Chereads / Ainidi / Chapter 2 - Dua

Chapter 2 - Dua

(Gallean Ray)

Gue nggak pernah jatuh cinta pada dan dengan siapapun, gue nggak pernah tertarik menjalin hubungan dengan siapapun. Mereka menyebut gue the walking one-night stand. Karena gue nggak pernah bertahan dengan satu orang wanitapun lebih dari tiga jam. Well mungkin ada satu. Tapi gue akan menemuinya sesekali karena kami memiliki prinsip yang sama.

Para gadis yang biasanya mendekati gue, dan nggak semua gue ladeni tentu. Hanya yang menarik dan tentu dapat memberi kepuasan untuk gue yang akan gue bawa pulang ke rumah. Hanya sampai sofa.

Nggak ada satupun orang yang berani masuk ke dalam kamar gue. Satu-satunya tempat yang membiarkan gue menjadi diri due sendiri.

Gue ngga pernah tertarik mengikat diri dengan satu orang wanitapun. Gue selalu berhati-hati menjalani hidup dengan cara ini.

Berkali-kali menyaksikan para bajingan yang akan dengan mudahnya memberikan segala yang mereka punya kepada satu orang wanita yang menebar senyum kepada mereka. Hanya dengan satu kali kedipan mata, berakhir di atas ranjang yang sama lalu jatuh cinta, setelah itu apa? Mereka akan patah hati saat tahu kalau wanita yang mereka hadapi telah pergi sesaat setelah mendapatkan yang mereka inginkan.

Ada sebuah teori jatuh cinta yang pernah gue dengar dari seorang pembual.

Saling tertarik – jatuh cinta – menjalin hubungan – menikah - bahagia. Begitulah kira-kira urutan yang pernah gue dengar.

Tentu nggak gue amini.

Saling tertarik – seks – end.

Begitu teori yang benar, dan cara ini selalu berhasil buat gue. Untuk melindungi hati gue sendiri. Gue membuat rencana untuk menyantap para kucing liar di atas sofa, lalu gue tinggalkan. Cara itu selalu berhasil gue gunakan, setidaknya sampai gue bertemu dengan seekor anak kucing.

Seorang gadis yang tak terpengaruh dan tak berminat menaruh pengaruh apapun kepada orang lain – terutama bajingan seperti kaum gue – dia hanya sibuk dengan urusannya sendiri. Mencoba menjalani hari tanpa menjatuhkan orang lain dengan kepentingan dan egonya sendiri.

Seorang wanita yang berani, cerdas, cantik, bersuara lembut. Seorang wanita yang pantas di jadikan pendamping hidup. Wanita yang sulit digapai, dia nggak akan bersedia mendekat sampai dia merasa yakin dan percaya pada orang tersebut.

Gue sedang berdiri di depan pintu rumah yang terbuka, menikmati rokok sambil kembali mengingat wanita dengan kardigan merah muda yang terkena percikan darah di RedRing. Arabella. Gue mengenalnya, gue melihatnya beberapa kali menghabiskan makan siang di kantin bersama Monic, pacarnya Gaffi.

Untuk pertama kalinya gue melihatnya dari jarak yang cukup dekat. Wajahnya yang merona, matanya yang melebar dan berbinar. Dari luar dia nampak terlihat polos. Tapi aku tahu itu hanya pakaian yang dia kenakan sehari-hari saja.

Gambaran tentang Bella yang berdiri di antara kerumaunan di RedRing menghilang seiring gue menatap ke ruang tamu. Gia berbaring di sofa gue dengan malas, menonton Tivi. Dia jelas terlihat bosan. Yang menjadi pertanyaan gue kenapa dia masih di rumah gue? biasanya dia akan langsung pergi begitu mendapatkan kepuasaan yang gue berikan.

Gue mendorong pintu akan semakin terbuka lebar. Sedikit berdehem sambil mengambil tas ransel gue. "Gi, gue mau cabut."

