|25 Mei 2044|
"Jelaga"
Tertatih, merintih
Hati, bukan hati
Teriak tanpa riak
Dibungkam, diterkam
Dalam jelaga, di rumah tua
***
30 Agustus 2044| Tugas cerpen pertama di kelas sembilan
"Deja Revé"
Nana mengaku bahwa mimpinya menjadi kenyataan. Itu jelas hanya dongeng agar anak-anak mau berteman dengannya, pikirku waktu itu. Sebab, dia bukan tipe gadis cantik yang rajin mandi. Tubuhnya selalu menguarkan bau semacam tempat pembakaran sampah dan semacamnya.
Namun, baru-baru ini aku percaya setelah dia menceritakan mimpinya sehari sebelum Rio jatuh dari sepedanya. Dia bilang, "Semalam Rio beneran bikin pertunjukan sirkus!" Dia bicara dengan santai sampai teman-teman kami berkumpul mengelilingi mejanya. "Aku nggak pernah lihat yang sekeren itu di depan mataku sendiri. Dia menabrak gerbang sekolah sampai setang sepedanya bengkok begini. Untung cuma giginya yang tanggal satu."
Teman-teman kami membulatkan mulut terkejut saat Nana memperagakan setang sepeda Rio yang bengkok setelah menabrak gerbang dalam mimpinya. Aku sendiri hanya mengangkat sebelah alis, antara percaya dan tidak karena baru kali itu Nana menceritakan soal orang yang sama-sama kami kenal.
Paginya, setelah Nana bercerita, langkahku dihentikan oleh kerumunan teman-temanku di samping gerbang sekolah. Tebak apa yang terjadi!
Itu beneran Rio! Dia sudah duduk di lantai dengan mulut penuh darah. Salah satu tangannya yang menengadah ke atas memperlihatkan semacam biji berlumuran darah bercampur liur—lalu kusadari beberapa detik setelahnya bahwa itu ada gigi Rio yang tanggal.
Setelah kejadian itu, aku mulai percaya pada cerita-cerita Nana. Lupakan saja fakta bahwa dia bau busuk saat bercerita tentang orang-orang tak dikenal yang masuk ke mimpinya. Kami, yang masih berusia 10, benar-benar merasa ini hal baru yang sangat menarik untuk dibicarakan. Kapan lagi kami bisa mengetahui sebuah tragedi akan terjadi sebelum tragedi itu benar-benar terjadi?
Dan, entah bagaimana ceritanya, aku terus berada di ruangan yang sama dengan Nana. Dia masih terus bercerita tentang mimpinya. Saat kami mulai duduk di sekolah menengah, dia mulai bercerita soal sesuatu yang lebih besar. Dia tidak bercerita tentang Pak Ini atau Ibu Itu, dia bercerita tentang sesuatu yang ditemukan satu minggu, tiga minggu, satu bulan hingga beberapa bulan setelahnya.
Di kelas sebelas—kupikir dia membual—Nana bilang dia bermimpi soal sebuah perusahaan yang membuat sebuah robot nyamuk untuk menyuntikkan vaksin pada orang-orang yang terkena virus. Namun, karena pendanaan yang terbatas, mereka akhirnya memutuskan untuk menggunakan nyamuk sungguhan setelah dilakukan rekayasa genetika sedemikian rupa. Dia melihatnya di koran dan televisi dalam mimpinya. Lalu, hal itu benar-benar terjadi. Sebuah virus masuk ke wilayah kami tanpa aba-aba. Tidak ada yang boleh saling mendekat jika tak ingin terjangkit. Maka dari itu, pemerintah bekerja sama dengan sebuah perusahaan teknologi untuk mengembangkan sebuah alat. Dan tebak, apa bentuknya? Itu beneran nyamuk!
