Chereads / (THE) RAVEN / Chapter 3 - KENORMALAN SYENA

Chapter 3 - KENORMALAN SYENA

Ada kerumunan di perbatasan distrik dekat sekolah. Orang-orang menutup mulut tak percaya. Semakin lama semakin banyak yang berdatangan.

Sementara petugas medis mengangkat seorang pria tua yang sudah tak bernyawa menggunakan tandu, polisi mencoba memasang garis larangan melintas.

Salah seorang dari polisi itu menggerutukan soal hujan deras yang mengguyur distrik semalam hingga dini hari tadi. Bahkan hingga sekarang pun rintik hujan masih turun. Orang-orang yang terlampau penasaran ikut mengenakan jas hujan hanya demi melihat apa yang terjadi, ikut berdesakan dengan para petugas medis dan polisi.

~Syena~

____________________

Pria paruh baya di depan sana memincingkan matanya ke arah kami. Sudut bibirnya berkedut. Rasa-rasanya aku tahu seberapa kuat dia menahan diri untuk tidak mencekik dan melempar kami ke kawanan belut listrik di kolam belakang.

Aku mengibaskan tanganku, mengakhiri suasana yang sengaja dibuat mencengkam oleh pria itu. "Yah, itu kan wajar-"

"Maksa teman kamu minum air rebusan cacing dan ninggalin dia dalam keadaan setengah telanjang di UKS semalaman itu wajar? Harusnya hukuman skorsing terlalu ringan buat kamu, Syena." Baru kupancing begitu, emosi pria itu langsung meluap-luap. Ada gurat kemerahan di matanya, bahkan napasnya memburu setelah mengeluarkan kalimat menjengkelkan itu.

"Harusnya Bapak bilang makasih dong. Kami begitu kan buat kebaikan Tris." Pria itu-papa Tris-bersiap mengeluarkan suara, tapi aku buru-buru menyela, "Waktu saya demam nggak sembuh-sembuh, mama saya kasih minum air rebusan cacing. Terus saya disuruh tidur tanpa selimut semalaman. Dua hari kemudian saya langsung sembuh tuh."

"Stres ya kamu!"

"Asal Bapak tahu ya, kami juga kesusahan nyari cacing di kolam belakang. Kami juga nyusup ke dapur sekolah buat rebus cacingnya, sampai sempat rebutan pintu sama Pak Yok karena katanya siswa nggak boleh masuk ke dapur. Kami udah bela-belain kesusahan begitu, kenapa sekarang malah disalahin bahkan dikatai stres?"

"Ya ampun anak ini!"

Aku berjengit, merapatkan tubuhku pada Clara saat kulihat papa Tris mengambil ancang-ancang untuk beranjak. Tangannya mengepal kuat, tapi aku punya firasat kuat dia bakal menerkamku begitu mendekat. Ekspresi wajahnya semakin kaku karena Pak Rian menahannya. Mungkin super kesal menghadapi situasi yang membuatnya tak bisa leluasa melampiaskan rasa geramnya padaku.

"Ya, mungkin dari sudut pandang Bapak, kami keterlaluan. Tapi, ya, mau bagaimana lagi. Tris seharian cuma duduk bengong di kelas. Mukanya pucat, bahkan dua hari lalu dia sempat semaput di koridor sehabis pulang sekolah-untungnya ditemuin, kalau nggak mungkin udah wasalam-" Aku kembali berjengit, sedikit, karena melihat papa Tris hampir beranjak menerjangku lagi. "Terus," lanjutku setelah memastikan pria itu dalam pengawasan Pak Rian. "saya nggak tega! Tris bilang dia nggak diperiksain ke dokter. Saya juga nggak bawa uang banyak buat anterin dia periksa. Di sini yang paling murah cuma rebus cacing. Ya udah, saya numpang rebus cacing di dapur sekolah, soalnya ibu kantin mencak-mencak pas saya bilang mau pinjem panci soto buat rebus cacing. Habis itu, Si Tris katanya malu kalau harus buka baju di depan kami. Jadi, kami biarin dia sendirian di UKS biar nggak malu."

