Hari itu, 18 Agustus 1979 satu hari setelah perayaan kemerdekaan Republik yang yang katanya sudah merdeka ini. Kami menerima undangan perayaan dari seorang keluarga kesultanan yang dilayani keluargaku selama puluhan tahun, bahkan sebelum Republik ini memproklamirkan kemerdekaannya.
Nyatanya itu bukan hanya pesta perayaan kemerdekaan, ku dengar hari itu akan diumumkan calon istri dari putra sulung keluarga itu yang mana mereka masih menyebutnya sebagai putra mahkota dengan gelar keratonan. Pria yang secara otomatis mewarisi kerajaan bisnis milik nenek moyangnya yang keturunan langsung raja-raja yang konon kekuasaannya bahkan sampai ke Thailand.
Aku melirik Dewi, kakak tiriku yang duduk disisi kananku, matanya terpejam. Aku yakin dia mengingat kembali saat beberapa tahun silam dia pernah menumpang disalah satu rumah konglomerat itu. Bahkan kudengar putra sulung itu pernah beberapa kali mengajaknya menonton, apakah Dewi berkhayal namanya akan dipanggil saat pengumuman itu. Seperti sebuah keajaiban.
Tapi kenyataannya aku juga berharap demikian, apalagi menurut kabar burung yang kami dengar, namaku bahkan pernah disebut doro putri. Ah, andai benar namaku yang akan disebut nanti maka sempurna kisahku sebagai seorang cinderalla didunia nyata.
Aku tak pernah mengenal siapa ibuku, maksudku ibu kandungku. Dia meninggal dunia beberapa jam setelah melahirkanku. Lalu untuk membantu mengurusku, ayahku menikahi tetangga kami yang janda dengan seorang putri, tepat setengah tahun setelah kepergian ibuku. Naas bagi wanita yang kemudian kukenal sebagai ibu ini. Tak sampai setahun umurku, ayahku mengalami kecelakaan di proyek tempatnya bekerja dan kami tak pernah dapat melihat jasadnya yang remuk. Kala itu ibu tiriku tengah mengandung buah hatinya dengan ayah.
Singkatnya aku tak pernah mengenal kedua orang tuaku, kedua wanita disampingku inilah yang membesarkanku. Berbeda dengan Cinderella, ibu dan saudara tiriku adalah yang terbaik didunia ini untukku. Dalam semua keterbatasan kami, mereka memberikan yang terbaik untukku. Maka menjadi Cinderella yang hidup penuh dengan keajaiban juga adalah mimpiku.
Kami tiba disebuah rumah, tak layak dikatakan rumah. Ini istana bung...istana....karena yang tinggal didalamnya pun memanggil pelayannya sebagai abdi dalem dan mereka masih dipanggil doro ratu, doro prabu dan doro gusti dan istilah-istilah yang bahkan mulai tak kumengerti.
Halaman yang luas dengan taman yang indah, serta tiang-tiang tinggi bak pohon yang telah hidup sejak kompeni baru menginjakan kakinya di Republik ini.
Mereka bangsawan,mereka ningrat, mereka konglomerat dan mereka hidup dengan gaya kebarat-baratan. Mengapa? Karena sejak nenek buyutnya dulu serta beberapa keturunan setelahnya menikahi noni belanda. Kakek buyut mereka yang pertama kali menikahi noni itu adalah kakek buyutku juga. Itulah mengapa kami masih memiliki hubungan yang erat. Eyang putri, ibu dari ayahku bahkan sampai saat ini merupakan abdi mereka. Yang ku tahu dia wanita kedua yang berpengaruh dikeluarga itu, bahkan lebih berpengaruh dari doro ratu, karena beliau adalah tangan kanan doro puteri, sang ibu suri. Pengabdian dan loyalitasnya pula yang kadang membuatnya melupakan kami dikampung.
"selama disini, kalian akan menempati paviliun barat"
"baiklah..."ibu membantu pria itu mengangkat tas pakaian kami.
"emh,anu...pak pukul berapa pestanya dimulai" tanyaku melihat pria itu akan segera meninggalkan kami.
"ba'da magrib biasanya" jawabnya singkat.
"pak..." dewi menghentikan langkah pria itu.
"bapak ingat saya kan, beberapa tahun silam saya pernah tinggal di paviliun utara"
Pria itu mengamati Dewi, lalu mengangguk sekilas. Namun kali ini dia memperbaiki cara berdirinya.
"sampaikan kepada Eyang Putri bahwa cucunya sudah datang"
Pria itu mengangguk takzim. Lagak Dewi seperti tuan yang memerintah kacungnya. Aku geli melihatnya.
"mereka begitu buk, kalau tau kita keluarga eyang putrid baru kalang kabut"
Dewi ketus sambil mengambil tas yang sejak tadi kupegang. Dia selalu mengambil beban yang ku bawa. Mengapa begitu? Karena dia sulung kami, tempat kami bergantung selain kepada ibu, itu perintahnya.
Usai Sholat Magrib, Dewi memakaikanku gaun yang baru sekali dipakainya. Gaun itu pernah dipakainya tahun lalu saat hadir dalam undangan kenegaraan di istana kepresidenan. Gaun yang luar biasa karena harga jauh diatas harga baju yang biasa kami pakai.
"karena namamu disebut doro putri, kamu mungkin bisa masuk ke aula utama"
"kalian?"