Dia duduk dan meregangkan tubuh, lalu mencengkeram rantai tasnya yang terlalu besar. Tas sebesar itu gue yakin nggak ada isinya. Gia menyampirkan ikat pinggang perak di bahunya, lalu memakai sepatu hak wedge-nya, sebelum berjalan keluar pintu.

"Hubungin gue kalau bosan," katanya tanpa melirik ke arah gue. Dia mengenakan kacamata hitamnya yang terlalu besar, dan kemudian menuruni tangga, sama sekali tidak terpengaruh oleh pengusiran yang gue lakukan secara halus. Ketidakpeduliannya itulah yang menyebabkan Gia menjadi satu-satunya wanita yang gue ajak ke rumah lebih dari satu kali.

Dia tidak pernah menuntut komitmen, atau membuat ulah. Dia mengerti hubungan yang terjalin di antara kami hanya untuk saling menguntungkan saja.

Gue menunggu mobil Gia keluar dari tempat parkir, sebelum berjalan dengan cepat menuju ke tempat di mana motor gue terparkir. Kelas humaniora Dr. Rusel akan di mulai setengah jam lagi, meski dia sebenarnya nggak pernah peduli kalau gue dan mahasiswa lain datang terlambat ke kelasnya, selama itu tidak menganggunya atau membuatnya kesal. Jadi gue nggak perlu mengendarai motor gue dengan kecepatan penuh agar ak trlambat masuk ke kekelasnya.

"Ray. Lo mau jalan?" Gaffi berdiri di depan pintu tanpa mengenekan pakaian. Dia nggak ada kelas? Gue hanya mengangguk tak acuh.

"Gue mau nanya deh, semalem lo ngomong apa sih ke Jax? Waktu lo bisik-bisik, mukanya keliatan banget kayak lagi dipaksa nelen hati sapi menta-mentah."

"Gue bilang terima kasih karena udah datang jauh-jauh dari kotanya. Karena mungkin ibunya sedang bersenang-senang jadi kucing liar."

Gaffi menatap gue dengan mata yang terlihat ragu, "Serius lo?"

"Ya nggak lah, gue dengar dari Cami kalau dia mendapat Minor In Possession di Lones County." Sebuah ajang pertarungan yang lebih besar dari RedRing.

Dia menggelengkan kepalanya, dan kemudian mengangguk ke arah sofa. "Jadi semalam lo biarin Gia nginap?"

"Nggak man, lo tahu gue gimana, kan?"

"Jadi dia datang buat anterin sarapan? dia sekarang mulai mengeluarkan trik untuk mengklaim lo?"

"Just it?"

"Gue Cuma berpendapat." Gaffi mengangkat bahu. "Ini Gia. Siapa tahu. Anyways, gue harus antar Monic ke kampus, lo mau nebeng sekalian nggak?"

"Nggak," kata gue, sambil memakai kacamata Oakley yang baru gue beli. "Tapi gue bisa beri Monic tumpangan kalau lo mau."

Wajah Gaffi berkerut. "Eh. . . No."

Merasa geli dengan reaksinya, gue menaiki Harley dan mulai menyalakan mesinnya.

Meskipun gue punya kebiasaan buruk yang suka merayu teman-teman pacarnya, tapi gue mengerti kalau ada satu garis yang tidak akan gue lewati. Monica adalah miliknya, dan begitu dia menunjukkan minat pada seorang wanita, wanita itu akan menghilang dari radar gue, tidak akan pernah dipertimbangkan lagi. Dia tahu itu.

Gue lebih dulu menemui Adam di belakang arena gedung D sebelum ke kampus. Dia mengelola RedRing. Setelah pembayaran awal pada malam pertama, gue mulai membiarkan dia mengelola uangnya, acaranya, bahkan lawan yang akan gue hadapi. Biasanya dia akan mendapatkan uang sisa taruhan dan bayaran gue, dan kami berdua lebih memilih untuk tetap menjalin hubungan bisnis yang sederhana.

