Setahun berlalu...
Adrine mulai terbiasa segala hal dengan suasana di desa. Baik teman, makanan, bahkan bahasa sedikit demi sedikit memahami. Adrine lebih sering berkumpul dengan teman-temannya untuk belajar bersama, mencoba sesuatu yang baru, terkadang bermain memeragakan seorang putri Rapuncel dengan rambut panjangnya, bahkan sering bermain adu tembak seolah sedang melawan penjajah bak di film Merah Putih dan suka menirukan suara Mak Lampir yang di bintangi oleh Farida Pasha.
"Adrine..." Sasongko memanggilnya dengan membawa sesuatu di tangannya. "Adrine tau ini benda apa?" tanya Sasongko menyodorkan Ketapel tersebut. Adrine tersenyum geli melihat apa yang telah di bawa Sasongko. "Kenapa kamu tertawa gadis kecil?"
"Emangnya Yangku mau main itu sama Adrine?"tanya Adrine kembali
"Memangnya Adrine tau ini apa?" yah.. Sasongko dan Adrine saling melempar pertanyaan.
"Itu ketapel Yang bem! Adrine juga punya, sebentar Adrine ambil" Adrine berlari memasuki kamarnya dan kembali menghampiri Sasongko yang tengah menunggu di teras rumah. "Niki Yangku Bem, ketapele sami nggih? Adrine nggih nggadah wiji salak kangge nembak" ujar Adrine dengan selalu mencoba menggunakan bahasa jawa. Meskipun tidak sempurna orang asli namun dia sedikit lebih mudah belajar. Tapi kalo kena bocah kayaknya sakit atau bakal nangis ga henti-henti." Sasongko tertawa melihat cucunya mengatakan bocah lain dengan sebutan bocah padahal Adrine sendiri masih bocah. "Adrine kemarin juga ke kali, terus nyoba renang di sana. Eh liat ada kepiting kecil jadi Adrine sama temen Adrine tangkepin terus kita bakar kita kasih garem sama kecap. Kirain ngga enak, pas Adrine coba nyatanya enak Yangku..." Sasongko membelalak cucunya banyak melakukan petualangan sampai di sungai bahkan berenang.
"Apa temen-temen Adrine juga ikut berenang?" Sasongko sedikit khawatir dengan cucunya tanpa sepengetahuan dirinya selama ini ternyata cucunya meraup segala petualangan selama di desa ini.
"Tentu Yangku, mereka ngajarin Adrine terjun dari tebing sungai dan bergelantungan di akar pohon" Sasongko sangat terkejut apa yang dikatakan Adrine. "Tau ngga Yangku? kalo Adrine juga nyebrang kali pake sebatang pohon kecil yang dibikin buat jembatan oleh orang-orang". Sasongko terus mendengarkan kegilaan cucunya. "Aku seneng di sini Sasongko."ujar Adrine tertawa gembira lantaran di Jakarta tidak ada permainan seperti itu dan sudah tidak ada sungai yang sebersih di Jogja. Keindahan alaminya masih terjaga. "Jakarta mulai panas Yangku, bahkan Adrine ngga bisa terjun dari tebing karna sungainya penuh dengan sampah. Apalagi kalo ketahuan ayah, Adrine pasti ngga boleh. Jangankan mainan begini, keluar rumah rasanya ngga bebas karna..." spontan Adrine terdiam mengingat segalanya.
Adrine menghentikan ingatannya, mencoba mengalihkan pembicaraan yang sedang berlangsung. Sasongko mulai mengerti cucunya menyimpan segala rasa di benak dan di pikirannya. Hatinya berusaha kuat dan menutupi segala rasa sakit harus berpisah dan bersembunyi jauh dari orang tua yang amat dia sayangi.
