Pertempuran antara kedua kesatria itu tidak bisa terelakkan. Di mana keduanya memiliki kekuatan tersendiri dan tidak mau dikalahkan satu sama lain. Pasukan telah gugur lebih dulu dan menyisakan dua kesatria itu.
Mereka berdua saling menatap tajam ke arah masing-masing lawan. Napas memburu, keringat yang bercucuran. Keadaan mencekam, tidak ada ampun bagi siapa saja yang ikut dalam pertempuran. Bukan hanya itu, genangan darah ada di mana-mana. Beberapa orang tumbang dan harus meregang nyawa akibat permainan pedang lawan.
Seorang pria gagah menunggangi kudanya yang berwarna hitam legam. Membawa sebilah pedang yang ia genggam di tangannya. Bertarung menggunakan kuda membuatnya dapat melumpuhkan lawan hanya dalam sekejap. Sementara pria lain, memainkan pedang dengan lihai dan tidak kesulitan baginya. Ia berlari mendekati pria berkuda itu, dan dalam sekejap mengacungkan pedangnya serta mengarahkan kepada pria berkuda.
"Rasakan ini!" Pangeran Ricci berlari ke arah Hexa.
Gerakan itu cepat sekali, bahkan melebihi kecepatan kedipan mata. Dan pada akhirnya berhasil menyayatkan pedangnya di kaki kuda.
Zrakk!!
Dan akhirnya, kaki kuda berhasil ditebas olehnya. Menyebabkan kuda tersebut meringkik kesakitan. Hexa tidak dapat mengendalikannya. Berusaha untuk menyelamatkan diri, tetapi terlambat. Kuda yang ditungganginya tidak dapat berdiri dengan kokoh. Hal itu membuat Hexa ikut tidak bisa mengendalikan kuda tersebut.
"Arrgghh! Tidak!" pekik Hexa.
Rupanya kuda yang ia tunggangi tergelincir pada sebuah jurang yang berada dekat dengan mereka. Alhasil, ia jatuh ke dalam jurang tersebut. Suaranya terdengar kencang, sampai akhirnya hilang seiring dengan tubuhnya yang jatuh ke jurang.
Jurang yang sangat dalam, dan beberapa batu besar ada di dasarnya. Tubuh Hexa menggelinding, serta kepalanya membentur pohon kecil serta batu yang ada di sana. Ia jatuh bersama dengan kuda miliknya. Saat sampai di dasar jurang, Hexa sempat membuka kedua matanya. Merasakan sakit di bagian dada sampai ke kepala. Pandangannya tidak jelas. Sampai akhirnya, Hexa tidak sadarkan diri. Kini ia berada di dasar jurang yang gelap dan tidak ada siapa-siapa di sana.
Di tempat lain.
Segerombolan manusia tengah berlatih pedang. Di bawah teriknya matahari, mereka giat berlatih. Mengayunkan pedang dengan tangannya dan memperhatikan seorang guru yang mengawasinya. Tidak hanya itu, mereka juga berlari dan bertarung untuk menguji kekuatan masing-masing.
"Hiak…"
Suara mereka menggema dalam hutan itu. Terik matahari bukan lagi menjadi penghalang. Ketika sedang fokus dengan gerakan, tiba-tiba salah satu dari mereka mendengar sesuatu. Wanita itu berhenti dan melebarkan telinganya. Dahinya mengkerut tatkala mendengar ada suara keras tidak jauh dari sana.
"Aileen, fokus!" ujar sang guru yang sadar salah satu dari mereka hilang fokus.
"Maaf, aku seperti mendengar teriakan seseorang."
"Teriakan siapa? Di sini sedang berlatih, tidak perlu kau hiraukan suara dari tempat lain."
Apa yang dikatakan oleh guru ada benarnya. Wanita itu bernama Aileen, salah satu wanita tercantik di antara yang lainnya. Dia bisa mendengar suara bising walau dalam jarak yang jauh. Aileen kembali memainkan pedangnya. Tetapi hatinya gelisah memikirkan apa yang sudah ia dengar. Karena, pendengarannya itu tidak pernah salah. Apalagi ditambah dengan hati yang gelisah. Aileen jadi tidak fokus dalam berlatih.
Ia yakin sekali kalau telah terjadi sesuatu. Karena penasaran, Aileen memutuskan untuk meminta izin. Ia mengatakan harus kembali ke distrik. Padahal sebenarnya itu hanya bualannya saja. Aileen mencari sumber suara yang menganggu pikirannya itu.
Berlari menyusuri jalan setapak, serta menyingkirkan ranting yang menghalangi jalannya. Aileen berhasil mencapai ujung hutan. Tepat di sana ada sebuah dinding tinggi, yang bisa dibilang itu adalah jurang curam. Aileen terhenti, ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Pertama melihat, ia tidak mendapati hal aneh di sana. Hanya ada beberapa batu besar, serta keadaan dasar jurang yang gelap menyulitkan pandangannya.
"Aku yakin sekali kalau suara itu berasal dari sini," ujar Aileen pelan dan melangkahkan kakinya.
Tepat di balik batu, Aileen terkejut. Ia mendapati ada sosok pria terkapar di sana. Wajahnya penuh dengan darah, dan juga pakaiannya lusuh serta kotor karena tanah. Aileen menggigit bibir bawahnya, menoleh ke kanan dan ke kiri. Memastikan kalau di sana tidak ada siapa-siapa lagi selain dirinya.
