Anaya memasuki rumah, pertemuannya dengan Haikal justru menambah luka hatinya, Haikal benar-benar tidak peduli dengannya.
"Anaya, kamu dari mana pagi-pagi seperti ini?"
"Mamah, aku habis jalan-jalan saja di depan, biar cepat sehat."
"Ya sudah, ayo makan."
Anaya mengangguk setuju, keduanya berjalan ke ruang makan dan melihat Firman dan Sasya.
Keduanya duduk, pertemuannya dengan Haikla terlalu singkat, sehingga sekarang Anaya masih harus bertemu dengan Sasya.
"Kayaknya sudah sehat nih," ucap Sasya.
Anaya menoleh tanpa menjawab, tenang saja Anaya ingat jika siang ini harus pergi meninggalkan rumah dan mereka semua.
"Basa basi saja sih," tambah Sasya.
Anaya sedikit tersenyum dan mengangguk, mereka lantas mengambil makanannya masing-masing, Sasya dan Firman memang harus segera ke kantor.
"Mamah gak pergi kan hari ini?" tanya Firman
"Mamah mau ke rumah Bu Dinda."
"Ada apa?"
"Gak tahu juga, tadi telepon dan minta untuk datang sebentar saja."
"Oh, tapi langsung pulang lagi kan?"
"Iya, kalau memang urusannya sudah selesai, Mamah langsung pulang."
Firman mengangguk, itu bukan masalah, Rosi bisa diantar sopir nanti.
"Anaya, kamu istirahat di rumah ya, jangan kemana-mana, kamu harus sehat dulu baru boleh pergi-pergi."
Anaya justru melirik Sasya saat mendengar kalimat Rosi, Sasya begitu sinis menatap Anaya, pasti merasa tidak suka dengan perhatian Rosi padanya.
"Iya, Mah."
Sasya mendelik dan kembali melahap makanannya, Sasya merasakan ponselnya bergetar, saat Sasya membukanya ternyata ada pesan masuk dari Haikal.
Senyumannya seketika menyembul saat membaca isinya, sungguh kalimat yang membahagiakan karena Haikal mengajaknya untuk bertemu, dan bahkan akan mengantarkan Sasya ke kantor.
Sasya menyimpan ponselnya dan melirik Anaya yang fokus dengan makanannya, senyumannya begitu mengejek saat Anaya melihat ke arahnya.
Anaya kembali berpaling, entah apa yang difikirkan Sasya sekarang, mungkin saja Sasya sedang khawatir jika Anaya akan ingar dengan janjinya.
Sasya mengangkat kedua bahunya, tidak salah Sasya mengatakan semua kebenaran itu pada Haikal, karena sekarang Sasya jadi ada kesempatan untuk bersama Haikal.
"Aku berangkat sekarang saja," ucap Sasya.
"Loh, kenapa buru-buru?" tanya Rosi.
"Mau saja, aku gak nyaman ada disini."
Sasya lantas bangkit dan meneguk susunya, Sasya meraih tasnya dan berlalu meninggalkan mereka disana, Anaya sedikot tersenyum tanpa menghentikan kegiatan makannya.
Anaya tidak boleh lemah, meaki keadaan sangat menjatuhkannya, Anaya harus tetap kuat agar bisa terus melangkah meski hanya sendirian saja.
Sekarang Anaya harus cepat selesaikan makannya, Anaya harus bereskan barangnya dan pergi saat mereka semua tidak ada di rumah.
Anaya tidak perlu menunggu siang untuk pergi dari sana, kalau memang ada kesempatan maka sekarang pun bisa, biarkan saja Anaya mencari tujuannya nanti di jalan.
"Anaya," panggil Firman.
Anaya menoleh, Rosi melirik keduanya bergantian.
"Kamu kenapa, jangan fikirkan apa pun tentang Sasya, biarkan saja kamu harus tetap tenang."
Anaya tersenyum dan mengangguk, itu sedang Anaya usahakan dan semoga saja Anaya mampu.
"Kamu istirahat ya, fokus sama kesehatan kamu saja jangan memikirkan yang lain-lain dulu."
"Iya, Pah."
"Kalau kamu merasa pusing atau ada yang sakit lagi, kamu bilang saja, nanti Mamah antar kamu ke Dokter lagi." ucap Rosi.
Anaya mengangguk dan meneguk minumnya, Anaya tidak akan bisa jauh dari mereka, kasih sayang dan perhatian mereka akan sangat dibutuhkan dan dirindukan oleh Anaya.