Mereka bilang nyamuk punya struktur yang unik, memudahkan pengambilan sampel dan penyuntikan vaksin sekaligus karena mulutnya punya beberapa stilet. Alat itu juga menduplikasi cara kerja nyamuk yang tetap stabil bahkan saat terkena tetesan hujan. Canggihnya, mereka bisa mengontrol dengan kamera yang dipasang di bagian-bagian mata robot. Jadi, mereka tak perlu bekerja dua kali untuk mengambil sampel dan menyuntikkan vaksin. Secara otomatis data juga tercatat melalui detektor kamera. Itu hal paling keren yang pernah kutemui dalam keadaan paling mendesak yang pernah ada.
Kupikir, kenapa Nana tak menjual saja 'pemikirannya' itu? Dia bisa jadi peramal atau semacamnya, lalu mengeruk banyak untung dari kemampuannya.
Katanya, "Aku pernah punya niat 'menjualnya', tapi mimpi itu datang secara acak. Semakin aku mengingatnya sebangun tidur, semakin aku merasa asing. Semakin aku lupa. Jadi, kupikir itu punya cara kerja yang sama dengan dejamais vu. Aku hanya harus membiarkannya begitu saja dan menceritakannya ala kadarnya."
***
26 Desember 2044| Liburan akhir tahun yang membosankan >.<
"Mati Tanpa Alasan"
Penyakit mengerikan mulai merajalela, penduduk semakin resah. Mereka lebih menakutkan daripada zombie yang pernah kulihat di televisi.
Pagi ini papa membawa kami pindah ke wilayah paling terpencil di kota. Kami perlu tempat persembunyian sebelum mereka menangkap dan memangsa kami. Kuputuskan untuk menggali mimpi yang sempat kukubur dalam-dalam.
Katanya, di tempat baru kami, orang-orang meninggal tanpa sebab yang jelas. Aku mendengar ceritanya sejak masih mengenakan seragam pelaut. Kukira cerita itu hanya rekayasa, tapi sampai aku besar pun cerita itu masih ada—dan nyata. Aku punya keinginan, yang akan ditertawakan orang-orang yang mendengarnya, tinggal di sana. Akan kutemui orang-orang yang mati tanpa sebab, kuhabiskan hidupku untuk menemukan jawaban. Misteri-misteri itu harus terpecahkan. Tak mungkin orang meninggal tanpa sebab—baiklah, mungkin bisa karena semua atas kehendak Tuhan, tapi semua selalu punya kronologi, kan?
***
01 Januari 2045| Menanti liburan 'mematikan' ini usai
"Si Bocah Pembunuh"
Lagi-lagi, aku bertengkar dengan Zeon. Dia masih meninggalkan coretan-coretan spidol di atas mejaku, seperti biasanya, dan mungkin untuk yang terakhir kalinya.
Hari ini kuputuskan untuk membalas setiap perlakuan buruk Zeon. Aku bisa saja tetap diam kalau dia tak menyentuh jam tangan pemberian almarhum papa. Sayang, dia melakukan kesalahan besar dengan mengusikku menggunakan jam itu.
Katanya, "Murahan! Aku bisa beli satu truk kontainer penuh jam tangan itu." Harusnya dia berhenti sampai di sana, tapi dia membuatnya semakin buruk dengan melemparnya hingga menjadi kepingan menyedihkan di atas lantai kelas.
Sementara anak-anak lain menertawakan jam tanganku yang teronggok sebagai rongsokan tak bernilai, kuputuskan untuk menerjangnya. Mungkin itulah alasan mengapa orang-orang mulai menatapku dengan sorot ketakutan dan aku kena DO.
Saat di rumah, sambil berlinang air mata, mama bertanya, "Kenapa?"
Kubilang, "Zeon merusak jam kesayanganku sampai tak bisa dipakai lagi. Aku jadi marah. Marah sekali. Jadi, kucekik lehernya sampai dia memohon ampun. Sebenarnya aku masih ingin menyiksanya lebih jauh, tapi kubiarkan dia mendapatkannya lebih cepat. Kulempar tubuhnya dari jendela lantai tiga, di mana kelas kami berada. Dari jendela, aku melihatnya menggelepar, tapi aku tidak menyesal. Dia memang layak mendapatkannya."