Dari balik pohon bugenvil, seorang anak lelaki memandangi Adrine tiada henti berharap dirinya cepat menghampiri Adrine, namun rasa takut akan kakeknya yang membuat dirinya mengurungkan niatnyak. Karna lelah menunggu sang kakek, anak itu akhirnya pergi berlalu bersama kawan-kawannya. Sementara Sasongko mengetahui anak tersebut, dia tetap pada Adrine karna Sasongko mengetahui Adrine sedikit lelah dan harus istirahat lalu belajar. Di benak Sasongko, Adrine harus mempersiapkan segala sesuatu untuk menghadapi apapun kemungkinan yang bisa terjadi kapan saja seperti yang dikatakan Ghandi.
*****
Suatu ketika Sasongko mengajak Adrine ke suatu tempat tepat di lokawisata Taman Sari di mana lokawisata itu sangat indah. Tempatnya menyerupai istana di Eropa. Desainnya yang indah bak di syurga konon tempat itu didirikan oleh Susuhunan Paku Buwono II. "Sufi..." Ghandi memanggil dengan suara lembut. Sufi tersenyum pada suaminya ketika melihat kolam berisi air tersebut dan memandang lepas ke arah bangunan yang berdiri kokoh.
"Kita di sini sekarang, sesungguhnya dari dulu aku ingin ke sini tapi ibuku melarang. Aku lihat di media internet bangunan ini sangat indah menyerupai bangunan eropa, ini seperti istana di negri dongeng."
"Indahnya...seperti hatimu istriku." Ghandi mencoba menambahkan sedikit kata indah untuk istrinya mencoba membuatnya lebih banyak tersenyum setelah melalui banyak fase di kehidupan mereka.
Sufi tersenyum bahagia, dia datang ke lokasi di mana itu tempat favorit yang ingin ia kunjungi sejak SMA. Terlebih dia berkunjung dengan suaminya. Sementara Adrine berjalan-jalan dengan Sasongko di sekitar kolam Taman Sari tersebut.
Sasongko menjelaskan sedikit sejarah berdirinya bangunan tersebut. "Adrine, nih kakek kasih tau kalo bangunan ini dibangun oleh arsitektur dari Portugis, didirikan sama Susuhunan Paku Buwono II dulu tempat ini dipakai buat istirahat kereta kuda yang akan ke Imogiri." Adrine diam mendengar Sasongko terus mencoba menjelaskan panjang dan lebar sembari telapak tangannya menyentuh dan mengusap bagian demi bagian dinding.
"Sedangkan proyek dipimpin oleh Mangundipuro saat itu pada tahun 1758." Ketika Sasongko menyebut tahun 1758 Adrine menoleh menatap Sasongko dan bertanya "Di tahun segitu apa Yangkubem udah lahir?" Sasongko tertawa kecil. Adrine menatap marah. Dalam benak Adrine selalu kesal ketika bertanya Sasongko selalu tertawa. "Sasongko.! kenapa sering kamu tertawakan aku kalo aku tanya?! Huh!!!" Adrine memalingkan wajahnya kembali menatap dinding.
Ghandi dan Sufi tertawa melihat Sasongko dan Adrine jarang rukun entah di mana tempat mereka saling ribut. "Cucuku.....betapa aku ingin kamu memanggil `KakekĀ“ padaku." gumam Sasongko lirih.
Amarah Adrine membuat dirinya pergi dari pandangan Sasongko dan berjalan cepat menyusuri sebuah tangga. Adrine melangkah turun tangga, melihat keindahan masjid bawah tanah di Taman Sari tersebut. Keingintahuannya sangat besar mengenai berbagai jenis apa yang dia lihat dan dia rasakan. Lebih sering dia mencoba sesuatu dengan pikirannya dan tanpa sepengetahuan dan seizin orang yang ia sayangi. "Ghandi, aku sedikit pusing rasanya berputar-putar kepalaku." Sufi tiba-tiba hampir terjatuh untung saja Ghandi masih stay di sebelahnya dan menangkap tubuh Sufi.
"Sayang... kita istirahat ya" Ghandi memapah istrinya dengan lembut menuju ke kursi kosong dan beristirahat selama 15 menit.