"kami diluar saja nanti, berdoa semoga kamu atau aku dapat jodoh orang tajir disini hahhaaha" Dewi dan ibu terpingkal-pingkal menertawai diri sendiri.
"benar itu, undangan yang hadir bukan dari kelas biasa.ya, kecuali kita" lanjutnya. Ibu mulai serius mendengarkan bualan Dewi yang lebih tau kehidupan disini karena dia tinggal di Kota sampai menamatkan kuliahnya. Maka secara otomatis Dewi lebih pintar dan lebih tau dibanding aku dan ibu.
"benar toh nduk" ibu seperti biasa, mulutnya mangap mendengar cerita-cerita orang gedongan dari Dewi.
"buk, tiga tahun yang lalu bahkan presiden mengirim utusan untuk pesta yang diadakan tuan, apalagi tahun ini ada pengumuman pernikahan, wahhh yang datang pasti bejubel" matanya sampai melotot.
"yang datang kalangan atas gitu" pancingku.
"tebakanku, pasti jajaran legislative, pimpinan daerah, jendral atau bahkan mentri ada disana nanti" Dewi melipat tangannya di depan dadanya, mengamati hasil riasannya.
"kamu harus tetap anggun, dandananmu kubuat sederhana tapi ini segang ngetren di eropa"
Dewi nengepang rambutku lalu memutarnya hingga membentuk sanggul kecil diatas leherku, dia menyapukan kuas kepipiku sakali saja, lalu mengusap sedikit gincu kebibirku.
"lah kamu juga jangan kalah dewi, dua putri ibu harus dapat kenalan orang besar malam ini" ibu terkekeh usai mengatakannya.
Kami menyelinap diantara para tamu, Dewi benar, kami kehilangan kepercayaan diri saat tiba disana. Dewi memastikan yang hadir disana adalah kalangan yang disebutkannya tadi. Dan Dewi lagi-lagi benar, hanya aku yang diizinkan masuk ke aula sementara undangan Dewi dan Ibu adalah undangan untuk pesta diluar aula.
Aku melihat eyang, dia melirikku, tapi kemudian acuh saja padaku. Aku urung menyapanya, mungkin itu etika disini. Aku ingat pesan Dewi bahwa eyang bukan orang sembarangan disini.
Aku mulai jenuh karena tak ada yang bisa ku ajak bicara. Aku tak paham apa yang mereka bahas dan mereka tak paham apa yang kukatakan.
"Dayana" suara itu berat namun penuh wibawa. Aku menoleh, suara itu berasal dari pria jangkung yang kini tersenyum padaku.
"ya, Dayana is my name" ujarku berusaha meniru ucapan wanita yang tadi kucoba ajak bicara.
"apa kabar?"
" baik" aku bingung pria itu terus mendekat, tapi aku merasa tidak mengenalnya.
" hey kamu lupakah?"
Aku mengerling sambil mengangguk pelan, merasa tak enak hati karena dia mengingatku sementara aku tak merasa mengenalnya.
" mungkin sekitar 10 tahun yang lalu kita bertemu" lanjutnya
"haha,artinya kau masih kanak-kanak kala itu, ya 9 tahunan" aku tertawa menimpali candaannya.
"sepupuku menikah hari itu, aku menjadi pagar bagus kala itu" aku terdiam, karena sepertinya dia tidak bercanda. Dia mencoba mengingat kejadiannya, matanya melirik keatas dan agak mendongak. Ah...aku melihat jakunnya bergerak, lalu bunga-bunga jatuh keatas tubuhku.
"kamu berkebaya hijau, bersama ibumu dan Dewi...aku mengenalmu dari Dewi"
Ah, dia teman Dewi...
Benar dia teman Dewi...
"aku masih bocah ketika itu mana mungkin aku ingat" aku menunduk mengalihkan panganku yang terlanjur terpesona.
"tapi aku mengingatmu, Dayana" dia tersenyum
"your name...." lanjutnya lalu menatapku, ah...kupu-kupu memenuhi mataku.
"hai..."seorang wanita bergaun putih gading dengan ceria menyapa kami.
Pria itu dan wanita itu saling pandang sekilas. Ya sekilas namun entah mengapa aku merasa ada yang berbeda diantara mereka.
"kamu datang..."
"ya, tentu saja, aku penasaran," wanita itu tersenyum dengan mata yang misterius.
Pia itu hanya mengangguk-angguk, suasananya sedikit canggung untukku.
"ah, kenalkan...DIA....Dayana" pria itu mengenalkan kami dengan kata "DIA" sedikit ditekan, sementara aku sendiri masih belum tau siapa pria itu.
"ah, ....DIA,,,,???" wanita itu tak langsung menyambut uluran tanganku, menatap mata pria itu sambil berusaha mempertahankan senyumnya, secara misterius.
"Camelia..." dia menjabat erat tanganku, dan entah mengapa aku merasa dia mengaliriku sengan energy negative. Perasaanku campur aduk dibuatnya. dia terus menatapku seolah menelanjangiku.
AKU RISIH...
Cinderella berjalan menuju istana dengan caranya sendiri...
Menyuap peri atau bermain api.
Aku ingin menjadi Cinderella yang masuk ke istana dengan jalan yang paling lembut.
Aku ingin menyudahi nasibku hidup di tempat terpencil, mangajar anak-anak yang tak antusias belajar.
Aku ingin sesuatu yang lebih dari itu...
Lalu pesta ini, aku harap aku menemukan sang pangeran disini....