Selama dia terus membayar gue, maka gue akan menjauh dari padangannya, dan selama dia tidak ingin merasakan sakitnya ditendang, dia menjauh dari urusan gue di luar pertarungan.

Gue berjalan melintasi kampus menuju kantin. Tepat sebelum gue mencapai pintu besi yang menghubungkan kantin dengan aula utama kampus, Megan dan Ashley melangkah mendekati gue.

"Hei, Ray," sapa Megan, berdiri dengan postur sempurna. Kulitnya cerah, payudara yang diberkahi silikon mengintip dari T-shirt pinknya. Gundukan yang tak tertahankan dan memantul itulah yang membuat gue mengantonginya sejak awal, tetapi sekali saja sudah cukup. Suaranya terlalu menyakitkan untuk gue dengar, jadi gue memberikannya pada Nathan anak FIB, setelah gue memakainya satu kali.

"Hei," sapa gue balik, sambil mematikan putung rokok dan membuangnya ke tempat sampah. Dan berjalan cepat mengabaikan apapun kotak makan yang dia berikan. Tapi sayangnya mereka nggak menyerah dan tetap mengikuti gue.

"Woy." Gaffi membalas anggukan gue. Dia duduk di samping Monic, yang sedang asik tertawa bersama dengan teman-temannya. Bella duduk di seberang Monic, nampak tengah sibuk dengan makanannya. Gue tahu kalau suara gue sedikit menggelitik rasa ingin tahunya. Gue bisa merasakan matanya yang mengikuti gue berjalan ke ujung meja.

Gue mendengar Megan terkikik, memaksa gue menahan rasa kesal yang mulai mendidih di dalam diri. Karena ketika gue duduk, dia malah menempatkan pantatnya di atas pangkuan gue. Beberapa orang dari tim sepak bola yang duduk di meja kami melirik gue dengan kagum, seolah-olah apa yang kedua gadis ini lakukan sekarang ini sulit mereka gapai.

Megan menyelipkan tangannya di bawah meja dan kemudian menekan jari-jarinya ke pahaku saat dia merambat ke bagian dalam celana jins gue. Gue lantas merentangkan kakiku sedikit lebih lebar, menunggu dia mencapai sasarannya.

Tepat sebelum gue merasakan tangannya di atasku, bisikan keras Monic terdengar di atas meja.

"Gue mau muntah, dasar murah." bisik Monic.

"Gue denger ya nyet!" sahut si pirang.

Monic mengangkat bahunya tak acuh, tapi si pirang yang lain terlihat nggak terima dengan apa yang dilakukan Monic. "Nggak sadar diri," katanya kemudian.

Monic yang nggak terima lantas mengambil garpu di atas piring Bella dan melemparkannya ke arah Megan. Tepat saat Megan hendak menghampiri Monic, gue menjegal kakinya hingga dia terjatuh.

"Monic teman gue, jangan macem-macem." Sambil sedikit merengek kedua gadis itu akhirnya pergi meninggalkan gue. Toleransi gue pada gadis seperti Megan memang biasanya nggak bertahan begitu lama.

Gue punya satu aturan, yaitu rasa hormat. Untuk menghargai gue, keluarga gue, dan untuk teman-teman gue. Sial, bahkan beberapa lawan gue pun pantas dihormati. Gue tidak berteman dengan siapapun yang nggak mengerti bagaiamana caranya menghargai dan meghormati satu sama lain.

Mungkin ini terdengar munafik bagi wanita yang telah gue bawa hanya untuk membuka kakinya di rumah gue, tetapi jika mereka membawa diri mereka dengan hormat, gue juga akan memberikannya kepada mereka.

Gue mengedipkan mata pada Monic, yang tampak puas, mengangguk pada Gaffi dan kemudian menggigit lagi apa pun yang ada di piring gue.

