DARA, APA YANG KAMU LAKUKAN?
Dara berjalan menuju dapur, ia berinisiatif membuatkan teh penenang suasana hati untuk Barra. Dara menggunakan teh lavender dengan racikan madu yang ia tambah sendiri. Setelah jadi, Dara segera menuju ke lantai 3.
Namun, disaat Dara mengetuk-ngetuk pintu ruang kerja Barra, sayangnya tidak ada jawaban apapun. Dengan lancangnya, Dara segera masuk. Tetapi ia tak menemukan siapa-siapa. Lantas Dara segera mencari Barra.
Ia menuju lantai 1 untuk bertanya kepada staff receptionist, namun mereka juga sama-sama tidak tau keberadaan Barra. Dara mulai frustasi, pasalnya teh yang ia buatkan lama-kelamaan akan menjadi dingin. Ia takut rasa tehnya sudah tidak enak.
Sembari berpikir, Dara mencoba menebak-nebak dimana keberadaan Barra. Dan ya, ada salah satu tempat yang familiar bagi Dara. Dan ia belum mengecek apakah Barra ada disana atau tidak.
Dara mengumpulkan niatnya berjalan menuju taman belakang kantor, sembari menutupi cangkir dengan telapak tangannya. Betul saja, Dara melihat sosok pria yang sedang ia cari. Tanpa perintah Dara sudah duduk di samping Barra yang sedang melamun.
"Pak Barra," panggil Dara lirih.
Barra masih terpaku, ia menatap kosong ke arah depan. Dara jadi bingung, ia harus bagaimana untuk menyadarkan Barra dari lamunannya. Mau tak mau Dara memberanikan diri menepuk-nepuk pundak Barra.
Tiba-tiba Barra menjerit, "astaga!"
"Sejak kapan kamu disini?" tanya Barra syok. Nafasnya naik turun sangat cepat.
"Eh Pak maaf-maaf, ini saya bawakan teh untuk Bapak. Tadi di dalam ruangan, Bapak tidak ada." jawab Dara berbicara tanpa jeda.
Dara segera menyuguhkan teh itu untuk Barra, ia membantu meminumkannya. Namun usahanya gagal, justru Barra tersedak hingga terbatuk. Dara yang panik, ia segera mengusap-usap dada Barra serta bagian punggung belakang. Ia juga tidak berhenti berkata maaf.
"Pak, Dara minta maaf ya. Dara hanya ingin membantu Bapak untuk sedikit lebih tenang." ucap Dara yang masih mengusap dada Barra.
Barra hanya bisa terdiam, ia sedang berpikir mengapa Dara bisa seberani itu memegang dirinya. Tetapi ia tak ambil pusing, usapan tangan Dara justru membuatnya jauh lebih baik. Perlahan Barra memegang tangan Dara.
Sontak membuat Dara tersadar apa yang sedang ia lakukan, Dara segera menjauh dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa.
"Aaa-apaan ini Pak? Bapak kok megang tangan saya?" tutur Dara histeris.
"Loh kamu kok yang usap-usap dada saya." jawab Barra tak mau kalah.
Setelah itu mereka sama-sama canggung. Barra berusaha menjaga imagenya, tetap cool sebagai seorang CEO, sedang Dara mulai merapatkan kedua kakinya dan berjaga jarak dengan Barra. Disisi lain, Abrial di lantai 3 sedang mencari keberadaan Barra.
Lagi-lagi seperti halnya Dara, Abrial tidak menemukan satu orang pun di ruang kerja Barra. Ia juga tak menemukan Rachel, ruangannya benar-benar kosong. Lalu Abrial kembali ke ruangannya kembali, ia duduk di kursi putarnya.
Abrial tak sengaja memutar kursinya, mengarah ke halaman taman belakang kantor. Apa yang dia lihat? Ya, Abrial melihat Barra dan Dara yang sedang duduk berduaan. Abrial masih tak percaya, sampai-sampai ia tempelkan wajahnya ke dinding kaca untuk benar-benar memastikan apakah mereka benar Barra dan Dara.
Dara yang terjebak dalam situasi tidak mengenakan ini, ia berniat untuk kabur. Perlahan Dara memainkan kakinya terlebih dulu, ia gerakan hingga terdengar bunyi gesekan sepatu dan aspal. Lalu, Dara bangkit dari duduknya tanpa melihat Barra sedikit pun. Ia akan mulai berjalan menjauh, namun ada sebuah tarikan tangan yang memberhentikan langkahnya.
