Chereads / Thaumaturgy (INA) / Chapter 87 - ENDLESS CHILDISH RUMBLE

Chapter 87 - ENDLESS CHILDISH RUMBLE

Raga Alicia menggeliat dalam gendongan, mengisyaratkan orang yang mengangkatnya berjalan ke sumber tangisan tadi. Mereka mau tidak mau bergeser ke sisi klink yang lain. Seorang wanita menangisi seorang yang lain dengan selimut telah menyelubungi kepalanya.

"T-tidak mungkin ...," Alicia berkata dengan suara parau. "Aku sudah merasa menyentuh para pasien di sini. A-apa konsentrasiku kurang ...."

"Saya percaya Nona menyentuh seluruh pasien ... yang masih hidup ...." Semar menimpali perkataan sang gadis.

Tabib di dekat mereka menyetujui timpalan sang kepala desa. Semar menerjemahkannya kepada Alicia, "Sesungguhnya, beberapa sudah tidak bernyawa sejak kita datang kemari."

Perkataan tabib tersebut dipastikan benar, Alicia memindai sekitar hanya untuk melihat beberapa yang telah ditutup kain. Dirinya masih tak dapat menerima kenyataan. "Tapi ... kupikir aku bisa menyelamatkan mereka semua—"

"Jangan menyalahkan dirimu, Alicia," kata Semar. "Kalimasada tidak bisa digunakan untuk mengembalikan mereka yang mati."

Kekuatan terkuat di alam sihir tampaknya tak layak merampas nyawa yang diseret oleh pencabut nyawa. Orb sudah tahu dari tatapan mata kecewa sang gadis, ia menuntut penjelasan. Dia pun memberikan lantunan melodi sedih yang hanya dapat didengar oleh Alicia.

Barangsiapa yang mati sudah ditetapkan untuk mati. Tidak sepantasnya takdir diubah.

Jika Orb tidak memberikan restu, agaknya Alicia harus menurunkan ekspetasinya akan utopia idamannya itu. Bagaimanapun, semua yang dilakukan Alicia tetaplah sukacita besar bagi desa tetangga Nusakencana. Tak berhenti-hentinya segenap warga mengepung Alicia bersama para tentara yang bergerak menuju penginapan.

Kepala sang gadis akhirnya kembali ringan setelah menghantam bantal, dan seteguk minuman yang sama dengan yang pernah ia teguk saat sadar pertama kali di tanah asing ini. Lojitengara adalah penghasil rempah-rempah terbaik, dan mereka benar memanfaatkannya dengan sangat baik pula—menciptakan minuman dan makanan yang nikmat sekaligus berkhasiat seperti obat. Ramuan Kamomil Stillmajik bercampur racun katak itu hanyalah mitos.

Ruangan menjadi gelap karena rakyat Nusakencana berbondong-bondong mengelilingi rumah penginapan, mengintip lewat jalusi. Hanya ada Alicia saja beserta Semar yang duduk di kursi kayu. Prajurit Badra menjaga mereka dari luar. Wisesa keluyuran entah kemana, dan ayah angkatnya pun agaknya tak ambil pusing.

Seseorang mengetuk pintu. Saat dibuka tampaklah seorang yang baru lagi bagi Alicia. Dia mengenakan kemeja berkerah tegak dengan lengan panjang, lengkap dengan hamparan kelopak menghiasi tenunan kain sutra—sebuah surjan ontrokusuma. Semar tahu hanya kaum priyayi yang mengenakan busan demikian. Namun, Semar telah mengenal wajah orang itu terlebih dahulu. Beliau menyambut orang tersebut hangat.

"Raden Darmawangsa!" seru Semar. "Kupikir saya melewatkan dirimu."

Darmawangsa mengangguk. "Kerumunan rakyat tadi menarik perhatianku. Aku ingin memastikan empunya Kalimasada itu ada. Sudah sekian generasi kita tidak pernah melihatnya di tanah Yawa, kecuali kamu sendiri, tentu saja."

"Ah jangan biarkan gadis itu tahu." Semar tertawa kecil. "Empunya Kalimasada itu seorang gadis. Mari masuk."

