"Kamu …"
Claudio melihat Agnes sedang berada di taman tengah kota, menyaksikan gadis yang bermain biola itu. Keduanya saling tunjuk dan terkejut bertemu di tempat tak terduga. Clarissa yang melihat Claudio segera merangkulnya tanpa ragu hingga membuat Jhon kesal dan segera melepas kasar tangan Clarissa dari leher Dio.
"Tolong yang sopan, ya anak muda!" Jhon melirik tajam Clarissa.
"Eh, m-maaf. Saya kelepasan." Clarissa membungkukkan badan, menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal.
"Anda tak apa, Tuan Muda?" Jhon segera menghampiri Dio, memeriksa keadaannya.
"Tak apa, Paman. Aku hanya sedikit terkejut." Sahut Dio melihat ke arah gadis berambut agak kecoklatan dengan seragam kotak-kotak hijau dan pita rambut warna senada dengan seragam yang ia kenakan dan rambut yang dikuncir ekor kuda.
"Kamu … bukannya anak yang kemarin datang ke La Toule, kan?" Agnes memiringkan kepalanya.
"Claudio, Nes namanya. Bukan kamu. Dia anak yang populer, lho di sekolah kita." Goda Clarissa beralih ke gadis berseragam hijau.
"H-hai, apa kabar? Maaf, ya kemarin aku ga sopan banget langsung main pergi gitu aja. Namaku Claudio, panggil Claud atau Dio juga boleh." Claudio mengulurkan tangannya diikuti senyum.
"Ayo, Nes. Kenalan! Jarang-jarang, lho anak paling pinter satu sekolah dan satu angkatan lancar kenalannya." Clarissa tak dapat menahan tawanya.
"EHEM!"
Clarissa langsung terdiam dan menundukkan pandangannya ketika Jhon berdehem dengan sangat kencang. Gadis yang ada di depannya hanya tersenyum tipis melihat kelakuan Clarissa.
"Oh, hai. Aku Agnes." Tangan keduanya saling berjabat dengan tatapan intens.
"EHEM!" lagi-lagi Jhon berdehem kencang hingga membuat Dio dan Agnes salah tingkah dan melepas tangan keduanya.
"Siapa dia?" tanya gadis berseragam hijau melihat ke arah Claudio.
"Oh, salah satu idol sekolah kami, Alfredo Claudio Regazka. Pintar, pendiam, cool, misterius, kutu buku."
"Kutu buku? Masa, sih? Kok kayak bukan kutu buku, ya?" gadis berseragam hijau itu makin penasaran.
"Kenapa? Ga percaya?" Clarissa meliriknya sambil menyeringai.
"Hmmm, penasaran aja. Kok ada kutu buku tapi kaya idol gitu, sih? Ganteng …" ucapnya tanpa sadar.
"Hei! Lamunin apa, hayo? Jangan mikir macem-macem! Udah kelas tiga! Pikirin nanti mau ke mana setelah lulus." Clarissa mengibaskan salah satu tangannya.
"Aku mau ke Inggris, Royal Academy. Papi udah daftarin aku di sana," ucapnya percaya diri.
"Wuih, enaknya … Royal Academy! Bukan main papi kamu, Lina! Masuk sana ka susah, sama kaya yang dipilih Agnes."
"Memang dia pilih apa?" tanya gadis yang bernama lengkap Paulina itu menanggapi.
"Le Conservatoire de Music, kalo ga salah."
"Hmmm, itu bagus juga."' Sahut Paulina selesai membereskan biolanya kemudian menghampiri Agnes yang masih tak beranjak dari tempatnya semula.
"Agnes-" ucap gadis riang itu menepuk pelan bahu kanan Agnes.
"Oh, kau sudah selesai, Lina?" tanya Agnes sedikit terkejut.
"Huum-" Jawab Paulina melirik Claudio yang berdiri ditemani Jhon. Tanpa ragu, Lina-panggilannya, langsung mengulurkan tangan pada Claudio.
