`Adrine...´ Ferit mengirim pesan memanggil nama gadis kesukaannya. Hmmm bagaimana bukan kesukaan, mereka belum terikat satu sama lain. Mereka hanya berbicara dari mata dan hati tanpa mengucap melalui bibir mereka.
Adrine senyam senyum di depan layar ponsel androidnya. Foto profil Ferit menggunakan jaket hitam membuat jantungnya berdebar kencang. Adrine yang tengah asik duduk di sofa sembari membuka foto-foto siang tadi di Borobudur kemudian jari jemarinya berhenti menyentuh tombol laptop Ambar dan mematikannya.
`Inggih.. Dalem.´
Adrine membalas pesan Ferit dengan mencampurkan bahasa jawa.
`Aku di halaman hotel, kamu keluarlah´
Ferit meminta Adrine keluar dari kamar dan menemuinya di halaman hotel. Tanpa berfikir panjang, Adrine bersiap dengan mengenakan kaos panjang berwarna biru laut dan celana panjang hitam.
`Tunggu aku dalam lima belas menit´
Adrine membalas pasti.
Adrine membiarkan rambut panjangnya tergerai setidaknya untuk menutupi agar tidak terlihat oleh teman-temannya bahwa itu dirinya.
Adrine menatap Ambar yang sedang terlelap tidur di kasur dengan slimut yang menutupi tubuhnya lalu dia menggoncangkan sedikit tubuh Ambar namun tak sadar jua.
"Aman..." Adrine mencoba melarikan diri dengan melangkahkan kakinya sangat pelan dan lamban menuju keluar dari kamarnya. Tangan kanannya meraih gagang pintu tapi tiba-tiba....
"Adrine... mau ke mana kamu? Adrine!" tiba-tiba terdengar suara yang sangat viral dan selalu viral di telinga Adrine. Kaki kanannya berhenti dengan posisi melayang pelan mencoba menapak ke lantai.
"Duhhhh ketauan.." mimik wajah Adrine mengeriput semua. Kedua matanya menyipit, giginya terlihat dari luar dan menggantung sedangkan kedua alis hampir saling bertemu.
Dengan sangat pelan Adrine menoleh ke arah Ambar tanpa membalikkan tubuhnya. Itu memang suara sahabatnya, tapi kedua matanya masih terlihat sangat lengket dengan bulu matanya. Dia tertidur sambil mengigau. Adrine tertipu...
"Sial!!!" gerutu Adrine kesal. Gadis itu melanjutkan kembali misinya pergi menemui Ferit yang telah menunggunya sejak 10 menit yang lalu.
Setelah keluar dari kamar dan menutup pintunya dengan sangat luar biasa slow Adrine merasa bebas seperti tahanan kabur dari sel.
Langkah demi langkah, kamar demi kamar akhirnya Adrine bebas keluar dari hotel. Dia menghampiri Ferit yang masih tengah asik menunggu dirinya. Adrine tersenyum kucing, hatinya sangat bahagia. Dia merasa cintanya begitu tak waras sehingga rela meninggalkan sahabatnya di kamar sendiri dalam posisi tertidur.
"Aku ingin menculikmu Adrine untuk jalan-jalan sedikit ke Alun-alun kota. Tanpa teman-temanmu hanya kita berdua." ulas Ferit dengan jelas. "Apa kamu mau?"
Adrine tersenyum dan mengangguk hatinya seolah dipenuhi bunga berwarna warni segar dan mekar. Ini kali pertama yang ia rasakan dalam usia dewasanya. Cinta yang tumbuh tanpa mengenal waktu. Wajahnya terus berseri seolah kepedihan hatinya tersingkirkan. Dia bagai bidadari tanpa dosa nan suci. Dia juga melupakan sedikit rencana yang akan dilakukan di waktu yang akan datang. Adrine menikmati pertemuannya dengan Ferit malam ini.
"Ayo..." Ferit mengulurkan tangan kanannya pada Adrine.
"Ayo.." timpal Adrine melupakan semua temannya yang bergelantungan di mimpi mereka. "Apa kita akan jalan kaki sedikit?"
