Chereads / WILL WE UNITE / Chapter 22 - BAB 22- PEMBUKTIAN

Chapter 22 - BAB 22- PEMBUKTIAN

PEMBUKTIAN

Di dalam kamar, Karenina sedang meratapi benda pipih yang panjang. Hasil dari benda itu akan menentukan hidupnya kedepan. Ia masih terpaku di dalam toilet, semenjak Lexa memberikannya test pack.

"Mampus gua mampus." omel Karenina terhadap dirinya sendiri.

Dengan memberanikan dirinya, ia segera mencelupkan test pack ke dalam urine yang sudah ia tampung.

Perlahan sembari memejamkan mata, test pack itu pun sudah terendam. Detik ke 10, Karenina kembali mengecek dan melihat hasilnya.

Syukurlah hasilnya negatif, Karenina berjingkrak senang. Ia segera memberitahu Lexa dan Elvan, Karenina berlari menuruni anak tangga dengan berteriak memanggil-manggil.

"Mah, Pah!" teriak Karenina.

Lantas Sandra dan Elvan yang masih termenung di ruang tamu, terkejut. Mereka saling menoleh melihat tingkah Karenina.

"Mah, Pah." panggil Karenina ngos-ngosan.

"Ada apa ini Re?" tanya Elvan cukup cemas.

"Ini hasilnya kalian lihat sendiri." ucapnya yang masih tersengal sembari menyerahkan bukti test pack.

"Syukurlah!" ucap Elvan sembari memeluk Karenina.

Lexa pun tersenyum haru, beruntungnya anak perempuan satu-satunya yang mereka punya tidak hamil diluar nikah.

"Kita harus beritahu ini kepada Barra," sahut Lexa yang disetujui oleh Karenina dan Elvan.

Dilain tempat, Barra yang sedang disulut emosi tetapi hatinya hello kitty itu, masih mencengkeram kerah Abrial.

Matanya melotot menatap mata Abrial, dan perlahan air mata Barra menetes. Sontak membuat Abrial terkejut, ia segera meminta Barra untuk duduk dan berusaha tenang.

"Barr, ini bukan salah lo jika amit-amitnya adik lo hamil." ucap Abrial memberi penjelasan.

"Lagi pula belum tentu Karenina mengandung bayi pria asing yang lo maksud. Kita tunggu kabar saja, atau sekarang kita telepon Karenina?" ucap Abrial kembali.

Tak lama setelah itu, ponsel Barra berdering. Barra yang masih terisak, segera menyeka air matanya. Dan berusaha menormalkan suaranya agar tidak terdengar parau.

"Barra," panggil Lexa di dalam sambungan telepon.

"Iya, ada apa?" jawab Barra singkat.

"Tolong lihat foto yang mamah kirim." pinta Lexa.

Namun tanpa diketahui oleh Barra, foto yang Lexa kirim telah ia edit sedemikian rupa agar hasilnya menunjukkan positif.

Barra pun menuruti apa kata Lexa, lalu ketika ia tap terlihat dengan jelas foto test pack yang menunjukkan 2 garis. Abrial yang ikut mengintip, dengan refleks mengumpat. Sedangkan Barra justru kembali menangis.

Lexa yang tidak menyangka reaksi Barra menangis, mendadak panik. Bahkan Karenina dan Elvan pun sama. Pasalnya mereka tidak pernah melihat sama sekali ataupun mendengar, Barra menangis. Ini adalah pertama kali mereka mendengarnya.

"Barra sayang," panggil Lexa berulang kali.

Abrial segera memeluk Barra, dan ponsel Barra ia ambil alih.

"Halo tante, mungkin Barra merasa gagal tidak menjaga Karenina dengan baik. Alhasil ini pertama kalinya ia menangis di depan saya." ucap Abrial.

Lexa pun mengerti, ia meminta untuk menghidupkan speaker ponsel milik Barra, agar Barra bisa mendengar suaranya.

"Baik tante," jawab Abrial menuruti.

Setelah Abrial menghidupkan speaker telepon, Lexa pun segera menjelaskan.

"Barra, maaf ya kami bertiga sudah menjebakmu. Hasil yang asli, Rere sama sekali tidak hamil. Foto yang mamah kirim hanya sebuah editan saja." tutur Lexa tidak enak hati.

Barra yang mulanya masih bersandar dipundak Abrial segera menjauh, ia menghapus kasar air matanya dan menjawab perkataan Lexa.