"Hai, aku Paulina. Teman Agnes dan Clarissa, beda sekolah tapi." Senyumnya.
"Aku Claudio." Jawab Dio menyambut uluran tangan Lina.
"EHEM!"
"Paman, hentikanlah! Tak enak deheman Paman, membuat kami terkejut." Keluh Claudio spontan dan membuat Agnes juga Clarissa terkejut dengan sikap dan perilakunya di sekolah yan terkenal dingin, cuek, bahkan terkenal angkuh.
"Oh, my … i-ini beneran kamu?" Clarissa menjapit sedikit jas almamater sekolah yang dipakai Dio dan mengangkatnya.
"Nona!" pekik Jhon dan segera dibalas dengan angkatan tangan oleh Dio. "Biarkan, Paman. Aku tak apa."
Lina terus memperhatikan Dio sejak awal mereka beradu pandang, sementara Agnes tak banyak bicara. Dia memang memperhatikan Dio, tapi pikirannya sedang melanglang buana entah ke mana.
"Kamu dari sekolah mana, Lina?" tanya Dio memperhatikan seragam yang dipakai Lina.
"Oh, aku dari SMA Eskaritas, sekolah khusus musik," sahutnya.
"SMA Eskaritas? Aku belum pernah mendengar namanya."
"Itu-"
"Itu adalah sekolah eksklusif bagi siswa yang memiiki bakat dan talenta di bidang musik. Mereka hanya menerima sekitar 500 orang saja per tahunnya, karena itu mereka disebut eksklusif. Lulusan dari sekolah itu telah mendapat jaminan akan diterima di kampus-kampus musik bergengsi tanpa adanya persaingan." Jelas Agnes melihat dengan ekspresi datar ke Dio.
"Wah, aku ga tahu kamu paham banget tentang sekolahku, Nes." Lina kagum dengan penjelasan Agnes.
Membetulkan tasnya, Agnes berkata sambil bersiap melangkah, "Karena awalnya aku diterima di sekolah itu!"
Tak ada kata lain lagi yang terucap dari mulut Agnes. Gadis itu melangkahkan kakinya berlalu meninggalkan Dio, Clarissa, Lina, dan Jhon yang hanya melihat tanpa bicara.
"A-apa dia marah?" tanya Lina sedikit khawatir.
"Enggak. Dia ga marah. Cuma kalau bisa jangan nyinggung soal musik. Kalo gitu, aku duluan, ya. Bye. Bye, Dio." Clarissa segera berlari menyusul Agnes. Sementara itu, Dio yang masih berada di taman kota segera diajak kembali pulang oleh Jhon.
"Tuan, kita juga harus segera kembali. Tuan dan nyonya besar akan segera pulang." Jhon menunjukkan jam di tangannya pukul empat sore.
"Sebentar, Paman. Jarang-jarang aku bisa menikmati langit jingga sore. Aku hanya ingin bisa melihat dengan tenang tanpa gangguan." Dio mendongakkan kepalanya melihat langit yang sebenarnya masih agak terik. Entah dari mana ia bisa berkata jika langitnya berwarna jingga.
"Tapi, langitnya masih panas." Lina menunjuk ke atas.
"Itu hanya perumpamaan saja bagiku. Aku merasa tenang melihat sesuatu yang redup dan sedikit gelap." Senyum Dio.
Lina hanya mengernyitkan keningnya. "Oh, ya Nona tinggal di mana?" Jhon tiba-tiba masuk ke dalam percakapan mereka.
"Oh, saya dekat sini, kok Paman." Sahutnya tersenyum. "Kalau begitu, saya permisi dulu, Paman, D-Dio …" Lina menundukkan kepalanya sedikit dan segera meninggalkan Dio dan Jhon.
"Tunggu!" ucap Dio menghentikan langkah Lina.
"Ya, ada apa?" Lina membalikkan tubuhnya.
"Apa kau sering main di sini?"