Darmawangsa memasuki ruangan bersama Kenthol Badra. Ia menemukan gadis berambut merah dengan tas kantong terpangku di dadanya. Alicia segera mengambil kacamata bulatnya untuk melihat siapakah sosok baru tersebut.

"Alicia," Semar mengarahkan tangannya ke teman lelakinya itu, "ini Raden Darmawangsa Shashangkuri. Beliaulah lurah Nusakencana."

"Salam kenal, Ki Darmawangsa," tutur Alicia.

"Salam kenal, Alicia," jawab Darmawangsa menggunakan bahasa umum. "Saya mengucapkan rasa syukur terdalam kepada dewa-dewa dan kepadamu, yang telah mereka kirim. Kamu telah menyelamatkan banyak orang baik di desa ini yang berjuang melawan opresi Alas Purwo. Rasanya tak ada yang cukup dari kami untuk membalas perbuatan muliamu."

"T-terima kasih atas ucapan baiknya, Tuan. Aku harap perbuatan kecil aku dan Orb bisa membantu. Menyediakan tempatku beristirahat sudah lebih dari cukup."

"Maka dari itu, Nona Alicia. Jika berkenan, desa ini dan seluruh Pulomas secara keseluruhan akan sangat bersuka jika Nona tinggal bersama kami. Kami sangat membutuhkan jasa Nona dan kekuatan Kalimasada."

Semar bangkit dari duduknya. Alicia pun agak terkejut. "T-Tuan ...? Maaf, namun saya sendiri tidak bisa—"

"Darmawangsa," kata Semar. "Sayangnya, dia adalah tamu. Dia hanya berada di Yawadwipa untuk sementara waktu dan harus pindah ke tempat lain untuk menyelesaikan mandat yang diberikan untuknya."

Raut wajah lurah Nusakencana perlahan berubah. "Sayang sekali. Padahal Kalimasada dapat membantu memperjuangkan kedaulatan kita terhadap Alas Purwo. Belum lagi Kasunanan itu disokong oleh negara bagian tetangga, Girah, pusat ilmu hitam perdukunan Lojitengara."

"M-maaf jika saya tidak dapat membantu banyak." Alicia tertunduk.

"Tidak, aku mengerti," Raden Darmawangsa kembali menyeringai. "Aku lah yang harus meminta maaf jika permintaan tadi memberatkan Nona."

Sebuah solusi yang agaknya cemerlang tiba-tiba muncul di dalam pikiran Alicia. "S-sebenarnya, walaupun tidak banyak, tapi aku bisa memberikan sesuatu kepada kalian ...."

***

Rembang petang menyambang alam terbentang. Alicia, Semar, dan Wisesa sudah menunggang kuda pulang kembali ke Langkankerta bersama beberapa tentara Nusakencana. Mereka sudah pasti akan tiba di desa tersebut larut malam. Namun, Semar dan Alicia setuju untuk tetap kembali agar tidak membuat para penduduk khawatir karena tidak sempat menyertakan kabar.

Sebelum pulang, Alicia sempat menganugerahkan sejumlah daya Arcane yang cukup besar kepada Nusakencana pada sebuah wadah besar, dan memberkati botol-botol ramuan dengan Sempena Ilahi pula. Persedian Arcane sebanyak itu untuk sebuah desa membuat Nusakencana secara teknis kampung paling kaya di seluruh tanah Yawa.

Alicia yang murah hatinya pun tertidur di sandaran seorang tentara saking lelahnya mengekstraksi kekuatan Orb.

Berharap saja mereka menggunakannya dengan hati-hati, terlebih karena lokasi mereka berbatasan dengan wilayah Alas Purwo, pemangku sejati Yawadwipa, dan sunan-nya yang adalah seorang Panggaraknagara. Kalau Alicia tidak salah dengar juga, Alas Purwo juga punya sekutu dengan sihir hitam yang mendukung Kasunanan Alas Purwo untuk menundukkan para pemberontak, Nagari Girah. Ini mungkin kali pertama sang gadis tinggal di daerah yang mengambil langkah netral akan ilmu hitam dan putih suatu sihir—tambahan catatan untuk ensiklopedia mini milik sang gadis. Rekaman memorinya diputar kembali akan perjumpaannya dengan para rahib Danhar, yang mempercayai Arcane dan Khaos tak lebih dari kekuatan alami yang saling bergesekan.

