menyembunyikan gubuk itu. Tiba-tiba, dari dalam gubuk itu terdegar suara deritan kayu yang diseret.
Entah apa yang terjadi di dalam gubuk itu, deritan kayu itu terdengar sangat panjang tanpa putus. Siapapun yang mendengarnya akan ngilu. Suara aneh itu bisa terdengar dari luar. Tiba-tiba muncul kilatan merah dari salah satu jendela gubuk. Kilatan merah itu menghentikan suara deritan kayu. Kilatan merah itu mengagetkan dua pria yang sedari tadi sudah berdiri di depan gubuk kayu.
"Ayo, kita masuk! Sebelum dia marah," kata pria pembawa lentera.
"Baiklah," kata pria di belakangnya.
Dua pria itu segera bergegas untuk masuk ke gubuk kayu. Untungnya, fajar masih belum muncul yang berarti mereka datang tepat waktu. Begitu pintu gubuk terbuka, aroma benda terbakar segera tercium tajam. Mereka berdebar-debar saat berjalan memasuki ruang tamu yang kosong dan 100% gelap. Walaupun begitu, mereka terus berjalan menuju ruangan paling belakang.
Mulai tercium aroma ramuan mulai dari ruangan tengah. Semakin ke belakang, aroma ramuan semakin tercium tajam dan kuat namun mulai terlihat cahaya merah tipis. Ketika mulai menemukan cahaya, pria pembawa lentera mulai mematikan lentera yang dia bawa. Dia berjalan ke arah sumber cahaya merah. Teman yang membawa buntalan kain mengikutinya dari belakang.
"Nona, saya sudah selesai melakukan tugas di Desa Lopme," lapor pria pembawa lentera.
Pria pembawa lentera itu melapor pada seorang wanita berambut panjang yang berdiri membelakanginya. Wanita itu tetap diam sambil mengaduk ramuan di dalam bejana. Karena wanita itu hanya diam saja, pria pembawa buntalan kain maju mendekatinya dan membuka buntalan itu. Ternyata ada banyak botol kaca kosong di dalam buntalan itu. Baru setelah itu, wanita pengaduk ramuan mau menoleh sedikit ke arah botol kaca. Ternyata dia adalah Helena.
"Semuanya sudah habis?" tanya Helena.
"Ya," jawab pembawa buntalan kain singkat.
"Bagaimana hasilnya? Manjur atau tidak?" tanya Helena.
"Ya. Semua tanaman dan hewan yang ada di Desa Lopme sudah mati semua," lapor pria pembawa lentera.
"Kerja bagus! Akhirnya aku berhasil membuat racun yang bagus. Dari tadi malam, aku sudah memikirkan banyak nama untuk racun ini. Karena hasilnya bagus, aku beri nama Sarin," kata Helena.