Ia melihat ke atas, dan menebak kalau pria yang ditemuinya baru saja jatuh dari atas sana. Dugaan Aileen benar tatkala melihat ada sebilah pedang yang berada tepat di samping pria yang ia temui. Melihat pedang itu, Aileen menjadi waspada. Ia kembali memasang mata dan memperhatikan keadaan hutan itu.
Suasana berubah menjadi mencekam. Aileen memasang mata waspada, takut kalau sewaktu-waktu akan ada serangan dari berbagai penjuru. Perlahan Aileen mendekat. Ia duduk dan menggoyahkan tubuh pria itu. Tetapi tidak kunjung sadarkan diri.
"Hei! Bangun," ujar Aileen.
Ia memperhatikan wajah pria itu dengan seksama. Mengusap darah yang menutupi kedua matanya. Kemudian Aileen memeriksa dan ternyata pria itu masih hidup hanya saja terluka parah. Lalu Aileen memutuskan untuk membawanya ke distrik. Sebelum itu, Aileen terlebih dahulu mencari identitas yang bisa ia dapatkan pada tubuh pria itu. Tapi ia gagal. Pria itu tidak meninggalkan identitas dalam bentuk apa pun. Hanya saja, pakaiannya seperti pangeran yang membuat Aileen tertarik.
Tetapi Aileen kebingungan untuk membawa pria itu. Sedangkan ia tidak mungkin bisa membawanya seorang diri saja. Lalu Aileen memutuskan memanggil temannya yang lain agar dapat membantunya. Dan pada akhirnya, Aileen dapat membawanya pulang. Saat bantuan datang, Aileen langsung memerintahkan mereka untuk membawa pria itu.
Awalnya mereka menolak dan tidak ingin membantu Aileen. Tatapan Aileen berubah tajam, membuat kedua temannya menjadi ketakutan.
"Hati-hati, dia sedang terluka parah," ucap Aileen kepada dua temannya.
Semua mengangguk paham, "Tapi, bagaimana kalau dia akan tahu identitas kita? Dia ini manusia biasa, Aileen."
"Aku percaya kalau dia tidak akan berbuat macam-macam. Ikuti saja perintah, dan jangan membantah!" ujar Aileen dengan suara tegas.
Tidak mungkin menolak, kemudian mereka memapah pria yang hampir mati akibat terjatuh dari jurang. Mereka pergi melesat dengan cepat. Seperti angin yang berhembus, bahkan sampai menyebabkan dahan pohon ikut bergoyang seiring dengan melesatnya mereka bertiga yang membawa pria itu. bukan perkara yang sulit bagi mereka.
Sampai akhirnya mereka sampai di distik. Distrik Pylios, tempat tinggal mereka. Di sana terdapat banyak rumah serta ada satu rumah yang bisa dibilang cukup besar. Tempat tinggal di hutan membuat penduduk distrik mengharuskan memanfaatkan kekayaan yang diberikan oleh hutan yang ada di sekeliling mereka.
Rumah-rumah berdiri kokoh dan semua terbuat dari kayu. Penduduk distrik sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Aileen memberi isyarat agar temannya membawa pria itu ke rumahnya. Mereka mengangguk paham dan melaksanakan perintah dengan baik tanpa adanya penolakan.
Tetapi, ketika Aileen hendak membawanya ke rumah. Tiba-tiba saja mereka dicegah oleh pria lain yang secara mengejutkan telah berada di depan mereka. Terpaksa Aileen berhenti dan memerintahkan agar temannya ikut berhenti. Tatapan tajam mengintai mereka, ditambah dengan taring yang terlihat serta bola mata berwarna merah.
Aileen menahan agar tidak terjadi keributan yang akan menyebabkan semua orang panik.
"Siapa dia?" Salah satu dari mereka mendekat.
"Dia aku temukan di ujung hutan ini. Dia sedang terluka parah dan perlu bantuan kita," jawab Aileen.
"Tidak bisa! Bagaimana kalau nanti identitas kita akan terbongkar, Aileen."
"Tidak akan, Damian. Aku jamin itu." Aileen tetap pada pendiriannya.
Dia adalah Damian. Pria yang dijodohkan dengan Aileen dan sebentar lagi mereka akan menikah. Damian menolak dan tidak mengizinkan Aileen merawat pria asing itu. Damian kembali merapatkan tubuhnya. Mendengus serta melolong dengan kencang sekali. Ia seperti mendapatkan mangsa saat mencium aroma sedap dari darah segar yang mengalir di dahi pria asing itu.
"Hem… Darah segar," ujar Damian sambil mengigit bibir bawahnya.
Kedua matanya mengintai dan siap untuk menerkam manusia yang ada di depannya itu. Secepatnya Aileen menarik tangan Damian. Sebab, akan fatal jika dibiarkan saja. Ia membulatkan kedua matanya dan membisikkan agar Damian menjaga sikap. Semua menjadi heboh, seisi distrik berkumpul karena mendengar ada keributan. Kini Aileen terlihat seperti tontonan yang menarik bagi mereka. Apalagi pria yang ia bawa.
"Aku mohon, dia sedang terluka parah. Jika tidak segera diobati, maka dia akan mati," ucap Aileen masih berseteru dengan Damian.
"Sekali aku bilang tidak, ya tidak. Ayahmu tidak akan mengizinkan."
"Jangan memperlambat waktu, atau manusia ini akan mati. Dan kau akan tahu akibatnya." Nada bicara Aileen mengancam.