Ghandi meletakan parang ke atas meja dapur, terbesit di pikirannya ingin menghubungi Adrine. "Keponakanku.. sedang apa kamu?" Ghandi bergumam sendiri, bibirnya tersenyum teringat keras dan kuatnya Adrine menghadapi kenyataan bahkan ketika di situasi yang seharusnya tidak ia dapatkan.
"Aku rindu gadis itu, gadis kecil yang cerdas sekarang telah tumbuh dewasa." ujar Ghandi teringat peristiwa 14 tahun silam. "Benar-benar tidak mudah untukmu tapi aku yakin suatu saat semua akan terbayar sesuai dengan apa yang mereka lakukan."
Tanpa di sadari Ghandi, istrinya telah berdiri di belakangnya. Sufi terenyuh mendengar apa yang dikatakan suaminya kemudian memanggil dengan suara lirih dan lembut "Ghandi,.."
Ghandi menoleh, dia terkejut Sufi telah berada di belakangnya. Tubuhnya kemudian berbalik menghadap Sufi. "Iya, istriku..." sahut Ghandi lembut.
"Aku telah membuatkan kopi untukmu dan Yangkubem di teras. Yangkubem ingin bicara denganmu" ujar Sufi datar.
Sufi melihat kerinduan Ghandi terhadap Adrine di matanya begitupula Sasongko, dia pun sama rindunya dengan Ghandi. "Ghandi..." Sufi tiba-tiba memeluk suaminya dengan lembut dan penuh kasih.
"Sufi sayang kamu kenapa?" Ghandi heran melihat istrinya tiba-tiba memeluk tanpa alasan seolah dia merasakan sesuatu tapi enggan untuk berbicara.
"Yangkubem telah menunggumu sejak lama Ghandi, temui dia!" Sufi memerintahkan suaminya segera. Kemudian Sufi melepaskan pelukan suaminya dan membiarkan suaminya berlalu menemui Sasongko.
Dari balik pintu utama terlihat lelaki tua dengan rambut memutih di kepalanya, hampir 100% penuh uban. Iya, Sasongko telah berumur 65 tahun, dia tengah asik bermain dengan kedua cucunya Jesi dan Azkia. Jesi adalah anak Ghandi yang ke dua setelah Bella, Bella yang telah meninggal akibat tabrak lari. Sedangkan Azkia adalah anak terakhir Ghandi dengan selisih 9 tahun dengan Jesi.
Ghandi mulai medekati Sasongko dan anak-anaknya, "Sayang.. bantuin ibu dulu ya di dapur" ucap Ghandi meminta kedua anaknya menghampiri ibunya di dapur. Kedua tangan Ghandi memegang lengan Jesi sembari menatap Jesi lembut. "Kakak Jesi ajak Azkia ke belakang, ayo..!" seru Ghandi lembut kepada kedua anak perempuannya. Tanpa penolakan Jesi dan Azkia berlalu meninggalkan Sasongko dan ayahnya.
Sasongko dan Ghandi kemudian beranjak mendekati kursi yang terpampang di teras dan mendudukinya. Mereka berdua diam tanpa ada salah satu yang mengalah untuk memulai pembicaraan. Suasana bagai di kuburan tak bersuara sama sekali. Sasongko merasa Ghandi belum melunak atas kesalahan dirinya dan ibunya sehingga dia mulai mengalah dan memecah kesunyian dengan menyeruput kopi di hadapannya.
"Ghandi, 14 tahun kita telah satu atap bahkan kau telah memiliki dua orang putri yang sangat cantik dan lucu. Apa hatimu tetap belum melunak untuk memaafkanku?" Sasongko mencoba to the point ditopik pembicaraanya.
Ghandi menghela nafas, dirinya menatap meja dan kopi di hadapannya. Punggungnya menyandar di punggung kursi seraya meletakan jari telunjuknya di bibir atas.
"Saya sudah sering katakan bahwa ketika Adrine menyadari anda masih hidup setelah kabar kematian anda dan memaafkan anda di saat itulah saya akan memanggil anda dengan sebutan yang anda inginkan." ujar Ghandi tetap keras dan kekeh dengan janjinya. Padahal di benak Sasongko ingin sekali dirinya di panggil dengan sebutan `Ayah´ oleh anak yang ia cari-cari selama ini.
"Dan satu hal lagi, Adrine akan pergi untuk ayah dan ibunya di Jakarta. Dia ingin bertemu dengan Rino dan Adarina, kemungkinan dia akan berangkat dekat-dekat ini." Ghandi memberitahu keinginan Adrine. Sasongko terkejut mendengar apa yang terlontar dari mulut anaknya.
"Ghandi, untuk itu aku tidak setuju. Aku tak akan memberi restu Adrine pergi. Itu terlalu berbahaya Ghandi. Aku tak ingin terjadi apa-apa dengannya!" Sasongko menolak rencana cucunya.
