Chereads / Istri Rahasia Sang Mafia / Chapter 7 - Pertolongan Xavier

Chapter 7 - Pertolongan Xavier

Mobil itu bergerak dengan manuver berbahaya hampir menabrak keempatnya. Tiga laki-laki pengganggu itu terkejut dan mundur, tidak ingin mati kena tabrak mobil. Saat merasakan cengkraman mereka lepas, Elena segera mundur beberapa langkah dan mengamankan dirinya

Xavier keluar dan mengulurkan tangannya ke arah Elena.

"Masuk dalam mobil!" perintahnya dengan tatapan tajam serta siaga pada ketiga laki-laki pengganggu itu. Tangan kanannya siap meraih senjata yang ada di balik jasnya.

Satu orang maju dengan berani setelah melihat Xavier hanya sendirian.

"Itu tindakan yang sangat buruk, kawan. Dia wanita kami. Kami lebih dulu menemukannya."

Mata Xavier saat ini terlihat sungguh berbahaya. Saat melihat sosoknya yang menakutkan, seorang dari kelompok lelaki itu mengerutkan keningnya. Ia sedikit mengenali Xavier karena ia pernah terlibat dengan kelompok mafia dan cukup mengenali sikap seorang mafia.

Dari penampilannya ini… jangan-jangan.

Lelaki itu menelan ludah. Xavier cukup terkenal di kalangan terbatas. Beberapa tahun terakhir ini ia sudah terlibat dengan banyak sekali pembunuhan.

Saat dua lelaki yang lain mulai maju hendak mengeroyoknya, ia menyadari bahwa mereka sama saja dengan cari mati jika mengeroyok Xavier.

"Kita pergi!" Ia segera menahan siku temannya. Bisiknya, "Jangan lanjutkan…"

Xavier berdiri tenang, mengamati mereka dengan tajam. Ia menduga salah satu lawannya telah mengenali siapa dia.

"Dia X, adik Elleard." kata lelaki yang mengenali Xavier. "Aku tidak mau mati. Kalau kalian masih sayang nyawa, sebaiknya kalian juga pergi!"

Begitu ia menyelesaikan ucapannya, tanpa penunggu reaksi yang lain, orang yang mengenal Xavier telah melarikan diri. Dua orang lainnya mulai gentar mendengar sebutan nama X. Kemudian tidak berapa lama mereka pun berhamburan berlari.

Xavier mendecih melihat orang-orang pengecut itu. Ia memberi tanda kepada Elena agar masuk ke dalam mobilnya. Karena masih shocked akibat peristiwa yang barusan terjadi, Elena tanpa sadar menuruti saja perintah pria itu.

Xavier menutup pintu mobil lalu masuk dalam mobilnya. Ia pun memutar kemudi dan mobil itu melesat membelah jalanan kota Milan. Lampu-lampu malam berpendar sepanjang jalan. Tidak ada seorang pun yang berbicara.

Sekian menit berlalu hanya dalam keheningan. Elena hanya menunduk sambil meremas jarinya, sementara mata Xavier masih tajam melihat jalanan.

"Apa aku harus bertanya di mana rumahmu? Atau kau mau kemana?" Setelah lima belas menit berkendara, Xavier memecah keheningan. Ia sekilas melirik arah Elena. Gadis itu masih menunduk. Wajahnya tampak dipenuhi kesedihan.

"Uhm… turunkan aku di pinggir saja." Elena menunjuk sembarangan ke arah jalan di depan mereka, Ia akan mencari cara untuk menyelamatkan diri. Setidaknya ia akan lebih aman di jalan besar karena tidak sesepi jalan kecil tadi.

Tanpa bertanya Xavier mengikuti arah telunjuk gadis itu untuk berhenti. Elena turun dan membungkukkan badannya dalam-dalam mengucapkan terima kasih kepada Xavier.

Setelah gadis itu turun, Xavier kembali berlalu. Namun, saat ia melihat Elena lagi dari kaca spion mobil, apa yang ia lihat pada raut wajah Elena sungguh mengusik nurani Xavier. Ada rasa gundah yang tidak dapat dijelaskannya saat melihat wajah gadis itu.

Xavier menggeleng-geleng. Tatapannya kembali fokus pada jalanan.

Untuk berlindung dari dinginnya malam, Elena bersembunyi di dalam kotak telpon umum yang sudah tua. Ia hendak menghubungi temannya, Bella, tetapi ponselnya ketinggalan di apartemen saat ia diusir bibinya.

Untunglah masih ada telepon umum seperti ini yang bisa digunakan dengan koin. Ia masih memiliki beberapa koin yang dapat ia gunakan untuk menghubungi seseorang di seberang sana.

"Halo, selamat malam Bella," sapa Elena begitu sambungan telepon diangkat.

"Iya, Elena. Kenapa?" Terdengar suara Bella, salah satu pekerja di minimarket tempat Elena bekerja. Sebenarnya Elena dan Bella tidak terlalu dekat, tetapi Elena sama sekali tidak punya teman lain untuk dimintai bantuan.

"Bella, bisakah aku minta bantuanmu?"