Tapi Anaya memang harus sadar diri, karena sekarang Anaya sudah tahu jika dirinya hanya orang asing yang menumpang hidup di sana.
Sudah waktunya Anaya melangkah mencari kehidupannya sendiri, Anaya akan cari orang tua kandungnya, dan akan tanyakan kenapa sampai membuangnya.
----
"Haikal, makan dulu, Sayang."
"Aku buru-buru, nanti saja makan siang aku pulang."
Haikal keluar dan kembali memasuki mobilnya, rasanya tidak nyaman sekali jika Haikal banyak diam di rumah, apa lagi kenyataan tentang Anaya cukup membuatnya gelisah.
"Kenapa Nay, kenapa seperti ini."
Haikal menggaruk kepalanya yang tak gatal, jujur saja Haikal tidak ingin meninggalkan Anaya, tapi Haikal tidak siap dengan penolakan orang tuanya nanti saat tahu siapa sebenarnya Anaya di keluarga Firman.
Haikal membuka ponselnya, tak ada balasan dari Sasya, tapi tidak apa karena wanita itu pasti akan mau menemuinya sekarang.
Tingg .... Haikal kembali melihat ponselnya, pada akhirnya Sasya membalas pesannya juga, wanita itu sudah menunggu di ujung jalan.
"Baguslah, aku gak harus datang ke rumah, dan gak harus juga bertemu dengan Anaya."
Haikal menyimpan kembali ponselnya, dan melajukan mobilnya dengan cepat, Haikal harus sampai sebelum ada yang melihat kedatangannya.
Tak lama berselang, Haikal sampai dan melihat Sasya di sana, saat mobil berhenti, Sasya langsung memasukinya dan tersenyum menyapa Haikal.
"Sorry dadakan," ucap Haikal.
"Gak masalah, aku juga lagi malas bawa mobil."
Haikla tersenyum dan memutar balik mobilnya.
"Ada apa, tumben temui aku, padahal Anaya sudah kembali kenrumah sekarang."
Haikal diam, mungkin Anaya belum cerita tentang Haikal yang meninggalkannya, tapi sudahlah tidak perlu juga banyak bicara soal itu.
"Kalau Anaya marah gimana?" tanya Sasya.
"Anaya berhak marah, biarkan saja."
"Kamu gak takut?"
Haikal menggeleng Sasya berpaling, apa maksudnya, Haikal selalu berjuang menjaga mood Anaya agar tetap asyik dan tenang.
Tapi sekarang, Haikal seolah tak peduli dengan semua itu, apa mungkin jika Haikal telah memikirkan semuanya dan mau meninggalkan Anaya.
"Haikal," panggil Sasya.
"Apa?"
"Emmm .... soal Anaya, apa kamu masih bertahan dengan dia?"
Haikal menghentikan laju mobilnya dan berbalik menatap Sasya, Sasya tampak mengangkat kedua alisnya meminta jawaban yang jelas.
"Aku ingin bertahan, tapi mungkin orang tua aku gak akan setuju kalau tahu soal Anaya."
Sasya berpaling, senyumannya sedikit menyembul saat mendengar jawaban Haikal.
"Aku jahat Sya, aku telah meninggalkan Anaya begitu saja, padahal saat ini Anaya pasti sangat butuh aku."
Sasya kembali menoleh dan mengusap tangan Haikal.
"Itu mungkin benar, tapi sekarang kamu berfikir saja untuk kebaikan kamu dan keluarga kamu juga."
Haikal mengangguk, dan mungkin dengan meninggalkan Anaya, sudah pasti tidak akan mengecewakan keluarganya.
"Haikal, aku pernah bilang sama kamu tentang perasaan aku, dan aku akan menunggu sampai kesempatan itu ada."
"Aku pernah menjalin hubungan sama saudara kamu, kalau kita bersama pasti akan ada yang mengatai kamu."
"Tidak apa, aku tidak masalah dengan itu, aku yang tahu seperti apa perasaan aku dan seperti apa keadaannya, jadi untuk apa memikirkan orang lain."
Haikal tersenyum dan menduduk sesaat, tangannya terangkat mengusap tangan Sasya, bukankah status Sasya lebih jelas dalam keluarganya.
"Kamu harus kuat Haikal, jangan lemah, apa yang terjadi sekarang pasti yang terbaik untuk masa depan kamu dan Anaya."