Chereads / Ainidi / Chapter 1 - Satu

Ainidi

🇮🇩Ainidi
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 3k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Satu

(Arabella Tahlula)

Hampir semua orang mengeluarkan suara dan berteriak. Kecuali Aku. Tangga yang hampir runtuh, pengunjung yang gaduh saling beradu bahu, bau udara yang bercampur keringat, bau anyir, dan lembab. Suara-suara kabur saat mereka meneriakkan nomor dan nama saling bersahutan, dan lengan diayunkan, bertukar uang dan gerak tubuh untuk berkomunikasi mengatasi kebisingan. Aku menerobos kerumunan, berjalan mengikuti sahabatku dari belakang.

"Awas hati-hati Dompetmu Bell!" Monic menoleh dan berteriak. Aku bahkan masih bisa melihat senyumnya yang lebar dan matanya yang berbinar meski dalam penerangan yang redup.

"Stay Close! Setelah pertandingan dimulai, keriuhan dan kericuhan akan menjadi-jadi." Gaffi ikut berteriak melawan kebisingan. Gaffi adalah pacar Monic, sejak awal perkuliahan di mulai.

Monic meraih tangan Gaffi, dan kemudian tanganku saat Gaffi membawa kami melewati lautan manusia.

Suara peringatan dari pengeras suara yang dinyalakan, memekik memecahkan suasana. Suara itu mengagetkanku, aku reflek menoleh ke kanan dan ke kiri mencari sumber suara. Seorang pria berdiri di atas kursi kayu yang diletakan di tengah ring, memegang segepok uang di satu tangan, dan tangan satunya memegang pengeras suara yang masih berada di depan bibirnya.

"Selamat datang di RedRing! Meet me Adam, gue membuat aturan dan gue yang akan memulai pertarungan. Taruhan berakhir setelah lawan berada di lantai. Tidak menyentuh petarung, tidak membantu, tidak mengganti taruhan, dan tidak melanggar batas ring. Jika kalian melanggar aturan ini, kalian akan dikeluarkan, meski kalian menang dalam taruhan sekalipun! Peraturan itu tetap berlaku untuk kalian ladies!" tangannya yang menggenggam segepok uang itu menunjuk ke arahku dan Monic.

Gaffi menggelengkan kepalanya. "Go to the hell, Adam!" dia berteriak kepada pembawa acara yang menyebut namanya sebagai Adam.

Jantungku berdegup kencang, setelah melirik penampilanku dari atas ke bawah, kaus putih, dengan kardigan berwarna merah muda, beserta jeans panjang bergaya cutbray. Aku merasa seperti anak sekolah yang tersasar di pasar malam.

Monic berjanji kalau aku akan baik-baik saja, dan pasti dapat menangani kemungkinan apapun yang akan terjadi di tempat ini. Dan aku mengiyakan. Tapi sekarang saat kami sudah memasuki ruang bawah tanah, rasanya aku ingin mengigit lenggan Monic sedalam yang aku bisa.

Aku percaya kalau dia dan pacarnya nggak akan menempatkanku di dalam bahaya, dan aku percaya kalau yang dikatakan Monic soal aku dapat menangani apapun yang akan terjadi. Yang aku nggak percaya, dia, aku , kami nggak akan dengan mudah melawan ratusan mahasiwa mabuk, yang menaruhkan banyak uangnya demi pertarungan. Aku nggak yakin soal peluang kami yang bisa keluar dari tempat ini tanpa cedera.

Setelah Monic bertemu dengan Gaffi di masa orientasi mahasiswa baru, Monic jadi rajin menemani Gaffi menghadiri acara RedRing yang sering diselenggarakan secara diam-diam di ruang bawah tanah, sebuah komplek gedung tua di belakang kampus kami. Setiap gedung di tandai oleh huruf dari A sampai F, setiap pertarungan akan di adakan di gedung dan lantai yang berbeda. Biasanya pengumuman akan di beritahukan saat satu jam sebelum pertarungan di mulai.

Aku dan Monic mengambil jurusan yang sama, tapi kebanyakan kelas yang kami ambil berbeda. Kehidupan aku dan Monic pun berbanding terbalik. Setelah kelas selesai biasanya aku akan buru-buru kembali ke Asrama yang aku tempati bersama teman sekelasku yang lainnya. Kiara.

Jadi aku tidak mengatahui soal keberadaan acara ini, RedRing, yang merupakan sebuah pertarungan MMA yang diselenggarakan secara diam-diam, setiap penonton di kenai biaya tiket yang ramah pada kantung mahasiswa. Tapi sebagian yang datang biasanya memiliki tujuan lain. Yaitu sebuah ajang taruhan besar-besaran. Seperti pertarungan sabung ayam, hanya saja kali ini manusialah yang menjadi pemain dan lawan.