Seharusnya, setelah mendengar penjelasanku, mama tersenyum bangga karena anak lelakinya ini tumbuh menjadi seseorang yang berani. Namun, sebaliknya, mama menangis lebih histeris. Lalu dia mengurungku di kamar selama berhari-hari. Dia terus berteriak bahwa tak boleh ada yang tahu aku masih hidup.
Aku masih delapan tahun saat itu. Aku tak mengerti maksud dari ucapan mama. Sekarang aku sudah sembilan belas tahun, hanya disondori benda kotak dengan CPU tanpa boleh keluar dari kamar, dan aku paham alasan mama mengatakannya. Aku tak lagi bertanya-tanya; atau memberontak minta dibukakan pintu; atau mencoba kabur dari jendela kamar lagi, sebab aku mulai paham, mama mengurungku karena tahu akan ada Zeon-Zeon lainnya saat aku dibiarkan berkeliaran di luar. Aku ... akan tumbuh menjadi seorang pembunuh. Mungkin bukan hanya teman-temanku, bisa saja ... mama.
***
18 Maret 2045| (Bagian ketiga dari cerita bersambung)
"Hipnoterapi"
.... Gadis itu terus mengigau dalam perjalanan kami. Keringat sebesar biji jagung tak pernah absen dari pelipisnya, padahal kami selalu tertidur di ruang terbuka: di bawah pohon besar, depan ruko, atau mungkin bangunan yang sudah rusak, tentunya tanpa selimut atau alas, jadi tak ada alasan untuk merasa gerah.
Lalu, aku baru menyadari sesuatu. Di tengah kekacauan ini, bagaimanapun caranya, kami perlu menemui terapis. Lia tak akan pernah bisa tidur dengan tenang sebelum semuanya benar-benar selesai. Dia menolak membagi isi kepalanya pada kami berempat, dan semakin hari kondisi tidurnya semakin memprihatinkan.
"Aku bukannya nggak mau cerita! Aku bahkan nggak tahu kenapa aku begitu." Itu yang selalu dia katakan. Sempat kupikir dia hanya beralibi agar tak perlu cerita lebih jauh pada kami, tapi lama-lama aku percaya dia jujur. Ekspresinya selalu kebingungan. Dia semakin sering bengong dalam perjalanan, sesekali hampir terjerembab atau menubruk pohon, terpeleset atau tertampar ranting pohon.
Walau tak yakin bisa menemukan dokter waras di tempat yang tak ada harapan seperti ini—hampir semua bangunan rusak dan penghuni pulau seperti anjing gila yang berkeliaran—setidaknya kami harus berusaha keluar dari hutan dan mulai mencari salah satu dari mereka.
"Aku pernah membaca soal ini," kataku setelah kami mulai berbaring di bawah pohon besar, menatap kerlipan bintang seperti malam-malam sebelumnya. "Katanya hipnoterapi bisa digunakan untuk menggali ingatan. Kita bisa ke kota, mencari dokter yang bisa membantu mencari tahu ketakutan Lia—"
"Katakan padaku, Pat, kau cuma penasaran dengan apa yang Lia mimpikan setiap malam, bukan bermaksud membantunya untuk sembuh." Liam melirikku sekilas sebelum mengubah posisinya menjadi miring, memunggungi kami semua. "Kau selalu penasaran pada apa pun yang berkaitan dengan penyakit mental."
"Itu nggak sepenuhnya salah, tapi mengatakan bahwa aku tak bermaksud membantu Lia sembuh bukannya keterlaluan?"
Walaupun benar bahwa rasa penasaranku lebih besar dari keinginan untuk membantu Lia sembuh, tapi mengatakannya membuatku terlihat buruk. Padahal tak ada salahnya, aku ingin tahu sehebat apa hal itu sampai mempengaruhinya setiap malam. Apa dia memimpikan kehancuran yang lebih hancur dari dunia kami saat ini? Atau dia memimpikan ruang percobaan yang dipenuhi oleh manusia-manusia gagal? Atau dia memimpikan ledakan di setiap tempat? Aku ingin tahu separah apa mimpinya itu.