Ferit menggelengkan kepalanya sedikit sambil tersenyum manis. "Kita ngga akan jalan kaki. Aku menculikmu bukan dengan jalan kaki nanti malah cepat ketahuan. Hehehehe..."
Ferit mengarahkan Adrine ke sebuah mobil sedan biru yang terparkir 4 meter dari jarak mereka. Ferit membukakan pintu untuk Adrine, dan mempersialakannya masuk. Tanpa berfikir dan bertanya apapun Adrine memasukinya lalu Ferit menyusul di bagian pengendara. Adrine terheran bagaimana lelaki yang berasal dari Jakarta kemarin bilang datang ke Jogja menggunakan pesawat malam ini mengajak dirinya beralih menculik menggunakan mobil.
`Pikiran sableng apa yang sudah memasuki otaknya.´ Pikiran Adrine terus penuh tanda tanya.
Otak Adrine terus menganga melihat kelakuan Ferit. Hatinya berisik memepertanyakan benda yang akan membawanya ke alun-alun Jogja.
"Ferit, kamu bilang akan menculikku. Aku menyerahkan diri padamu tapi apa kamu juga mencuri mobil untuk menculikku?." Adrine bertanya tanpa aling-aling.
Sretttt... Ban mobil terhenti Ferit mengerem mendadak setelah mendengar pertanyaan Adrine, kepala Adrine hampir terbentur, beruntung dia menggunakan safety belt jadi masih aman.
"Aduhhh...." ucap Adrine spontan.
"Hahahahahhaha....."Ferit tertawa spontan seolah tanpa dosa. Perutnya geli seperti digelitiki ribuan ulet daun. Tangan Ferit memukul lirih stir mobil karna kelucuan pertanyaan Adrine.
Sedangkan bibir Adrine sedikit mengerucut melihat kelakuan Ferit menertawakan dirinya.
"Kenapa kamu tertawa?! Apakah lucu?!" ketus Adrine memaki Ferit.
"No..."jawab Ferit singkat. "Apa kamu baik-baik saja? aku rem mendadak dengar pertanyaanmu." Ferit mengusap rambut Adrine. Keakraban mereka seolah telah menjadi sepasang kekasih.
Adrine cemberut kecut mirip belimbing sayur. Melihat reaksi Adrine akhirnya dia menjelaskan bagaimana dia mendapatkan mobil untuk mengajak jalan Adrine. "Adrine... apa aku terlihat berparas penjahat? segitunya aku mencuri mobil dan menculikmu? bagaimana kesayanganku di rumah yaitu ibuku yang selalu bilang kalo aku sangat ganteng?"
"What? Ganteng? huahahahaha... ganteng iyya kalo dilihat dari cerobong asap." sahut Adrine dengan jengkel. Ya meskipun cerobong asapnya kali ini masih baru jadi masih kinclong hanya saja Adrine jual begitu mahal pernyataannya.
Kemudian Adrine mengambil posisi diam dan mendengarkan penjelasan Ferit. "Adrine... aku memiliki saudara sebut saja dia pamanku dari ibu. Dia tinggal di Jogja, keluarga mereka sangat baik dengan ibuku dan aku. Bahkan sesungguhnya aku sering bermain ke sini dengan ibuku. Jadi ketika aku memerlukannya aku tinggal bilang apa yang ku butuhkan. Jadi mobil ini bukanlah curian, bahkan surat-suratnya lengkap!" ujar Ferit terus menjelaskan.
"Oooohhhh..." hanya sekilas Adrien menjawab.
Ferit melajukkan mobilnya kembali menuju alun-alun Jogja. Suasana hati Adrine kembali lega dan tenang paling tidak bukan kejahatan yang sedang ia alami dan menjadi korban penculikkan.
Pukul 23:00 WIB
Ferit dan Adrine telah sampai di alun-alun kota Jogja. Sinar lampu kuning memancar di sepanjang jalanan dan di tengah lapangan atau yang disebut alun-alun. Kedua muda mudi itu keluar dari dalam mobil dan duduk di bagasi belakang mobil.