Entah kenapa, dari sudut mata, kulihat Clara dan Katrin melipat bibirnya ke dalam. Hidung mereka kembang-kempis seperti menahan tawa. Lalu, berbanding terbalik dengan kedua temanku itu, Pak Rian memijit kepalanya sambil menghela napas panjang.

"Jangan bercanda, Syena," katanya dengan nada lelah. Ini bukan pertama kalinya sih kami dipanggil menghadap Pak Rian dan wali siswa. Tapi kali ini, kalau saja ini komik, aku seperti bisa melihat bendera putih yang dikibarkan dalam kepala Pak Rian.

"Saya serius banget-nget-ngettt. Coba aja tanya Pak Yok. Pak Yok sempat kejedot pintu sebelum dikunciin Katrin di luar."

Suara tawa tertahan membuatku melirik tajam ke arah Clara dan Katrin. Keduanya langsung diam dalam hitungan detik.

"Sudah. Saya capek bicara sama kamu, Syena. Terpaksa saya harus panggil papi kamu ke sini." Dengan bahu luruh sejak perdebatan kami dimulai tadi, Pak Rian beranjak meraih ponselnya, benar-benar menelepon papi.

Selagi ditinggal Pak Rian, papa Tris sedikit beranjak, menyondongkan tubuhnya melewati meja di antara kami. "Kamu-dasar psikopat!" umpatnya dengan tangan menunjuk-nunjuk wajahku. "Nggak cukup kamu diskors, harusnya kamu dikeluarkan dari sekolah ini."

"Kok Bapak ngomong gitu!" Katrin berseru, tidak terima. "Niat kami kan baik."

"Jangan kayak anak TK! Mana ada niat baik yang kayak gitu? Gara-gara kalian, Tris malah jadi tambah ngedrop. Memangnya kalian mau tanggung jawab kalau dia sampai mati?"

"Wah, nggak bener bapak ini." Clara menutup mulutnya tidak percaya. "Masa berharap anaknya mati."

"ARGH! Rasanya kepala saya mau pecah ngadepin anak gila kayak kalian!" Papa Tris mengerang kesal, kami yang melihatnya hanya meringis. Dia lebih terlihat menakutkan daripada mami yang marah-marah karena aku mengambil cakar ayam bagiannya. Mungkin, kalau tidak di ruang kesiswaan dan ada Pak Rian, papa Tris sudah menikam kami menggunakan penggaris di atas meja.

"Lagian kan Tris ngedrop bukan sepenuhnya salah kami. Malahan, bagus kami ngunci dia di UKS, akhirnya Bapak mau periksain dia yang kayak udah nggak ada harapan-"

Brak!

Kami bertiga terlonjak, ditambah Pak Rian yang baru menutup teleponnya. Papa Tris menggebrak meja dengan mata memerah menahan amarah. Pandangannya yang tadi terarah pada kami dipalingkan pada Pak Rian. "Apa mereka nggak masuk pengecualian orang yang nggak boleh kena kekerasan fisik?"

"Ada apa ini ribut-ribut?" Suara itu membuat kami yang di dalam menoleh ke pintu masuk. Kepala sekolah berdiri di sana dengan kedua tangan disembunyikan di belakang punggung. Pria tua itu mungkin seharusnya sudah duduk di kursi goyang sambil menghitung uang pensiunannya, tapi entah mengapa dia malah memilih untuk tetap berkutat-dan terlibat-dalam masalah sekolah begini.

"Bapak kepala sekolah yang terhormat," kataku, "kami nggak bersalah. Beneran. Kami malah bantuin Tris, cuma papanya Tris nuduh kami yang nyelakain Tris. Mohon kebijakannya, Bapak kepala sekolah yang terhormat, kami juga harus masuk kelas, solanya Bu Firda galaknya nggak ketulungan. Bisa-bisa kami disetrap sampai pulang sekolah."

