Chereads / LENGAN BERDARAH / Chapter 6 - 6. Gunung Kidul

Chapter 6 - 6. Gunung Kidul

Tiga Puluh menit setelah kejadian.

"Kita menang baby.. pasti keluarga Sasongko sedang kalang kabut. Hahahaha.." suara tawa gembira seorang lelaki terdengar dari balik pintu menghadap sebuah kolam renang miliknya.

Seorang wanita muda berambut hitam panjang dengan kacamata hitam yang terpampang jelas di wajahnya. Dia duduk di sebelah lelaki tersebut dengan kursi yang berbeda sedang mengangkat gelas berisi minuman berwarna merah dan mengajak bersulang lawan bicaranya.

Ting....

"Hari yang sangat menyenangkan. Kita selalu menang akhir-akhir ini. Sekali tancap gas kocar kacir seisi istana mewah Sasongko."ujar wanita tersebut. "Anda Gila, sangat gila. Tidak sia-sia saya punya kekasih macam anda. Saya selalu bahagia dan tertawa. Anda selalu menang? Tapi ngomong-ngomong apakah istri anda tidak cemburu saya berbincang dengan anda bahkan di jam seperti ini?"

"Saya selalu menjaga hubungan kita dengan bisnis. Bahkan ketika kita memadu rindu, istri saya tidak akan pernah tau. Dia juga sibuk dengan anak laki-laki kebanggan saya. Sibuk dengan keluarganya yang membosankan. Istri saya tidak secerdas anda.Tapi anak laki-laki saya kuat seperti saya!" ucap lelaki pemilik rumah tersebut.

****

Wonosari, malam pukul 22:59 WIB

"Kita istirahat di sini ya sayang." Mobil Ghandi berhenti di pinggir jalan raya Wonosari Jogjakarta. Ghandi membelai rambut Adrine yang masih terlelap tidur di jok belakang. Sufi menyadari perjalanan terhenti sedangkan Ghandi sibuk menyusuri ruang parkir dan menemukannya. Ghandi membelokkan mobilnya dan menepi, mematikan mesin dan bangkit keluar dari mobil, kemudian mengambil duduk di pinggiran jurang tak bertembok hanya berbatas besi dan bambu.

Lesehan di atas jurang Wonosari dan dikenal dengan Lesehan Katamso. Ketika Sufi menyadari suaminya telah keluar dari mobil, cepat-cepat dia mengikutinya dan membiarkan Adrine yang masih terlelap tidur.

"Ghandi," Sufi memanggil suaminya dengan lembut.

"Ayo duduk di sebelahku sayang. Perjalanan kita sedikit lagi. Tapi kita akan di sini hingga pagi."Ghandi menjelaskan. Sufi mendekati Ghandi dan duduk di sebelahnya. "Lihat,!" Ghandi menunjuk ke arah jurang hitam dan gelap.

"Gelap Ghandi, sangat menakutkan" jawab Sufi ketakutan.

"Tidak Sufi, di sana memang gelap dan menakutkan tapi cobalah lihat jauh di sana. Ada banyak lampu yang menyerupai bintang. Itu kota jogja. Sangat indah bahkan sangat lama aku tidak berkunjung ke sini." kata Ghandi mengingat masa dahulu. "Kau tau kegelapan tidak selamanya menjadi gelap. Suatu ketika akan ada cahaya yang mampu mengalahkan kegelapan yang menakutkan."

Sufi terdiam dan mencerna apa yang dikatakan suaminya. Mereka menikmati malam di pinggir jalan di atas jurang Wonosari. Ghandi memesan minuman hangat dan ayam bakar untuk Adrine, dirinya dan istrinya.

"Sufi, bangunkan Adrine setidaknya untuk makan sesuatu. Karna sepanjang perjalanan dia hanya memakan sedikit roti. Aku tidak ingin dia sakit." pinta Ghandi. Sufi kemudian bangkit dari duduknya dan pergi menemui Adrine lalu membangunkannya.

"Adrine sayang.. bangun nak," Sufi memanggil berusaha membangunkan Adrine sambil membelai rambut di kening Adrine.

"Mom..." ucap Adrine masih dengan mata tertutup.

"Sayang, bangun nak." Sufi terus mencoba membangunkan.

Adrine membuka kedua matanya kemudian menyadari bahwa bukan ibunya yang membangunkan. Adrine bangkit dari tidur dan menyingkirkan selimut yang menutupi dirinya. Sufi meraih tangan Adrine kemudian membopongnya dan membawanya pada Ghandi.