Refleks Dara menoleh, ia lalu bertanya apa maksud dari cengkraman tangan Barra ke pergelangan tangannya.
"Ada apa Pak?" tanya Dara kepada Barra.
"Ra, saya butuh pertolonganmu. Temani saya ya malam ini." jawab Barra.
"Maksud Bapak apa ya?"
Pertanyaan Dara yang terakhir tak dapat jawaban dari Barra. Justru Barra berjalan dengan menggandeng tangan Dara. Mereka menuju parkiran mobil, Barra ingin mengajak Dara pergi.
"Pak kita ini mau kemana?" tanya Dara kembali.
Pertanyaan Dara tidak ada jawaban lagi, ia hanya bisa menurut dan meletakkan cangkir teh di kursi belakang.
"Gunakan sealtbelt." ujar Barra. Hanya kalimat itu saja yang terucap dari bibirnya.
Sedangkan Abrial masih dengan posisi yang sama, ia memelototi sampai mobil Barra benar- benar menghilang dari pandangannya.
"Barra dan Dara, ada apa sih dengan mereka berdua!?" batin Abrial terheran.
Peristiwa itu membuat Abrial tak tinggal diam. Ia berusaha membuntuti mobil Barra, walaupun ia sudah tertinggal jauh. Abrial dengan langkah tergesanya, segera berlari tanpa memedulikan siapa saja yang terkena senggol badannya.
Kini Abrial sudah berada di mobilnya, dengan nafas yang sangat sesak, keringat mulai bercucuran ia mulai menancap gas. Abrial melaju cepat hingga kini ia sudah berada tepat di belakang mobil Barra.
Jalan demi jalan mereka lewati, hingga tanpa sadar daerah yang mereka lewati sangat asing bagi Abrial. Ia melihat mobil Barra memasuki kawasan yang bisa dibilang villa atau rumah dinas. Abrial mengikuti Barra, namun ia terpaksa berhenti di pertengahan. Karena mendadak mobil Barra berhenti, tepat di depan rumah mewah.
"Rumah siapa ini? Rumah Barra kah? Tapi kok Barra ga cerita ke gua?" batin Abrial bertanya.
Dan di depan matanya, Barra keluar dari mobil. Ia membukakan pintu untuk Dara. Lalu mereka berdua sama-sama memasuki bangunan rumah mewah itu. Abrial tidak bisa berkutik banyak, ia tetap menunggu. Abrial sangat takut jika dirinya mendekat, bisa-bisa aksi pengintaiannya bisa terbongkar.
Namun ditengah-tengah Abrial mengintai, sebuah panggilan telepon masuk. Dan ketika ia lihat, ternyata Rachel lah yang meneleponnya.
"Halo Rachel." ucap Abrial dengan suara serak basahnya.
"Pak, bapak dimana? Saya kembali ke ruangan pak Barra tidak ada, pak Abrial pun sama. Jika ada apa-apa siapa yang akan bertanggung jawab? Pak saya mohon kembali lah sebentar, jika pak Elvan tau bisa bahaya." pinta Rachel sangat khawatir.
"Arrghh! Baiklah tunggu, saya akan kembali." jawab Abrial kesal.
"Semua ini gara lo Barra!" batin Abrial memanas. Ia segera membanting setir putar balik, dan menuju ke kantor dengan mengebut.
Barra mempersilakan Dara untuk duduk di sofa ruang tamu. Begitu pula dirinya, ia segera sandarkan tubuhnya untuk beristirahat.
"Ini kita dimana Pak?" tanya Dara sembari melihat sekeliling.
"Rumah saya, belum banyak yang tau. Kamu, orang pertama yang saya ajak kesini."
"Jangan panggil saya pak, kita sudah tidak di kantor. Panggil saja saya Barra." jawab Barra.
"Baik Pak, eh Barra." balas Dara gugup.
"Kamu itu anak buah saya yang terlalu lancang, sekaligus terlalu perhatian. Sekarang saya tanya, ada apa Dara? Mengapa kamu bersikap seperti itu kepada saya? Diam-diam saya juga mengamatimu." ungkap Barra ceplas-ceplos.
"An-anu Pak, eh Barra maaf. Saya hanya berpikir jika.. Bukan, saya hanya ingin meminta maaf atas kecerobohan saya dan saya hanya ingin menjadi bawahan yang asyik, tetapi saya sadar diri kok. Entah lah mengapa saya juga tidak tau." sahut Dara yang berbicara gugup, hingga ia tak sadar jika Barra sudah memperhatikannya dengan tatapan tajamnya.