"Maaf? Main?" Lina mengernyitkan keningnya dari pertanyaan Dio.
"M-maksudku …."
"Maksud Tuan Muda, apa Nona sering bermain biola atau konser mini di tempat ini?" Jhon membantu Dio melanjutkan pertanyaannya.
"Konser kedengarannya sangat berlebihan, Paman. Saya masih belajar dan pemula."
"Tidak! Kurasa kau bukan pemula!" Dio memotong ucapan gadis itu
"Maksud kamu …." penasaran Lina.
"Aku bisa lihat bagaimana cara kamu memegang biola! Seperti tak ada beban … bebas … ringan … seolah kamu sudah mahir melakukannya. Dan jari-jarimu … ketika menggesek string dan memainkan fingerboard serta posisi tubuhmu kala memainkan biola … benar-benar luwes, tak kaku. Apa kau sudah lama berlatih biola?" tanya Dio penasaran.
Lina terdiam. Dia hanya melihat Dio mematung dan meletakkan tas biola warna hitamnya, sekali lagi Lina menatap dengan mata telanjang Dio yang ia yakin sangat penasaran dengannya.
"Nona, kenapa melihat Tuan saya dengan tatapan seperti itu?" Jhon memasang badannya, menghalangi pandangan Lina.
"O-oh, m-maaf Paman. Saya ga ada maksud, tapi saya sedikit terkejut Dio tahu banyak tentang biola."
"Itu karena Tuan Muda mengikuti kursus pribadi dengan pengajar musik terbaik di kota ini," sahut Jhon bangga.
"Benarkah? Wah, sepertinya saya juga harus menjadi anak didiknya, ni." Goda Lina sambil tersenyum.
"Mainkan!" ucap Dio tiba-tiba.
"A-apa? Mainkan apa?" Balas Lina menatap Dio bingung.
"Symphony No.5. Bukankah itu lagu Beethoven?"
Lina mengangguk.
"Tuan, kita harus segera pulang. Tuan dan Nyonya Besar akan kembali." Jhon terus mendesak Dio.
"Tolong mainkan lagi lagu itu, sebentar saja." Dio terus menatap LIna penuh harap. Tak enak dan sedikit bangga, Lina akhirnya mau mengabulkan permintaan Dio. "Tuan, tapi kita …."
"Paman, tahukah kau mendengarkan musik itu bisa membantu otak kita lebih tenang dan rileks, jadi kita akan hidup bahagia."
Jhon langsung mengatupkan mulutnya. Ia tahu bagaimana Dio di mata kedua orang tuanya, terutama papanya. Jhon menarik napasnya dalam-dalam, membetulkan kacamatanya dan tersenyum berkata, "10 menit, Tuan Dio. Hanya 10 menit, tak lebih."
"10 menit cukup bagiku untuk menikmati kebebasanku, Paman." Balas Dio dengan senyuman.
Lina segera memainkan lagu yang diminta oleh Dio. Gadis itu sambil memejamkan mata, menghayati tiap gesekan string yang ia gesek dengan bow di jari-jari panjang luwesnya.
"Indah bukan, Paman?" Tanya Dio yang juga memejamkan matanya.
"Saya tak begitu mengerti tentang musik, Tuan Muda. Tapi, Nona ini sepertinya memang sangat berbakat."
"Kau benar, Paman. SMA Eskaritas, ya? Apa menurutmu murid-murid di sana memang telah diberi kelebihan dan talenta bermusik?" Dio kini membuka matanya, melihat sepoi angin mengibarkan rambut Lina yang dikuncir ekor kuda dan wajahnya yang tenang serta lembut, membuatnya menikmati permainan sang gadis.
"Tuan, sudah 10 menit." Jhon menunjuk arloji di tangannya.
Dio mengangguk mengerti. Segera, Dio menghampiri Lina dan merundukkan tubuh jangkungnya dan dengan suara pelan berkata, "Nona, waktumu telah habis."
