Pagi hari, Firman kembali ke rumah dan mendapati Sasya sedang sarapan dengan tenangnya, Firman menghampiri anak itu dan memukul tangannya.
Pukulan itu membuat sendok yang digenggam pun terjatuh, Sasya seketika menoleh dan terdiam menatap Firman.
"Seperti ini kelakuan kamu, Saysa?"
Sasya mengernyit dan bangkit dari duduknya, ada apa lagi sekarang, baru saja bertemu, Firman sudah mengomel saja.
"Apa kamu tidak khawatir dengan keadaan Anaya?"
Sasya mendelik dan kembali duduk, masih saja membahas anak pungut itu, apa Firman tidak mengerti jika Sasya tidak bisa untuk peduli padanya.
"Sasya, Anaya kecelakaan karena ulah kamu, dia tidak sadarkan diri sampai sekarang."
"Kenapa gara-gara aku, apa yang aku lakukan, semalaman aku di rumah gak sama dia."
"Karena semua kalimat kamu itu, Anaya jadi kecelakan semalam."
Sasya menghembuskan nafasnya sekaligus, Firman jadi semakin kesal melihat respon Sasya yang seperti itu.
"Sasya."
"Sudahlah, Pah."
Saysa kembali mangkit dan menatap Firman, Sasya memang kurang ajar sekali, selalu saja menguji kesabaran Firman.
"Aku bilang aku gak suka sama Anaya, aku benci sama dia, dan sampai kapan pun aku akan tetap benci sama dia."
"Kenapa hati kamu itu buta sekali."
"Apa maksud, Papah?"
"Kenapa kamu tidak pernah sadar dengan kebaikan Anaya sama kamu, kamu tidak pernah peduli sama Anaya padahal Anaya selalu peduli sama kamu."
"Ya karena itu kenyataannya, aku gak bisa harus berpura-pura peduli pada Anaya, kalau aku gak suka ya gak suka, apa adanya."
"Kamu keterlaluan."
"Aku memang keterlaluan, tapi Papah lebih keterlaluan lagi, kenapa Papah selalu lebih membela wanita itu dari pada aku?"
"Ya karena ini, karena kelakuan kamu yang seperti ini."
"Kelakuan aku, kelakuan aku seperti ini juga karena ada wanita itu, aku benci sama dia."
"Cukup Sasya, kamu sekarang ikut Papah ke rumah sakit, kamu harus disana menunggu Anaya sadar dan kamu harus minta maaf sama Anaya."
Sasya tersenyum sekilas, minta maaf, atas dasar apa Sasya harus minta maaf, semua yang dikatakannya adalah benar dan seharusnya Anaya bisa menerima itu.
"Aku gak bisa, Pah."
"Sasya."
"Aku gak bisa, aku harus kerja, pekerjaan aku lebih penting dari pada wanita itu."
"Sasya."
Sasya menggeleng dan berlalu begitu saja meninggalkan Firman, Sasya malas terus menerus berdebat tentang anak pungut itu.
Sasya tidak berubah dan balik menyukai wanita itu, bahkan meski hanya sedikit saja Sasya tidak akan mau.
"Benar-benar keterlaluan anak itu, apa yang ada dalam fikirannya, kenapa keras kepala sekali."
Firman mengusap wajahnya, tidak tahu lagi harus berkata dan berbuat apa pada Sasya, satu putrinya itu benar-benar tidak sopan.
Sasya memasuki mobilnya dan melaju pergi meninggalkan rumah, Sasya memang harus segera ke kantor karena banyak pekerjaan yang menunggunya di sana.
"Setiap saat Anaya lagi Anaya lagi, apa tidak ada pembahasan lain, menjengkelkan sekali mereka semua."
Sasya memukul stir mobilnya dengan kesal, atau Sasya harus pergi saja dari rumah agar bisa terbebas dari semua persoalan anak pungut.
"Sasya," panggil orang di luar sana.
Sasya menoleh dan melihat pemilik suara disana, Sasya tersenyum dan langsung meminggirkan mobilnya.
Motor dan mobil itu berhenti bersamaan, Sasya langsung keluar dari mobil dan menghampirinya.
"Haikal, ada apa?" tanya Sasya dengan senyuman penuh.
"Aku telepon Anaya dari tadi tapi gak ada jawaban, Anaya masih di rumah kan?"