"Mari sini sayangku Adrine. Lihat di mana kita?"tanya Ghandi sembari meraih lengan kanan Adrine dan membantunya duduk. Adrine menggelengkan kepala. "Sayang, kita di Jogja tepatnya di atas Jogja atau dikenal dengan Gunung Kidul" ucap Ghandi memberitahu Adrine. Gadis kecil ini belum sempurna kesadarannya setelah tidur namun Ghandi berusaha menyempurnakan kesadarannya dengan mengajak bicara. "Lihat, betapa indahnya pemandangan ketika malam tiba. Sinar lampu seluruh Jogja mengalahkan gelapnya malam. Apakah Adrine pernah melihat ini sebelumnya?" Adrine hanya menggelengkan kepala seraya memandang kelap kelip lampu menyerupai bintang tersebut. "Suatu hari nanti kita akan menemukan cahaya yang sangat terang diantara kegelapan." Ghandi memeluk wajah cantik Adrine dengan kedua telapak tangannya. "Om percaya, sangat percaya. Kamu, jadilah wanita pemberani dan kuat. Usir ketakutan jauh-jauh. Om dan tante Sufi akan selalu ada denganmu."

Sufi tersenyum melihat suaminya memberi kekuatan mental dan hati Adrine. Bahkan ketika kehilangan Bila anak mereka, Sufi seolah kehilangan nyawa namun Ghandi masih berusaha membuat hati Sufi tetap tegar padahal hatinya sangat remuk. Buah hati satu-satunya harus pergi meninggalkan segalanya.

Pelayan memberikan minuman hangat dan ayam bakar untuk mereka makan. Setelah selesai makan Ghandi meminta izin pemilik lesehan untuk beristirahat hingga pagi. Bersyukur pemilik tempat tidak keberatan.

*****

Pagi menyingsing,

Pemilik lesehan masih setia menemani pengunjungnya. Biasanya lesehan tutup pada pukul tiga pagi, malam ini hingga pagi lagi. Tanpa memberi penawaran, pemilik lesehan memberikan dua cangkir teh dan satu cangkir kopi. Ghandi tertidur di tikar, Sufi dan Adrine tidur di dalam mobil. Ketika Ghandi bangun dari mimpinya dia dikejutkan oleh Adrine yang telah bangun lebih awal. "Sayangku... kamu sudah bangun?"

Adrine menjawab sembari memberikan beberapa bunga melati putih yang telah ia petik di depan warung. "Sudah om, ini bunga buat om."

"Loh Adrine dapat bunga dari mana?" tanya Ghandi keheranan.

"Tuh dapet metik depan warung. Habis cantik si, di kota jarang ada bunga beginian om."kata Adrine terlihat sedikit membaik suasana hatinya.

"Lah, emang Adrine udah ijin?"

"Sudah," sahut pak Kamso pemilik lesehan. "Sedari dia bangun dia menyentuh tiada henti melati itu. Jadi saya izinkan untuk dipetik. Boleh memetik bunga tapi pohonnya jangan dirusak. Gadis kecil ini kegirangan, warna putih kulitnya sama dengan bunganya, sama-sama cantik. Kalo adek dewasa pasti udah kulamar jadi mantu saya!" ujar pak Kamso dengan logat jogjanya. "Opo adek tinggal ndek kene yo? piye?"

Kedua mata Adrine mbelalak, dia tidak mengerti apa yang dikatakan lelaki yang telah beruban itu. "Adrine ngga ngerti artinya."

Ghandi dan pak Khamso tertawa, mulut Adrine mengerucut mukanya asam. "Sini, sini sayang..." pinta Ghandi menyuruh Adrine duduk di sebelahnya.

"Artinya `Apakah Adrine mau tinggal di sini? Bagaimana?´ udah jangan ditekuk mukanya. Just kiding sayang."

"Bagaimana kalo mbah bikinin sarapan, gadis kecil?" Pak Khamso menawarkan. Adrine mengangguk mengiyakan kemudian Pak Khamso berlalu meninggalkan mereka dan membuatkan mereka sarapan.

Tidak lama Sufi bangun dan menghmpiri mereka, menanyakan toilet. Di sana hanya ada toilet sederhana. Mereka mencuci wajah mereka lalu kembali ke meja lesehan. Mereka menyantap sarapan dan menikmati dingin pagi Wonosari.Setengah jam setelah sarapan dan membayar Ghandi menyingkir dari Sufi dan Adrine. Ghandi mengambil ponsel dari dalam sakunya dan berbicara dengan seseorang di balik mobil mereka.

"Sedikit lagi kami sampai. Kami baru saja selesai sarapan." ucap Ghandi menjelaskan. Namun sayang Sufi masih belum mengerti kemana mereka akan menetap sementara. Bahkan disituasi seperti ini Sufi enggan bertanya apapun.

Setelah menutup teleponnya Ghandi menghampiri Sufi dan Adrine mereka kemudian bergegas berangkat ke tempat tujuan Ghandi.