Kedatangan kami bukan untuk mengikuti taruhan. Ray, sepupuh Gaffi yang juga tinggal di rumah yang mereka sewa bersama, adalah salah satu petinju tak terkalahkan di RedRing. Kehadiran Gaffi dibutuhkan Ray, sementara Gaffi membutuhkan kehadiran Monic. Mungkin begitu kira-kira putarannya. Lalu bagaimana bisa aku sampai di tempat ini?

Tadi kami sedang menghabiskan makan malam bersama di sebuah kedai yang sedang ngehits di Kota ini. Lalu tiba-tiba Monic mendapatkan telepon dari Gaffi, dan dia nggak memiliki waktu untuk mengantarku kembali ke asrama. Tapi dia juga nggak membiarkan aku kembali sendirian. Maka di sinilah aku sekarang. Dihimpit oleh banyak mahasiwa yang saling berteriak satu sama lain. Setelah meyakinkan Monic, kalau aku nggak masalah untuk sampai ke tempat ini.

"Malam ini kita punya penantang baru! Pegulat dari Star City, Jaxton!" suara Adam kembali mengudara melalui pengeras suara.

Sorak-sorai pun terjadi, dan massa terbelah seperti laut merah ketika Jaxton memasuki ruangan. Dia melompat dengan gaya yang congkak, dan mengayunkan lehernya ke depan dan ke belakang wajahnya serius, terlalu dibuat serius. Kerumunan terdiam sesaat sebelum berubah menjadi raungan yang membosankan, dan kemudian tanganku terangkat ke telingaku ketika musik menggelegar melalui pengeras suara besar di sisi lain ruangan.

"Petarung kita berikutnya tidak membutuhkan perkenalan, tetapi karena dia membuatku takut, aku akan mengenalkannya kali ini! Kita sambut dengan meriah Gallean Ray!"

Volumenya meledak ketika Ray muncul di ambang pintu di seberang ruangan. Dia masuk, bertelanjang dada, santai dan terlihat tidak terpengaruh. Dia berjalan ke dalam ring pertarungan seolah-olah dia muncul di hari lain di tempat kerja. Otot-otot ramping meregang di bawah kulitnya yang bertato saat dia mengepalkan tinjunya ke buku-buku jari Jaxton.

Ray membungkuk dan membisikkan sesuatu di telinga Jaxton, dan petarung itu berusaha keras untuk mempertahankan ekspresi tegasnya. Jaxton berdiri berhadapan dengan Ray. Keduanya saling memandang satu sama lain, Jaxton dengan tatapan yang mematikan, sementara Ray menatapnya seolah sedang menahan geli.

Sedetik kemudian, keduanya kembali mundur beberapa langkah sampai Adam membunyikan lonceng, tanda pertanrungan telah di mulai. Jaxton mengambil posisi bertahan sementara Ray terus menyerang. Aku sampai harus berjinjit pada ujung kaki, karena keduanya tak terlihat. Bergeser ke kanan dan ke kiri untuk mencari posisi hingga dapat kembali melihat pertarungan. Gagal. Aku kembali beringsut dari kerumunan yang saling berteriak.

Aku merasakan sebuah siku telah menyenggol tulang rusukku, bahu orang-orang mulai menabrak tubuhkku sama tak sabarnya, hingga membuat tubuhku bergerak tak tentu arah. Tapi aku tak menyerah, aku terus melawan kerumunan hingga bagian kepala Ray dan Jaxton kembali terlihat.

Ketika aku akhirnya sampai di depan, Jaxton sedang meraih Ray dengan lengannya yang besar dan berusaha menjatuhkannya ke tanah. Saat Jaxton membungkuk dengan gerakan itu, Ray membenturkan lututnya ke wajah Jaxton. Sebelum Jaxton bisa melepaskan pukulannya, Ray sudah lebih dulu menyerangnya dengan tinjunya berulang-ulang menghajar wajah Jaxton.

Aku terlonjak kaget saat sebuah tangan menarik lenganku. "What Are you doing Bell?!" teriak Gaffi. "Gue nggak bisa melihat apapun dari belakang sana!" Aku menjawabnya dengan sedikit berteriak.