Lina yang terkejut segera menghentikan permainan biolanya dan melihat dengan jelas wajah tampan Claudio yang terpampang nyata di depannya.
"E..eh, k-kamu ngapain" tanya Lina membelalakkan matanya.
"Memberitahumu jika waktu pertunjukkan telah habis."
Lina segera menyadari ucapa Dio. Dengan wajah malu dan tertunduk, buru-buru ia membereskan biolanya dan membungkukkan badannya berpisah dengan Dio.
"Nona Lina," panggil Dio.
"Y-ya?"
"Kapan-kapan, saya boleh kan lihat permainan kamu lagi?"
Lina hanya membalas dengan sebuah senyuman. Gadis 18 tahun itu kemudian perlahan menghilang dari pandangan Claudio. "Tuan Muda, ayo. KIta juga harus kembali." Jhon membalikkan tubuhnya, berjalan menuju kendaraan yang tak jauh diparkirkan di tempat itu.
"Menurut Paman, apa aku akan bertemu dengannya lagi?"
"Tentu saja, Tuan. Jika Anda yakin."
"Hahhh, yakin, ya? Aku bahkan tak yakin dengan impianku, Paman. Yang aku tahu ketika langkahku telah masuk ke rumah itu, keyakinanku mulai runtuh."
"Ada banyak jalan menuju Roma, Tuan. Satu pintu tak bisa dibuka, masih ada pintu lainnya dan dengan kunci yang sama."
"Paman memang yang paling mengerti aku." Dio merangkul sang kepala pelayan layaknya anak merangkul ayahnya.
***
Sementara di tempat lain, Agnes yang kembali ke La Toule Music Academy hanya duduk murung sambil menyandarkan dagunya pada shoulder rest biolanya. Kedua mata gadis 18 tahun itu terpaku pada langit yang mulai meredup menelan matahari.
"Nes, kamu ngapain di sini?" Suara langkah sepatu flat warna hitam perlahan mendekati Agnes.
Agnes hanya diam, Dia tahu gurunya sedang menuju ke arahnya, tapi rasa kekecewaan yang begitu besar benar-benar tak bisa ditutupi dari wajah Agnes. Dia mengepalkan tangannya, gemeretak gigi-giginya bahkan bisa Odele lihat dari tulang pipi kanan Agnes yang padat.
"Nes-"
"Saya gagal, Nona Odele!" sahut Agnes menahan air matanya.
"Gagal kenapa?"
"Saya tak bisa menepati janji saya pada Nona Odele! Saya benar-benar malu! Saya … saya …." Tangis Agnes tak dapat dibendung dan langsung pecah! Odele segera memeluk Agnes yang benar-benar rapuh dan membutuhkan sandaran.
"Nes, jangan sedih. Ibu sama sekali ga maksa kamu melakukannya. Kamu punya tekad yang kuat saja benar-benar satu kebanggaan buat Ibu. Sudah, ya. Kamu jangan nangis lagi. Besok, Ibu akan ajak kamu melihat salah seorang pemain biola profesional, jadi kamu bisa belajar dari beliau. Gimana?"
Agnes menghentikan tangisnya. "Besok, Nona?"
Odele mengangguk. "Iya, apa kau ada rencana besok?"
"Jam berapa Nona akan mengajak saya?"
"Jam lima."
Agnes membisu seketika. Dia teringat besok adalah hari di mana maminya akan kembali ke Indonesia. "Nes, kok malah bengong? Ada apa? Besok kamu ga bisa?" tanya Odele lagi.
"Besok … mami saya akan tiba di Indonesia, Nona." Agnes memelankan suaranya, lirih.
"Oh, sayang sekali. Padahal besok adalah hari terakhir violin itu ada di Indonesia."
"Eh-" Agnes membelalakkan matanya. Dia sekarang berada di antara dua lembah yang sama-sama memiliki keuntungan dan kerugian.
'Bagaimana ini? Mana yang harus aku pilih? Menjemput mami atau ikut Nona Odele?'