Padahal katanya negara bagian tidak boleh ikut campur urusan negara bagian lain.

Mereka akhirnya sampai di Tumaritis tengah malam. Tentu istri beserta ketiga anak angkatnya mendapati mereka dengan perasaan khawatir.

Walaupun sudah tengah malam, mereka sama sekali belum menjamu perut mereka. Maka hidangan larut malam pun jadilah. Kanastren, istri Semar sudah menyisakan beberapa lauk untuk mereka makan.

Betapa Ilahi mengutuk Alicia (dan Wisesa). Alicia berharap agar lelaki itu menghilang kembali ke hutan agar dirinya tidak semakin lelah melihat wajah masamnya melulu. Wisesa pun sejatinya setuju akan pemikiran sosok gadis yang membuatnya geram tak tertolong.

"Karena kalian sudah bertengkar hebat tadi pagi, mari kita sudahi pertikaian itu untuk hari ini. Kita tutup dengan sepiring nasi, sepotong ayam rebus, lalapan sayur, dan sambal!" begitu tutur Semar kepada kedua remaja saat mereka hendak melangkah ke arah berlawanan satu sama lain.

Sekarang, mereka berdua harus menyantap hidangan sambil duduk berhadapan. Wisesa dengan wajah cemberut sepanjang zaman, Alicia dengan wajah putih berkarakteristik "Barat" yang membuat lelaki tersebut terjangkit ayan karena alergi.

Di kala perjamuan berlangsung, Alicia nampak begitu gelisah sembari mengunyah lauk. Ia tahu betul tatapan Wisesa yang turut mengunyah menusuk langsung indera penglihatnya.

"Apa kamu membutuhkan sesuatu?" Alicia melontarkan pertanyaan sopan—yang adalah fatal, karena baik sopan atau tidak, Wisesa akan mencercanya habis.

"Aku mau kau pergi jauh-jauh dari sini. Bola ajaib itu tetap tinggal denganku." Benar saja, demikian tanggapan Wisesa.

"Aku sudah tidak mau mendengar omong kosong itu lagi." Alicia melanjutkan dengan hidangannya. Semar saat itu masih sibuk menikmati betapa lembut serta berair daging ayam rebus, sehingga di kupingnya hanya terdengar suara kunyahan beliau. Racauan kedua remaja tersebut entah bagaimana terselip dari daun telinganya.

Wisesa mendekatkan kepalanya sedikit. "Malam ini, setelah makan malam. Bola itu sudah berada di tanganku saat meninggalkan desa!" bisiknya.

"Berubahlah menjadi Barong lalu bertarung denganku di tengah-tengah desa. Maka kita akan lihat apa yang terjadi."

"Aku pasti merebut bola sihir di tas tersebut sementara kau kutinggalkan terjerat dan mulut tersumpal di kandang babi—"

"Ki Semar! Dengan segala hormat bisakah Anda meminta Wisesa untuk berhenti mengancamku?" teriak Alicia marah.

"Wisesa. Ini sudah malam." Ki Semar terlihat tak bersemangat dengan tingkah biasa anak asuh yang satu ini. "Jika kamu tidak ingin dipaksa tidur di sini, maka berhenti mengusik tamu kita!"

"Tamumu, Pak Tua. Bukan tamuku," tanggap Wisesa.

"Desaku, Anak Dungu. Bukan Desamu," Semar membalasnya balik. "Tapi kentutku bisa menjadi milikmu."

"Orang tua menyebalkan."

Wisesa bersandar kembali di kurisnya. Meskipun begitu, ia belum selesai. Dia melancarkan perudungan pamungkasnya. Dia melemparkan bulir-bulir nasi dan serpihan lauk ke kepala Alicia.

"Hei, dengar tidak? Serahkan bolamu atau seluruh makananku ada di mukamu!" Demikian bisiknya.