"Pertarungan semalam keren," kata Axel, menjentikkan crouton ke seberang meja.

"Lo banyak bacot," kata Brazil dengan suara rendah yang khas. "Adam nggak akan pernah membiarkan lo masuk kembali kalau dia dengar lo kebanyakan ngomong."

"Right," Jawab Axel sambil mengangkat bahu.

Gue membawa nampan dan membuang piring plastik ke tempat sampah, lalu kembali ke tempat duduk dengan sedikit kesal. Gue nggak pernah suka sama cacing kecil satu ini, dia kebanyakan bicara, dan isinya hanya bualan saja. Seperti sampah.

Tak lama, kantin terlihat kosong. Gue melirik ke ujung meja dan mendapati Gaffi juga Monic masih duduk di tempat yang sama, berbicara dengan temannya. Dia memiliki rambut panjang bergelombang, dan kulitnya putih terlihat mulus dan lembut. Dia tidak memiliki payudara terbesar yang pernah gue lihat, tapi matanya. . . matanya yang berwarna abu-abu, entah kenapa terlihat familer di mata gue.

Gue pernah bertemu dengannya sebelumnya, tapi sesuatu di wajahnya mengingatkan gue pada sesuatu yang tidak bisa gue temukan di manapun.

Gue berdiri dan berjalan ke arahnya. Dia memiliki potongan rambut yang sangat seksi seperti bintang porno, dan wajah yang nampak sangat polos dan terlihat baik sekaligus. Matanya berbentuk almond dan sangat indah.

Tepat saat itu gue baru bisa melihatnya, kalau di balik kecantikan dan kepolosan yang palsu ada sesuatuyang lain, sesuatu yang dingin dan penuh perhitungan. Bahkan ketika dia tersenyum, gue bisa melihat dosa yang begitu dalam tertanam dalam dirinya sehingga tidak ada kardigan yang bisa menyembunyikannya.

Mata itu melayang di atas hidungnya yang mungil, dan wajahnya yang halus. Bagi orang lain, dia nampak polos dan naif, tetapi gue jelas tahu pasti kalau gadis ini menyembunyikan sesuatu. Gue tahu hanya karena dosa yang sama telah tinggal dalam diri gue sepanjang hidup. Perbedaannya adalah dia menahannya jauh di dalam dirinya, dan gue melepaskan milik gue dari kandangnya secara teratur.

Gue memperhatikan Gaffi sampai dia merasa kalau gue menatapnya. Saat dia melihat ke arah gue, gue mengangguk ke arah Bella.

"Siapa ?" tanya gue dalam diam.

Gaffi hanya mengernyit seolah nggak mengerti.

"Dia," kata gue sekali lagi.

Mulut Gaffi berubah menjadi seringai menyebalkan yang selalu dia buat saat dia akan melakukan sesuatu yang membuat gue kesal. Bingo. Dia mencolek lengan Bella dengan sengaja.

"Jangan pura-pura Lupa, lo udah kenal sama Bella, sahabat dekat Monic. Gue dan monic sering menyebut nama Bella dalam beberapa percakapan kita. Bell, ini Ray, lo juga udah ketemu sama dia semalam."

"Gue tahu, tapi gue nggak pernah kalian kenalkan. Sejak kapan kalian bersahabat Mo?"

"Sejak lama," Jawab Monic tak acuh, "Lagian nggak usah pura-pura lupa. Semalam kalian bertemu dan mengobrol, lo bahkan meninggalkan jejak di kardigannya," tambah Monic.

"Gue meninggalkan banyak jejak di banyak kardigan," jawab gue sambil tersenyum.

Ketika bahkan senyum terbaik gue tidak berhasil, gue menempati kursi di sampingnya. "So, jadi siapa namamu princess?"