"Tentu saja katakanlah, aku mendengarkan. Diamlah, honey! Aku sedang bicara dengan temanku."

Terdengar suara tawa kecil seorang lelaki dari seberang sana membuat Elena merasa tidak enak.

Namun demikian, karena terpaksa, Elena mulai mengatakan permintaannya. "Apakah… uhm… aku bisa menginap di rumahmu, untuk malam ini saja?"

Sebelumnya Elena tidak pernah meminta bantuan siapapun, ia tidak ingin mengganggu. Namun, situasinya kali ini benar-benar darurat.

"Aahh… aku sebenarnya tidak masalah kau ingin menginap. Tapi, sekarang aku tinggal bersama kekasihku. Dan hanya ada satu kamar di sini. Eh, honey… jangan nakal!" Bella memperingatkan kekasihnya yang terus saja mengganggunya dengan sentuhan sentuhan kecil.

"Ohh… maaf… maaf, Bella." Seketika Elena tergagap. Ia merasa menjadi pengganggu malam panas pasangan kekasih itu.

"Hey! Kau tidak perlu meminta maaf. Buang jauh rasa sungkanmu padaku, aku sudah pernah bilang kita teman. Mungkin kau bisa tidur di ruang tengah. Datang saja kemari."

"Tidak usah, aku akan menunggu orang rumah pulang. Kau tahulah, aku menghilangkan kunci rumah yang aku bawa."

"Mm… baiklah, Elena. Kau menunggu di mana?" tanya Bella.

"Ada kafe di dekat apartemen. Aku akan menunggu sampai bibiku pulang."

"Kau yakin?" tanya Bella lagi.

"Iya, aku tidak apa-apa."

"Hm… baiklah. Kalau begitu jaga diri baik-baik. Beri tahu aku kalau kau membutuhkan bantuan. Sampai jumpa."

"Iya, Bella…" Panggilan lalu diakhiri.

Elena menyandarkan kepalanya pada kotak kaca telpon umum. Tidur di hotel adalah pilihan yang tidak akan Elena ambil karena uangnya tidak cukup. Ia hanya memiliki dua lembar uang 10 euro di sakunya. Hanya cukup untuk membeli makan dan minum sekarang dan besok.

Elena melihat jam di pergelangan tangannya. Ini adalah jam peninggalan ibunya, sangat sederhana tetapi masih dapat menunjukkan waktu dengan baik. Ia mendesah saat menyadari waktu sudah hampir tengah malam.

Elena menimbang apakah sebaiknya ia pergi ke minimarket dan tidur di sana? Aduh… tapi kalau ketahuan, ia bisa dipecat dari dari pekerjaannya karena dianggap menyelundup.

Elena mendesah lagi. Berada di sini sampai pagi pun rasanya tidak mungkin. Akan banyak berandalan berandalan seperti tadi. tadi ia beruntung karena ditolong seorang lelaki, tetapi mungkin nanti ia tidak akan beruntung seperti tadi,

Akhirnya, Elena membuat keputusan. Ia pun membuka pintu boks telepon hendak keluar. Baru saja kakinya hendak melangkah keluar, dari ujung jalan ia mendengar langkah kaki bergerombolan kembali datang.

Elena sudah ketakutan dan kembali memasukkan kakinya, mengunci ruangan kotak persegi panjang itu dari dalam. Syukurlah yang datang kali ini bukanlah ketiga lelaki mesum yang tadi hendak mengganggunya. Namun, tetap saja gerombolan baru ini mengetuk-ngetuk pintu seakan menggoda Elena yang ada di dalam.

Setelah mereka pergi, barulah Elena kembali lega. Ia akhirnya menyadari bahwa berada di sini memang bukan pilihan yang baik. Elena akan mencari hostel murah seharga 20 euro.

Kalaupun tidak ada ranjang hostel seharga 20 euro, ia akan memohon agar diizinkan menginap dan sebagai gantinya ia akan membersihkan hostel itu besok.

Baru saja kakinya melangkah ke bibir trotoar, muncul sinar lampu mobil dari ujung jalan menyilaukan Elena. Gadis itu mengangkat tangannya ke mata untuk melindungi matanya dari cahaya silau itu. Ia lalu melihat ada mobil hitam dengan atap terbuka berhenti di depannya.

Kali ini Elena bisa mengamati lelaki yang mengemudikan mobil itu di bawah cahaya lampu jalan. Ini adalah lelaki yang tadi menolongnya. Ia tak akan dapat melupakan wajah tampan Xavier. Rahangnya yang tegas berselimut rambut-rambut tipis.

Ada kaca mata hitam bertengger di atas hidung mancungnya walaupun saat ini sudah malam. Pria itu mengenakan kemeja hitam dengan kerah lengan yang tergulung sampai siku, menampilkan lengannya yang terlihat sangat kokoh. Urat-urat tergaris jelas pada punggung tangannya yang menggenggam stir mobil dengan tegas.

Xavier diam selama beberapa detik, kemudian ia melepas kacamatanya, melihat ke arah Elena. Pandangan keduanya bertemu.

"Mau ke rumahku?" tanya Xavier dengan suaranya yang dalam.