Alatariel mengarahkan pandangan ke sampingnya. Ternyata di sana sudah berdiri Azzo yang memegang obor. Alatariel tidak sendirian di tengah hutan.
"Bagaimana perasaanmu sekarang? Sudah lebih lebih lega?" tanya Azzo.
"Apa itu lega? Aku lebih senang menjadi seorang Grizelle daripada Alatariel. Yang tersisa dari Alatariel hanyalah kenangan pahit," jawab Alatariel.
"Kau harusnya bersyukur karena masih memiliki kenangan walau pahit. Bagaimanapun rasanya, kenangan itu tidak akan pudar hingga ajal datang. Pikiran kita mungkin lupa namun tangan dan kaki akan terus mengingat kenangan itu," kata Azzo.
"Hanya karena ingatan Alatariel sudah kembali, bukan berarti aku bisa kembali menjadi Alatariel. Semuanya sudah hilang sekarang. Anakku meninggal, aku juga bukan lagi seorang ratu, aku hanyalah seorang janda yang tak punya apa-apa sekarang," ucap Alatariel.
"Aku yakin, ada satu hal yang hanya bisa dilakukan olehmu. Siapapun namamu, baik Grizelle atau Alatariel. Aku percaya, akan tiba satu waktu dimana kemampuanmu akan dibutuhkan oleh dunia ini," balas Azzo.
"Kemampuan seperti apa?" tanya Alatariel sinis.
"Apapun. Apapun itu. Jadi, mau kembali sekarang?" jawab Azzo.
Azzo mengulurkan tangannya pada Alatariel. Alatariel hanya diam dan memandangi tangan itu. Lalu, Alatariel memandangi wajah Azzo yang memerah terkena cahaya api obor. Azzo mengangguk untuk meyakinkan Alatariel bahwa semuanya akan baik-baik saja. Setelah itu, Alatariel baru bersedia untuk berpegangan pada tangan Azzo lalu Azzo menariknya. Mereka berdua berjalan bersama melewati celah pepohonan di dalam hutan.
"Lihatlah! Ada banyak luka di kakimu. Kau memang punya hak dan boleh memilih untuk menendang pohon dengan kakimu. Namun, apakah kau siap dengan rasa sakitnya?" tanya Azzo.
"Memang sakit tapi luka di kaki lebih cepat sembuh daripada luka di hati. Jika diminta memilih hati yang sakit atau badan yang sakit, aku lebih memilih sakit di badan. Jika hati sudah terlanjur retak, retakannya akan terus membekas seumur hidup," kata Alatariel.
"Ya, benar! Sama seperti pohon ini," kata Azzo sambil menunjuk sebuah pohon.
"Ada apa dengan pohon ini?" tanya Alatariel sambil melihat sebuah pohon yang ditunjuk Azzo.
"Apa kau sudah lupa? Tadi kau menancapkan pedang dan kapak di pohon ini. Pedang dan kapaknya sudah aku cabut. Ini dia!" kata Azzo sambil menunjukkan pedang dan kapak di tangan kirinya.
"Walaupun begitu, bekasnya masih tetap ada di pohon ini. Mungkin sama seperti hatimu. Terkadang aku bingung, kenapa semua wanita selalu menyangkutpautkan segala sesuatu dengan perasaan," lanjut Azzo sinis.
"Pohon ini tidak akan pernah sama. Ketika seseorang melampiaskan amarahnya, semua kata yang terucap dan semua tindakannya akan meninggalkan bekas luka di hati orang lain seperti ini. Dia bisa saja menusukkan pisau pada orang lain lalu mencabutnya. Sayangnya, tidak peduli berapa kali dia meminta maaf, bekas lukanya tidak akan hilang," ucap Alatariel.
"Lalu kenapa kau menancapkan benda ini ke pohon? Apa kau pikir pohon ini tidak merasakan sakit juga?" sindir Azzo.
"Entahlah. Kau yakin kalau aku yang melakukannya?" jawab Alatariel.
"Kau sendiri yang menancapkannya. Aku melihat semuanya dengan kedua mataku," kata Azzo.
"Kesurupan apa ya aku tadi?" gumam Alatariel.
"Entahlah. Apa yang membuatmu semarah ini?" tanya Azzo.
"Seseorang dari masa lalu," jawab Alatariel.
Kerajaan Tirtanu, Tahun 1343
Di tahun ini, Alatariel masih menjabat sebagai putri mahkota yang tinggal di istana Okaru. Setelah makan malam, dia segera menuju ke kamarnya. Dia segera berganti baju dan memakai parfum untuk menyambut suaminya, Ehren. Setelah semuanya selesai, dia segera duduk di atas kasurnya untuk menunggu Ehren.
Satu detik berlalu, sepuluh detik berlalu, hingga satu menit berlalu, Alatariel masih menunggu Ehren dengan sabar. Alatariel mulai bosan dan mengantuk tapi dia memutuskan untuk melawan rasa kantuk. Dia mengambil sebuah kalender dan membaca beberapa catatan yang ditulis di dalamnya.
"Besok hari ulang tahunku. Kira-kira Ehren menyiapkan kejutan apa ya? Biasanya dia siapkan kejutan di malam sebelum hari ulang tahunku. Kira-kira nanti dia siapkan kejutan apa ya? Apa mungkin sekarang dia masih menyiapkan kado untukku?" gumam Alatariel.