"Awalnya aku menolak keinginan Adrine, tapi dia anak yang keras dan tangguh bahkan dia cerdas sehingga aku mengizinkan. Namun Adrine tau anda tak akan merestui dan mengizinkannya pergi. Lalu mau sampai kapan kita sembunyi?"
Sasongko marah, "aku tidak menginginkan Adrine pergi, dia hanya gadis kecil yang dikejar dan diculik oleh para penjahat yang gila dengan uang."
"Lalu kapan semua akan terbayar dan berakhir?" ketus Ghandi kesal dengan Sasongko yang diam tak berbuat apapun setelah kecelakaan yang menimpa dirinya. Bahkan Ghandi berfikir Sasongko tidak munculkan diri bahwa dia masih hidup. Dia bersembunyi di balik papan kayu tiada akhir seperti pengecut.
Sasongko terdiam anak tertuanya ingin mengakhiri kejahatan yang telah dilakukan oleh seseorang untuk menghancurkan keluarganya. Dia kemudian bangkit dari duduknya dan berlalu masuk ke dalam kamarnya.
"Ugh,,!!! mau sampai kapan seperti ini? seorang anak pasti sangat rindu dengan orang tuanya, wajar saja ia ingin kembali ke jakarta. Bahkan hingga kini Adrine belum pernah dengar suara ayah atau ibunya bahkan tantenya.! ugh!!!" Ghandi marah sembari mengacak-acak rambutnya hingga berantakan.
"Ghandi," sebuah suara menyebut namanya dari belakang tubuhnya. Ghandi tidak terkejut karna suara itu sangat lembut dan sangat ia kenali.
"Iya sayang," Ghandi menoleh ke wajah Sufi.
Sufi membelai rambut suaminya yang berantakan lalu memijat lembut bahu suaminya berharap kemarahannya mereda. "Ghandi, suamiku aku berharap kamu bijak dan sabar dalam menghadapi situasi yang ada di hadapanmu. Aku mengerti perasaanmu, perasaan Adrine, Yangkubem bahkan anak-anak kita." ujar Sufi sembari terus memijat bahu suaminya dengan lembut. Kemudian Sufi meletakkan pipi kirinya di ubun-ubun Ghandi sembari terus memijit lembut.
Ghandi diam mendengar ucapan istrinya. Bagi Ghandi, Sufi adalah istri yang luar biasa sabar menghadapi fase demi fase permasalahan di keluarganya. Iya, Sufi telah mengetahui segala masa lalu antara Sasongko dan Ghandi.
"Ghandi, aku rindu Adrine. Sudah tiga hari dia liburan dengan teman-temannya. Telpon gih!" pinta Sufi masih dalam posisi pipi di ubun-ubun suaminya.
Ghandi mengambil ponsel di saku celananya kemudian dia menekan kontak Adrine lalu mencoba memanggil.
`Nomor yang anda tuju di luar jangkauan´
Operator sellular berbicara, namun Ghandi masih mencoba memanggil lagi dan hasilnya nihil. Sudah dua kali Ghandi mencoba tak satupun nyambung.
"Coba sekali lagi sayang," pinta Sufi lembut.
`Nomor yang anda tuju tidak aktif atau di luar jangkauan´
"Sama!" tiba-tiba perasaan khawatir muncul di pikiran Ghandi.
"Coba hubungi Ambar, kali saja dia sedang asik jalan-jalan." ujar Sufi tetap mencoba memberi kontrol suaminya.
Ghandi menekan kontak Ambar dan memanggilnya.
Tut....tut....tut...
Tidak lama dan hanya sekali tekan akhirnya terdengar suara dengan sangat lirih dan brisik mirip di pasar. "Ambar?? gimana kabar kalian di sana?" tanya Ghandi.
Ambar tidak bisa mendengar suara Ghandi karna kebisingan di sekitar Ambar. Ghandi memakluminya karna dia pernah muda asik berjalan-jalan dengan teman-temannya.
"Mbar maaf om tutup telponnya soalnya di situ bising." Ghandi menutup telponnya dan menaruh ponselnya di atas meja.
Sufi tersenyum kemudian mengangkat kepalanya dari Ghandi, mereka berfikir Adrine sedang menikmati liburannya sehingga tidak memberi kabar ke rumah.
Sufi menatap kopi yang masih tergeletak di atas meja tanpa tersentuh. "Ghandi kok kopimu masih utuh? dingin loh."ujar Sufi sembari melayangkan senyuman. Ghandi kemudian mengambil cangkir yang berisi kopi hitam kesukaannya. "Aku akan ke belakang, anak-anak menungguku untuk memasak." Ghandi mengangguk, senyuman kecil muncul dari bibir Ghandi karna melihat Sufi pandai menjadi istri di segala situasi kapan ia harus diam, marah, ngomel, nggerutu bahkan lembut. Sufi meninggalkan Ghandi sendiri di teras rumah dia duduk dan berdiam diri. Dibalik diamnya, Ghandi sedang memikirkan bagaimana caranya jika Adrine ke Jakarta tanpa mereka tau jika Adrine adalah cucu Sasongko.