"Ferit... Berapa kali kamu datang ke sini? ke lapangan ini?" tanya Adrine sembari memandang lepas ke alun-alun.
"Aku sering ke sini sewaktu kecil saat libur sekolah. Tapi sayangnya ayahku tak pernah mau ikut dengan kami." suara Ferit melemah ketika menyebut kata Ayah di bibirnya. "Ketika aku berusia 10 tahun, aku di ajak ke sini oleh ibu. Waktu itu pertama kali lokasi yang kami kunjungi adalah Taman Sari ibuku suka ke sana. Dan aku jujur, dulu aku pernah lihat gadis sangat aneh, hampir mirip kamu, usap-usap tembok tebel di sana. Ku bilang `Mirip Orang Gendeng kali ya buk?! hahahahahaaa.." Lagi-lagi Ferit menertawakan Adrine. Adrine sangat kesal ternyata dia suka memperhatikan kelakuan dirinya. Ingin rasanya meremas bagaikan tisu kemudian ia sobek atau di cemplungin ke air agar hancur. Rasa marah sedikit malu membuat dirinya panas dan mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Eh, Ferit bagaimana kalo kita unjuk gigi? kita bermain Masangin melewati Folklore jalan dengan mata tertutup konon katanya Yang bisa melewati kedua pohon beringin posisi ditengah, segala keinginannya terkabul." ajak Adrine menantang.
"OK..!!"
Ferit menyetujuinya kemudian dia mengambil kain slendang panjang hitam milik tantenya yang tertinggal di jok mobil.
"Siapa dulu?" tanya Ferit sembari mengulurkan slendang di tangan kanannya.
"Mmmmm... pake uang koin limaratus saja lebih gampang." ujar Adrine memberi usul. Kebetulan di kantong celana Ferit tertinggal koin lima ratusan tahun 2003 Adrine memilih gambar garuda sedangkan Ferit sisanya, angka 500.
Ferit melayangkan uang koin limaratus tersebut tepat ke atas telapak tangan kanan dan menutupnya dengan telapak tangan kirinya lalu membukanya kembali. Adrine melirik ke arah tangan Ferit dan.... angka pecahan limaratus terpampang jelas di hadapan mereka.
Adrine tertawa senang karna bukan dirinya yang lebih dulu jalan dengan mata tertutup "Hahahaha... kamu lebih dulu. Biar aku yang ikat slendangnya. Agar dua matamu tidak mengintip."
Adrine mengikatkan slendang tepat di belakang kepala ferit dengan kuat lalu menuntun Ferit meninggalkan mobil. Ketika telah menginjak tanah lapang kemudian Adrine memutar tubuh Ferit 360° tiga kali. Ferit berdiri tegak di antara dua pohon beringin berjarak 20meter masih jauh untuk ditempuh.
Dalam benak Ferit berdoa khusus untuk takdir bisa terus bertemu dan bersama Adrine sebelum ia memulai melangkahkan kakinya. "Ferit, aku akan menghitung mundur dimulai dari hitungan ke tiga." Ucap Adrine semangat.
Ferit tersenyum tubuhnya masih diam menunggu aba-aba dari Adrine.
"Tiga... Dua..... Satu... go...."
Ferit mulai mengangkat kaki kanannya berjalan tidak cepat juga tidak pelan. Adrine bersorak memberi suport lelaki yang tengah berjalan dengan mata tertutup.
"Ayo... ayo... ayo... " sesekali Ferit terjatuh tapi kemudian berdiri lagi. Adrine tertawa melihat Ferit berjalan bak orang buta menggunakan kacamata. Kedua tangannya mengambang ke depan.
Adrine terus memandang Ferit, lelaki tersebut berjalan tegas ke depan seolah dia telah paham kemana ia harus menapak. Selangkah demi selangkah dia hampir setengah jalan. Mata Adrine membelalak Ferit hampir sampai di antara dua pohon beringin.