"Pak-"

"Iya, saya sudah dengar." Kepala sekolah memotong ucapan papa Tris. Senyum statis masih terpajang di wajahnya. Lalu, mata tuanya beralih menatap Pak Rian. "Sudah panggil orang tua mereka?"

"Sudah dalam perjalanan, Pak."

"Ya sudah, kita tunggu sampai semuanya berkumpul."

Bahuku luruh. Kalau sudah begini, bisa dipastikan sepulang sekolah telingaku harus menanggung keberisikan mami, setidaknya sampai tengah malam. Mami pasti akan berceramah soal anak gadis yang harusnya bersikap manis dan semacamnya.

Sekitar lima belas menit kami diam-diaman. Sesekali Clara dan Katrin mengeluh bokongnya kebas dan mulai sakit punggung, sampai kemudian ibunya Clara muncul bersama mama Katrin, diikuti papi di belakangnya.

"Buat ulah apa lagi kamu, Syena?" desis papi pelan seraya mengambil tempat duduk di sampingku, setelah dipersilahkan oleh kepala sekolah.

"Jadi gini, Papi," aku diam, urung menjelaskan saat papi mengangkat tangannya, memberi isyarat bahwa dia tak butuh penjelasan dariku. Melihat itu, papa Tris di depan sana mengangkat sudut bibirnya puas.

Dalam pembicaraan selanjutnya, aku dipaksa untuk bungkam. Clara dan Katrin juga. Pak Rian yang mewakili kami menceritakan kronologi kejadiannya. Walaupun tak ada satu pun bagian yang terlewatkan-sampai aku juga heran dengan kemampuan mengingatnya-tapi aku tetap merasa gemas. Ingin menegaskan bahwa kami benar-benar tak ada niat lain selain membantu.

"Nah, intinya," kata kepala sekolah, "niat kalian bertiga mungkin baik, hanya saja caranya yang kurang benar. Kalian seharusnya nggak diperbolehkan memaksa bahkan mengunci teman kalian di UKS."

"Kami nggak maksa-"

"Syena," papi memanggil namaku dengan nada memperingati. Ya sudahlah, kuputuskan untuk menerima dengan lapang dada hasil 'putusan' bapak kepala sekolah yang terhormat.

"Untuk itu, kami perlu bantuan dan kerja sama Anda sekalian sebagai wali agar bisa memberikan sosialisasi kepada putri Anda. Syena, Clara dan Katrin akan kami rumahkan selama tiga hari. Semoga setelah tiga hari sudah ada perbaikan."

Aku, Clara dan Katrin saling melirik. Kami mendapat skorsing. Kabar bagusnya, kami tak perlu bertemu dengan Bu Firda dan Pak Haryo yang hobinya marah-marah. Kabar buruknya, kami mungkin harus memasang muka badak menahan malu setelah hukuman selesai. Ah, gara-gara papa Tris ini!

"Skorsing tiga hari terlalu ringan untuk mereka. Saya keberatan. Saya merasa Tris dilecehkan."

"Dilecehkan dari mananya?" kataku, tak terima.

"Syena, Papi nggak ijinin kami bicara sekarang."

Aku mendengkus kesal, mengabaikan ucapan papi. Kutatap papa Tris yang menatap nyalang ke arahku. "Toh, kami nggak lihat badan dia tuh. Kami cuma minta dia buat lepas kemeja sama kaosnya-soalnya ketebalan, bisa bikin demamnya tambah naik-terus kami kunciin dia di UKS sebelum dia buka-buka. Kalau masalah kami maksa dia buat minum air rebusan cacing, ya itu bukan salah kami dong. Dia kan cowok, harusnya bisa nolak."

"Co-" mama Katrin tergagu.

"Jadi, yang kita ributin dari tadi itu spesies manusia yang kita sebut ... cowok?" Ibu Clara mendelik tidak percaya. Dari sudut mata, papi juga terlihat terdiam, seperti tidak menyangka orang yang kami aniaya-sebenarnya tidak, mereka beneran salah paham-berjenis kelamin laki-laki.

Dan akhirnya, kami tetap diskors selama tiga hari.