Serasa seperti dirudung jaman sekolah dulu, Alicia memilih tak menggubris. Tapi tak mungkin gadis maha penyabar, apalagi ketika kaki-kaki usil di kolong meja beraksi. Wisesa kerap menendang dan menginjak kaki sang gadis agar kesal. Memang, ia menginginkan sang gadis kesal.

"Bisakah kamu berhenti?" Alicia berkata pelan.

"Bisa. Bolanya dulu."

Alicia menerjang kuat pergelangan kaki Wisesa, membuat lelaki tersebut malah tersentak dan hampir menjerit. Ikut kesal, diapun menendang balik. Mereka saling menendang dan menginjak. Lauk pauk di atas meja terlanjur dingin untuk disentuh, sebab tangan mereka tertumpu pada meja makan. Tubuh atas keduanya tegang bukan main. Semakin intens pertempuran kaki Alicia dan Wisesa, cengkaraman tangan keduanya yang terlampau kuat menggetarkan meja makan.

"Kalian sedang bertengkar dengan kaki kalian, ya?"

Wisesa dan Alicia kaget akan pemecah suasana dari Semar. Ketika merasakan sedikit gerak-gerik pada meja, orang tua tersebut sudah memperhatikan mereka dari tadi.

"D-dia yang mulai duluan!" tunjuk Alicia kepada Wisesa.

"Kok aku?" sahut Wisesa. "Biang masalahnya adalah kau!"

"Kamu ini—"

Tangan Semar menghentak meja! Karena sudah tak bersisa lauk, piringnya pun sempat terbang sebentar. "Kalian tidak akan kemana-mana sebelum menghabiskan jatah makanan kalian! Hargailah usaha keras istri saya!"

Semar mendelik ke arah mereka berdua dengan wajah tegang menyeramkan.

Semakin gundah Alicia akan impresi Semar terhadapnya. Dia melimpahkan semua kegaduhan tersebut kepada Wisesa, biang kerok masalah. Kembalilah sang gadis memakan sisa makanannya, sementara Wisesa mendongak ke atas dengan piringnya dan menyapu semua nasi dan sayuran masuk ke tenggorokannya.

"Itu, sudah habis. Sampai jumpa besok," kata Wisesa.

Semar mengomelinya lagi, "Cuci piringmu, Nak. Astaga!"

"LAH?" Roman wajah Wisesa menyiratkan seolah itu bukanlah norma yang seharusnya. "Ada perempuan ini. Sudah kewajibannya membersihkan piring dan peralatan dapur?"

Alicia bangkit dari kursi beserta murka kuda membaranya. "Kamu itu kenapa sih? Dasar tak tahu malu! Laki-laki macam apa kamu?"

"Aku yang tak tahu malu? Kau tamu di sini. Setidaknya kerjakan satu dua hal untuk membantu tuan tamu. Perempuan tak tahu diuntung!" Wisesa membalas balik.

"WISESA!" Giliran Semar yang membentaknya. Sudah terlihat kesabaran orang tua tersebut raib dimakan waktu. Lelaki semena-mena itu berkata demikian seolah dia sudah menapakan kaki di tanah Tumaritis sejak penciptaan semesta.

"Sekali lagi perkataan kurang ajar keluar dari bibirmu, tak segan-segan kamu kuhajar!" omel orang tua itu lagi. "Sekarang, minta maaf kepada Alicia!"

Semua sudah tahu bagaimana keadaannya berjalan. Wisesa melewati Semar masuk ke dapur. "Aku cuci piring dulu."

Sang gadis Crimsonmane tidak tahu wajah apa yang harus dipasang. Marah? Sedih? Masam? Menangis? Perasaan bercampur aduk. Mungkin inilah bagian dari petualangannya—bertemu dengan manusia tak beradat lagi beradab. Ekspetasinya kurang luas jika orang jahat yang harus Alicia hadapi hanyalah para penyihir dan penyamun bengis.

Kursi itu kembali diduki olehnya. Setelah menghela nafas, Alicia menghabiskan makanannya dengan tatapan kosong. []