"Awas aja ya kalian." ucap Barra segera mematikan teleponnya.

Abrial menahan tawa sambil menutupi mulutnya, tetapi Barra justru menatap tajam Abrial. Abrial yang melihat sorot tajam itu segera memberhentikan cekikikannya. Lalu ia izin keluar dari ruangan Barra, Abrial merasa Barra perlu waktu untuk sendiri.

Namun tak berlangsung lama Rachel pun datang. Ia menyerahkan berkas yang sebelumnya Barra minta. Dengan langkah hati-hati, mengingat Abrial memberitahu bahwa Barra sedang tidak baik-baik saja.

"Permisi Pak, ini berkas yang Bapak minta." ucap Rachel yang kini sudah berada di depan meja Barra.

Barra yang menelungkupkan kepala di meja hanya mengiyakan perkataan Rachel. Dan ia menyuruh Rachel untuk tidak berada di ruangannya sementara waktu.

"Pergilah, saya sedang ingin sendiri." ucap Barra yang masih berada di posisi yang sama.

"S-saya pergi kemana Pak?" tanya Rachel polos.

"Terserah kamu saja, jangan kamu memberi pertanyaan berulang-ulang! Cepat keluar." jawab Barra sedikit membentak.

Tanpa berpikir panjang, Rachel segera keluar. Nyaris seharian ia menggerutu karena tingkah Barra kepadanya. Suasana hati Rachel pun juga memburuk, kini tujuan Rachel hanya ke kantin. Pikirnya dengan memakan beberapa camilan manis disana, stres yang sedang ia alami segera pulih.

Setibanya Rachel di kantin, ia justru bertemu Dara. Baginya Dara adalah sasaran empuk, untuk melampiaskan segala emosi yang sedari tadi dirinya pendam. Rachel datang duduk di depan Dara, ia memasang raut wajah sangat kesal yang membuat Dara menciut.

"Ma-m-maaf Bu, saya permisi ke meja sebelah." ucap Dara ketika Rachel datang.

"Siapa yang suruh kamu pindah Dara!" jawab Rachel menegas.

Dara yang sudah mengangkat kakinya untuk keluar dari kursi, seketika berbalik ke posisi semula dan meminta maaf. Namun, dalam batin Rachel ia sangat senang bisa memerintah anak buahnya.

"Keren gua bisa melakukan apa yang gua suka." batin Rachel.

"Saya lagi stres banget Dara," tutur Rachel merengek.

Dara yang melihat tingkah Rachel, segera menanggapi layaknya seorang teman yang sedang beradu nasib.

"Kenapa Bu? Ada masalah dengan kerjaan Ibu?" Dara balik bertanya dengan sopan.

"Pak Barra hari ini sedang tidak baik-baik saja. Emosinya betul seperti singa yang siap memangsa siapa saja. Saya tidak sanggup, Dara.." jawab Rachel yang terlihat sangat tertekan.

"Beliau memang terkenal dengan tempramen yang buruk Bu, jadi saya harap Ibu lebih banyak bersabar." balas Dara sembari memegang tangan Rachel bertujuan menguatkan.

Rachel yang mendengar nasihat dari Dara tidak cukup membuat hatinya puas. Justru ia makin sangat tertekan, pasalnya ia satu ruangan dengan Barra. Dan jam kerjanya pun masih lama menuju waktu pulang.

"Huft, malangnya nasibku. Aku ingin cepat pulang.." ujar Rachel setengah berteriak.

"Pak Barra sangat menjengkelkan, tetapi ia juga sangat cengeng." celetuk Rachel kembali.

Dara yang masih mengunyah makanannya, tiba-tiba berhenti. Ia sangat ingin tau maksud Rachel mengapa ia menyebut Barra 'cengeng'.

"Maksud Ibu, pak Barra pernah menangis di kantor?" tanya Dara hati-hati.

Rachel menganggukkan kepalanya dengan raut wajah yang sangat frustasi. Lantas, anggukan kepala Rachel membuat Dara ingin segera menyusul Barra di ruang kerjanya. Entah apa yang Dara pikirkan saat itu, ia hanya ingin memastikan apakah Barra baik-baik saja?

"Ra, mau kemana?!" teriak Rachel yang menyadari Dara susah tidak ada.

"Maaf Ibu, saya ada urusan." jawab Dara sembari berlari menjauh.

Rachel mengabaikan jawaban Dara, ia kembali bertingkah lemas dan lesu, sembari menatap kosong apapun yang berada di hadapannya.