Alatariel kemudian meletakkan kalender di tempat semula. Untuk menunggu Ehren, dia mulai menata dan membersihkan kamar yang sebenarnya sudah cukup bersih dan rapi. Saat semua barang sudah tertata rapi sesuai keinginan, Alatariel kembali duduk di atas tempat tidurnya. Waktu sudah lama berlalu tapi Ehren masih belum datang juga. Alatariel masih menunggu dengan sabar walau jam pasir sudah harus dibalik.
"Hari ulang tahunku sudah datang sekarang. Tapi kenapa Ehren masih belum datang, ya? Ada apa, ya? Apa aku jemput saja di ruang kerjanya? Tidak, deh. Kalau memang masih kerja lembur, sebaiknya aku biarkan saja. Ya udah, aku tidur dulu", gumam Alatariel.
Malam sudah berganti pagi, Alatariel segera membuka matanya. Dia berguling ke sebelah kiri, ternyata bantal dan sprei di bagian kiri masih rapi dan kosong. Tidak ada lipatan sedikit pun yang berarti dari tadi malam tempat itu kosong karena Ehren tidak tidur di sana. Tak berselang lama, seorang pelayan masuk membawa air cuci muka ke kamar Alatariel.
"Apa tadi malam Putra Mahkota Ehren sempat datang ke kamar ini?" tanya Alatariel pada pelayan itu.
"Tidak. Dari sore, malam, hingga pagi ini, tidak ada satupun orang di istana ini yang melihat putra mahkota," kata pelayan itu.
"Ada apa ini? Biasanya sesibuk apapun, beliau tetap menyempatkan diri untuk datang ke kamar ini di malam ulang tahunku. Kenapa malam ini tidak? Apa ada sesuatu yang terjadi? Apa aku cek aja, ya?" pikir Alatariel.
Alatariel yang sudah cantik dan rapi segera pergi ke istana Amayuni. Dia segera masuk dari aula utama melalui pintu samping. Dari samping, Alatariel tidak meliihat Ehren di dalam aula utama. Yang ada di sana hanyalah Yang Mulia Raja Cedric, ayah Ehren dan beberapa stafnya. Mengetahui hal itu, Alatariel segera mempercepat langkah kakinya. Awalnya dia hanya berjalan. Namun kini tanpa dia sadari, dia berlari ke arah ruang kerja Ehren. Tanpa mengetuk, dia segera membuka pintu ruangan Ehren. Hasilnya, kosong. Tidak ada Ehren di ruangan itu.
Alatariel panik. Dia segera keluar dari istana Amayuni dan berlari ke arah danau Abbot. Belum sampai di tepi danau Abbot, Alatariel sudah berhenti. Dari kejauhan terlihat Ehren sedang berada di salah satu gazebo di sana. Pelayan Alatariel ingin mengumumkan kedatangannya namun Alatariel segera mengangkat tangan kanannya untuk memberi isyarat yang melarang pelayannya melakukan itu.
Alatariel melihat Ehren baik-baik saja. Dia duduk santai, bercerita, dan tertawa riang bersama seorang perempuan yang wajahnya tidak jelas di sebuah gazebo. Alatariel kaget melihat itu. Di satu sisi, dia bersyukur bahwa Ehren sehat dan baik-baik saja. Di sisi lain, dia bingung melihat Ehren yang lebih memilih menghabiskan waktu bersama perempuan lain daripada Alatariel. Padahal, hari ini adalah hari ulang tahun Alatariel. Jika ini terjadi di hari lain, Alatariel masih bisa memakluminya. Tetap saja, rasanya aneh jika Ehren melakukan hal ini di hari ulang tahunnya.
"Apa dia lupa kalau hari ini adalah hari ulang tahunku? Ada apa ini? Apa aku membuatnya marah?" pikir Alatariel.
Perasaan tidak enak muncul, perasaan itu langsung ditepis oleh Alatariel. Dia tidak ingin berprasangka buruk dengan Ehren. Tentu saja dia kaget, sudah pasti dia kecewa, namun dia masih ingin percaya. Percaya bahwa jauh di dalam lubuk hati Ehren, Ehren masih sayang pada Alatariel. Dengan perasaan bingung, Alatariel berputar balik dan pergi meninggalkan Ehren.
Sepanjang hari, Alatariel bekerja seperti biasanya. Dia berhasil menyelesaikan daftar pekerjaannya sebagai putri mahkota satu persatu dengan baik dan profesional seakan tidak ada hal buruk yang terjadi. Tanpa disadari, kejadian yang dia lihat pagi ini membuatnya lebih sering memandangi jam pasir. Tugas banyak sebagai putri mahkota membuatnya sibuk sehingga dia tidak punya waktu untuk merenungi kejadian tadi pagi dan meratapi nasib.
"Hari sudah siang, tapi masih belum datang sama sekali untuk menemuiku? Padahal hari ini masih ulang tahunku. Tahun-tahun sebelumnya dia tidak pernah seperti ini?" ucap Alatariel.
Banyak orang yang keluar masuk di ruang kerja Alatariel dari pagi hingga sore. Banyak kertas yang datang dan bertumpuk di meja kerjanya. Banyak juga kertas yang sudah dibaca dan distempel oleh Alatariel. Alatariel tetap menunggu Ehren sambil mengerjakan tugasnya. Sayangnya, Ehren belum muncul juga dari malam, pagi, siang, sore, dan kini hari sudah malam lagi.
"Apa dia benar-benar lupa kalau hari ini hari ulang tahunku?" tanya Alatariel pada dirinya sendiri.