"Mungkin aku masuk angin. Semalam aku dengar ada seseorang menyebut namamu dan nama Adrine di luar rumah saat kamu tidur sekitar pukul sebelas malam. Yangkubem juga sudah tidur, aku ngga tega mau bngunin kalian." Sufi menceritakan sedikit apa yang ia lihat dan ia dengar. "Tapi aku sudah baik-baik saja." Sufi mencoba membuat suaminya tidak khawatir akan dirinya.
"Biarlah dulu yang penting sekarang kamu sudah sedikit lebih baik. Apa kamu masih kuat? kita mungkin perlu keluar dari sini cari udara segar." Ghandi mengajak istrinya pergi keluar dari bangunan itu lalu mencari warung kopi atau semacam warteg. Ghandi memesan teh hangat dan kopi berharap Sufi menjadi lebih baik dan sehat kembali. Sambil meminum teh Sufi menceritakan apa yang telah dia dengar dengan detail apa yang telah ia dengar.
Ghandi sedikit khawatir tiba-tiba saja nama dirinya dan Adrine disebut orang tak dikenal. "Ghandi apa hari ini kamu hatimu baik-baik saja?" Ghandi heran mengapa Sufi bertanya demikian padahal yang saat itu sakit justru Sufi.
Ghandi mengangguk, suaminya yang memiliki banyak rahasia saat itu juga Sufi menanyakan satu dari banyak yang telah ia simpan sendiri. "Ghandi, aku ingin kamu jawab jujur tanpa ada rahasia yang kamu simpan padaku."
"Apa yang akan kamu tanyakan?"
Sufi menghela nafas sedikit panjang untuk menenangkan dirinya. "Ghandi, apa Sasongko adalah ayah kandungmu?" Ghandi terkejut sangat terkejut istri tercintanya mengetahui hubungan darahnya dengan Sasongko. "Aku minta maaf Ghandi, aku mengetahuinya sudah lama bahkan ketika kita baru sampai di Wonosari." Ghandi diam tak berkutik sedikitpun. Sufi terus memijat lembut pelispisnya, wajahnya terus menerus memucat karna rasa khawatir akhirnya Sufi dilarikan ke Rumah Sakit terdekat.
*****
Dokter keluar dari ruangan dengan stetoscope yang menggantung di lehernya, Ghandi kemudian mematikkan ponsel kemudian menghampiri dokter tersebut. "Dokter, Bagaimana istri saya?" wajah Ghandi penuh rasa khawatir.
"Sepeluh menit lagi anda ke ruangan saya" ujar dokter tersebut.
"Baiklah" setelah menyetujuinya Ghandi memasuki ruangan dimana Sufi berbaring. Sufi masih sangat terlihat pucat dan lemas.
"Ghandi, aku minta maaf liburan ini malah merepotkanmu" Sufi menatap suaminya lekat.
"Mboten Sufi," jawab Ghandi dengan menggunakan bahasa jawa. Sufi tersenyum geli mendengar suaminya berbicara menggunakan bahasa jawa. Meskipun tinggal di Wonosari Yogyakarta mereka terbiasa dengan bahasa indonesia. Mereka tidak seperti Adrine yang lebih banyak berbahasa jawa karna pergaulan dengan kawan-kawannya penduduk asli Wonosari.
Sepuluh menit berlalu, Ghandi pergi berlalu meninggalkan Sufi untuk mendatangi dokter. Ketika Ghandi mengetahui dokter telah stand by di mejanya, dia mendekat dan berusaha berkomunikasi. Ketika keluar dari ruangan Ghandi tersenyum gembira seolah dunia menjadi miliknya lagi.
Sementara Adrine dan Sasongko masih asyik dengan liburannya. Ghandi tidak ingin merusak kebahagiaan Adrine sehingga meminta Sasongko terus mengawasi dan menjaga Adrine terlebih Adrine suka tiba-tiba pergi menghilang tanpa izin.