Setelah menghabiskan enam puluh detik di hadapan Arabella, gue bisa melihat dua hal tentang dirinya, dia tidak banyak bicara, dan ketika dia melakukannya dia agak menyebalkan. Tapi gue tahu kalau dia bersikap seperti itu untuk menjauhkan bajingan seperti gue, yang justru membuat gue merasa tertantang.

Dia memutar matanya ke arah gue untuk ketiga atau keempat kalinya. Dia jelas terlihat terganggu dengan kehadiran gue, yang entah kenapa justru terlihat lucu di mata gue sendiri. Saat dia tak kunjung menatap ke arah gue kembali, gue mengangkat dagunya, memberitahunya kalau gue masih di sini menunggu jawabannya.

"Well. Kamu belum jawab pertanyaanku Bell."

Dia menyentakan kepalanya dengan kasar hingga membuat tangan gue terlepas dari dagunya. Interesting.

"Kamu sudah memanggil namaku tadi," jawabnya merasa terganggu. Gue kembali mengulurkan tangan ke hadapanya, pantang menyerah.

"Ray. Gallean Ray."

Jika dia bisa membunuh gue dengan tatapannya, mungkin gue sudah tergeletak dan berdarah di lantai. Gue tidak bisa menahan tawa. Dia adalah seorang yang cerdas dan kasar sekali. I like her even more.

Gue mendekat ke wajahnya. "Matamu indah."

Dia segera menundukkan kepalanya, membiarkan rambutnya menutupi wajahnya. Binggo. Gue kembali membuatnya tidak nyaman, dan itu berarti gue sudah sampai di suatu tempat.

Di saat yang sama Monic mulai menegakan punggungnya, memperingatkan gue kembali. Well, I'm not blame her. Dia sudah melihat berapa banyak jumlah gadis yang keluar masuk rumah gue setiap malam. Sebenarnya gue nggak mau buat Monic kesal, dan berniat pergi. Tapi niat itu gue urungkan saat tak melihat rasa kesal itu di wajahnya, dia bahkan terlihat terhibur.

"Lo bukan tipe Bella sama sekali." Mulut gue menganga, memainkan permainannya. "Gue tipe semua perempuan."

Bella melirik ke arah gue sambil tersenyum. Perasaan hangat—mungkin hanya dorongan gila untuk menidurkan gadis ini di sofa gue—menghampiri gue. Dia berbeda.

"Nah gitu dong Bell, senyum. Kan jadi kelihatan manis," kata gue. Berusaha menyebutnya sebagai senyuman, seolah itu bukan hal terindah yang pernah gue lihat, sepertinya ini salah, tapi gue tidak akan mengacaukan permainan ini, ketika gue baru saja maju. "Aku bukan laki-laki brengsek."

Gue berdiri, berjalan mengitari meja, dan bersandar ke telinga Monic. "Bantu gue ya? Gue janji akan bersikap baik, sumpah. Lo boleh – " Potongan bakwan goreng datang meluncur ke arah wajahku dan memotong kalimat gue.

""Jauh-jauh dari pacar gue!" kata Gaffi.

Gue mundur, sambil mengangkat tangan dari bahu Monic. "Usaha! Gue lagi usaha, nggak bisa banget lihat sepupu lo senang ya."

Gue berjalan mundur beberapa langkah dan berbalik meninggalkan kantin, memperhatikan sekelompok kecil gadis. Gue membuka pintu, dan mereka berkerumun seperti kawanan kerbau bahkan sebelum gue keluar.

Gue belum pernah merasa tertantang seperti tadi. Yang aneh adalah, nggak ada keinginan untuk membuka kakinya di atas sofa gue. Dan sedikit merasa terganggu bahwa dia mungkin berpikir kalau gue adalah bajingan, tetapi yang lebih menganggu gue lagi, adalah gue peduli. Gue peduli akan pendapatnya tentang gue.

Either way, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, gue nggak bisa memprediksi seseorang. Bella benar-benar kebalikan dari gadis-gadis yang gue temui di sini, dan gue harus tahu mengapa.[]