Sasya berpaling, semua saja bertanya tentang Anaya, menyebalkan sekali.
"Anaya ada gak di rumah?"
"Gak ada."
"Gak ada gimana maksudnya?"
"Ya gak ada, masa gak ngerti maksudnya gak ada."
"Ya sudah, gak ada kemana dia?"
"Di rumah sakit."
"Rumah sakit, Anaya kenapa?"
"Ya ampun biasa saja kali, berlebihan banget reakasinya."
"Anaya kenapa?"
"Kecelakaan, kenapa memangnya, sudahlah mending kamu lupakan saja dia."
"Ngomong apa sih kamu?"
Sasya menepis rambut yang menghalangi matanya, angin juga ikut membuatnya kesal.
"Sasya."
"Gini ya Haikal, kamu kan anak pengusaha terpandang, pembisnis besar, gak mungkin dong pacaran sama perempuan yang gak jelas asal usulnya seperti Anaya."
Haikal mengernyit, sama sekali tidak mengerti dengan maksud ucapan Sasya.
"Gak ngerti kan?"
"Apa maksud kamu?"
"Lebih baih kamu putuskan Anaya, karena dia hanya seorang anak pungut, dia anak yang di temukan di semak rerumputan dengan terbungkus keresek."
"Sasya, jaga omongan kamu."
"Ups."
Sasya menutup mulut dengan punggung tangannya.
"Jangan sembarangan bicara kamu."
"Tapi apa yang aku katakan itu benar, seorang perempuan yang teramat sangat kamu cintai selama ini, hanya seorang anak pungut."
"Sasya."
"Apa, aku disini, kenapa panggil-panggil terus?"
"Jangan bicara macam-macam tentang Anaya."
"Satu macam saja, aku cuma bilang kalau Anaya itu anak pungut."
"Sasya."
"Anak pungut yang gak jelas asal usulnya, kamu fikir ya bisa saja kan kalau Anaya itu anak haram, anak yang tak diinginkan, makanya orang tuanya sampai membuang dia begitu saja."
Haikal menyipitkan matanya, Haikal tahu jika Sasya memang tidak pernah akur dengan Anaya, tapi kalimat Anaya kali ini benar-benar membuat Haikal emosi.
"Anaya itu anak haram, anak bawa sial, anak yang mungkin hidupnya tidak berguna, orang tuanya saja membuang dia."
"Sasya cukup, jaga bicara kamu."
"Aku bicara fakta loh, kamu jangan marah sama aku, marah sama kenyataan saja, kenyataan kalau kekasih kamu itu seorang anak buangan."
"Sasya, mending kamu diam."
"Aduh sudahlah, terserah ya mau percaya atau tidak dengan semua ucapan aku, tapi yang jelas kamu harus fikirkan ulang jika kamu mau menikahi Anaya, atau kamu dan keluarga kamu akan dapat malu."
Sasya berbalik dan kembali memasuki mobilnya.
"Sasya, Sasya tunggu."
Sasya tak peduli dan melaju pergi meninggalkan Haikal di sana."
"Apa maksudnya, kenapa seperti itu kalimatnya, mana mungkin Anaya anak pungut, Tante Rosi dan Om Firman begitu menyayangi Anaya, bahkan lebih sayang dari pada ke Sasya."
Haikal mengeluarkan poselnya dan kembali menghubungi Anaya, tapi masih saja tidak ada jawaban.
"Apa benar Anaya masuk rumah sakit."
Haikal berkutat lagi dengan ponselnya, setelahnya Haikal kembali menghubungi salah satu nomor di ponselnya.
"Hallo Tante, Tante apa benar Anaya masuk rumah sakit?"
Haikal terdiam mendengar jawaban dari seberang sana, kalimat yang didengarnya sangatlah tidak baik dan Haikal tidak menyukai itu.
"Rumah sakit mana Tante, kenapa tidak ada yang kabari aku?"
Haikal memejamkan matanya sesaat dan menutup sambungannya begitu saja, Haikal menyimpan ponselnya dan melaju dengan cepat.
Haikal akan menyusul ke rumah sakit dan menunda niat untuk ke kantornya saat ini, Anaya tidak sadarkan diri sejak semalam dan mana bisa Haikal tenang di kantor.