Adrine berhenti mendampingi Ferit, alih-alih membiarkan Ferit agar dia tidak goal diantara pohon beringin. Tapi niat jeleknya gagal, Ferit sampai di tengah diantara dua pohon beringin yang menjulang di tengah alun-alun Jogja.
"Rese! dia sampai di tengah!" Adrine menendang rumput di kakinya.
Ferit terus melangkah tanpa henti bahkan melebihi target yang seharusnya. Dia melewati pohon beringin. Adrine terkejut melihat Ferit melewati batas.
"Hei.... Ferit.... jangan jauh-jauh" teriak Adrine sekuat tenaganya. Namun Ferit masih asik dengan langkah kakinya dan tidak mendengarkan Adrine. Lalu Adrine berlari menghampiri Ferit.
"Ferit... kamu mau ke mana?" tanya Adrine sambil sedikit tertawa tanpa memberi tahu bahwa Ferit telah melebihi batas.
Ferit kemudian menghentikan langkahnya ketika mendengar pertanyaan Adrine. "Adrine?"
Adrine kemudian memegang lengan Ferit dan melepas ikatan slendangnya. "Kamu melebihi target Ferit."
Ferit melongo memandang kanan kiri dan dirinya telah berjalan melewati batas. Seperti bonus.
"Kini giliranmu" pungkas Ferit dan pergi meninggalkan Adrine sendiri.
Mereka berdua kembali ke barat. Adrine masih dalam posisi di belakang Ferit. Ketika mereka sampai di garis start awal tanpa perintah dari Ferit, Adrine kemudian membalikkan badan menghadap ke arah Folklore. Ferit merapikan slendang dan memasangnya di mata Adrine.
Adrine nampak tenang, bagaimana tidak permainan ini sudah dilakukan berulang-ulang hingga hafal.
Adrine berdiri tegak dengan mata tertutup kain slendang tiba-tiba ingatan mengerikan datang muncul ketika Ferit menyentuh kedua lengannya secara bersamaan. Bekas luka itu tersentuh Ferit. Dia diam mematung. Bibirnya tertutup rapat setelah tersenyum. Kemudian Ferit memutar tubuh Adrine lalu melepas lengannya. Pikiran Adrine melayang kembali ke 14 tahun silam. Bulu mata Adrine saling bertemu, iya Adrine menutup mata di balik slendang hitam.
Ferit memberi aba-aba dengan hitungan mundur. "Tiga... Dua... Satu... go..."
Adrine tetap mematung tidak bergerak sama sekali. Ferit bingung melihat Adrine diam tak bergerak.
"Adrine..."
"Adrine..."
"Adrine..."
Ferit menyebut nama Adrine hingga tiga kali, Adrine baru menyadari jika Ferit terus menyebut namanya. Adrine berjalan seolah dia melihat jalan jelas di balik slendang yang menutupi matanya. Ferit terheran gadis itu berjalan biasa. Dia sangat hafal dengan langkahnya.
Ferit penasaran, bagaimana Adrine bisa selihai itu melakukan permainan Masangin. Ketika Adrine telah mendekati mulut folklore kaki kanan Ferit mencoba menghalangi Adrine, sontak Adrine tersandung dan hampir jatuh namun Ferit menahan tubuh Adrine.
"Lanjutkan!" ucap Ferit seolah tak memiliki rasa dosa.
Adrine terkejut kakinya terhalang kaki Ferit. Adrine tak mengerti kenapa Ferit malakukannya.
`Adrine melakukannya dengan baik´ ucap Ferit dalam hati.
Adrine terus berjalan lihai hingga melewati batas target, dia berhasil dan Ferit tercengang melihat Adrine. Adrine tersenyum menang ketika Ferit menyuruhnya berhenti kemudian Adrine melepas ikatan slendang yang menutupi matanya.
"Kita memilik skor sama" pungkas Ferit sembari berjalan mensejajari Adrine. Adrine hanya tersenyum.
Malam semakin larut mereka berdua kemudian masuk ke dalam mobil. Tanpa meminta persetujuan Adrine, Ferit melajukkan mobilnya menuju suatu tempat.