Aku kembali berbalik bersamaan dengan Jaxton yang sedang mendaratkan pukulan keras di wajah Ray. Ray berbalik, dan untuk sesaat kupikir dia telah menghindari pukulan lagi, tapi dia berlari mengelilingi area pertarungan, dia melompat saat Jaxton mendekat, lalu sikunya menghantam tepat di tengah hidung Jaxton. Darah menyembur ke wajahku, dan memercik ke bagian depan kardiganku. Jaxton jatuh ke lantai beton dengan bunyi berdebam nggak jauh dari tempat aku berdiri, dan untuk sesaat ruangan itu benar-benar sunyi.

Adam melemparkan kain persegi merah ke tubuh Jaxton yang lemas, dan massa meledak. Uang tunai berpindah tangan sekali lagi, dan ekspresi terbagi menjadi puas dan frustrasi.

Tubuhku kembali terdorong, oleh orang-orang yang juga berusaha untuk bergeser ke tempat paling nyaman. Samar-samar aku mendengarr Monic memanggil namaku dari suatu tempat di belakang, tapi aku terpesona oleh jejak merah dari dadaku ke pinggangku.

Sepasang sepatu bot hitam berat melangkah di depanku, mengalihkan perhatianku ke lantai. Saat aku mengangkat pandanganku, aku melihat jeans sobek yang terkena bercak darah, naik ke perut bidang, kemudian bergeser pada dada telanjang bertato yang basah oleh keringat, dan berakhir pada sepasang mata cokelat yang hangat. Aku didorong dari belakang, dan Ray menangkap lenganku sebelum aku jatuh ke depan.

"Hai! Back off!" Ray mengerutkan kening, mendorong siapa saja yang mendekatiku. Ekspresinya yang tegas berubah menjadi senyuman saat melihat kemejaku, lalu dia mengusap wajahku dengan handuk. "Maaf soal itu, Bell."

Adam menepuk bagian belakang kepala Ray. "Ayo Ray, masih ada yang harus lo urus!"

Pandangannya tidak melepaskanku. "Maaf karena kardiganmu jadi terkena noda, padahal Itu terlihat bagus untukmu." Pada saat berikutnya dia diliputi oleh penggemar, menghilang dengan cara dia datang.

"Apa yang lo pikirkan bodoh? Lo ngapain masuk ke dalam kerumunan?" Monic berteriak, menarik lenganku.

"Gue datang ke sini untuk melihat pertarungan, kan?" Aku tersenyum.

"Lo bahkan nggak seharusnya berada di tempat ini Bell," tegur Gaffi.

"Begitupun dengan Monic," kataku.

"Monic selalu berada di samping gue. Dia nggak pernah melawan kerumunan hanya untuk melihat pertandingan!" dia mengerutkan kening. "Ayo pergi."

Monic tersenyum padaku dan mengusap wajahku. "Lo beneran nyebelin Bell. But you know I love you!" Dia mengaitkan lengannya di leherku, dan kami berjalan menaiki tangga dan keluar untuk bertemu malam yang semakin gelap.

Monic mengantar gue sampai ke asrama. Dia dan Kiara nggak pernah akur. Jadi saat dia datang menjemput atau mengantarku, keduanya selalu menyapa satu sama lain dengan ejekan atau sindiran. Atau bahkan hanya melalui tatapan tajam saja.

"Yaampun Bell. Kemana aja, sih? Gue bukan penjaga pintu yang harus bukain lo pintu setiap kali pulang malam kan?" Kiara menggerutu sesaat setelah membukakkanku pintu, sebelum kembali ke tempat tidurnya.

Aku menoleh ke arah Monic, yang sedang mengangkat bahu. "Main, jalan-jalan, mencari hiburan. Memangnya lo nggak bosan kerjaanya hanya di dalam kamar dan kelas doang?" kata Monic. Kiara mendorong kacamatanya dan menggelengkan kepalanya. Sesaat wajahnya terkejut melihat bercak darah pada kardigan gue.

"Besok mainnya yang jauh ya Ra." Dia mengedipkan mata padaku dan kemudian menutup pintu di belakangnya. Kurang dari satu menit kemudian, ponselku berdering. Seperti biasanya, Monic mengirimiku pesan beberapa detik setelah kami mengucapkan selamat tinggal.

Monica Gunawan : gue nginep sama Justin. See u tomorrow princess.

Mungkin ini adalah alasan kenapa gue mempertimbangkan tawaran orang tua Monic untuk menyewa apartemen, setelah tahun pertama kami tinggal di asrama. Karena Monic lebih senang menginap di rumah pacarnya, dulu aku tak pernah suka dengan kebiasaanya yang satu ini. Tapi setelah malam ini sebuah ide tentang bagaimana rasanya menginap di sana, sedikit terpintas di benakku. Setelah sebuah nama terngiang di telinga.

Gallen Ray []